Sorotan Tema dan Amanat
Naskah Drama Dag Dig Dug Karya Putu Wijaya
Judul :
Dag Dig Dug
Pengarang :
Putu Wijaya
Penerbit :
Balai Pustaka, 1996
Dunia sastra selalu berkembang menyesuaikan zamannya
seolah berkejaran dengan sang waktu. Mungkin seseorang yang dalam dirinya
tercetak sebagai penahbis art adalah
satu-satunya pemenang dalam pertarungan antara manusia dengan sang waktu.
Meskipun orang tersebut telah meninggal dunia, karyanya pergi entah ke mana,
atau musnah sekalipun, proses penciptaannya akan tetap abadi. Tidak pernah bisa
dihancurkan oleh waktu.
Di jagad kesusasteraan dikenal drama
yang merupakan suatu genre sastra yang ditulis dalam bentuk
dialog-dialog yang bertujuan untuk dipentaskan sebagai seni pertunjukan. Selain
itu, drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat
menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (acting) atau dialog yang dipentaskan.
Drama tidak hanya dipentaskan,
tetapi naskah maupun pementasannya dapat pula dipelajari melalui pengkajian.
Sedangkan pengertian
pengkajian itu sendiri ialah proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan
(pelajaran yang mendalam) atau penelaahan akan sesuatu hal. Jadi, pengkajian
drama ialah suatu proses, cara atau perbuatan untuk mempelajari unsur-unsur
drama secara mendalam untuk mengetahui gambaran kehidupan dan watak melalui
tingkah laku (acting) yang dipentaskan.
Dalam tulisan ini penulis juga akan mencoba mempelajari
naskah drama. Penulis mengambil naskah Dag
Dig Dug karya Putu Wijaya dan analisa penulis menekankan pada tema serta
amanat yang ada di dalam naskah drama tersebut.
Hal ini disebabkan oleh anggapan penulis bahwa suatu
karya sastra akan lebih berhasil jika tema dan amanat yang ingin disampaikan
pengarangnya sampai pada penikmat karya tersebut. Selain itu, karya tersebut
tidak hanya menimbulkan kesan ‘indah’, tetapi juga berguna bagi diri
pembaca/penikmat karya sastra.
Karya sastra yang bagus dan berhasil, tentunya mempunyai
unsur-unsur pembangun karya itu. Tema dan amanat merupakan salah satu unsur
pembangun konstruksi suatu karya sastra. Pada drama, kedua unsur ini pun ada.
Keberadaan kedua unsur ini menjadi unsur pembangun yang paling dasar sebagai
penyusun konstruksi naskah atau teks. Tema dan amanat biasanya menjadi latar
belakang pengarang menciptakan karyanya yang ingin disampaikan pada pembaca.
Tema merupakan pokok pikiran atau dasar cerita yang
dipakai pengarang sebagai dasar cerita atau alasan mengapa ia menulis/mengarang
cerita. Sedangkan amanat adalah keterangan, wejangan, gagasan yang mendasari
suatu cerita atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Oleh
karena adanya kedua unsur itulah suatu cerita untuk pertama kali mulai
dirancang untuk selanjutnya bisa dikemas hingga menjadi suatu cerita dengan
konstruksi yang utuh dan bisa dinikmati/dibaca oleh pembacanya.
Semula penulis mengalami kesulitan dalam menentukan tema
apa yang ada di dalam teks drama Dag Dig
Dug karya Putu Wijaya. Tetapi kemudian penulis menelisik kembali melalui
dialog-dialog yang dituturkan oleh tokoh-tokoh yang ada di dalam teksnya.
Akhirnya, penulis dengan bulat menentukan bahwa tema
drama tersebut tidak jauh dari kehidupan religi. Yaitu hubungan antara manusia
yang langsung pada Tuhannya.
Tema religi yang diangkat pengarang merupakan tema yang
sangat sarat dengan keriskanan atau ‘bahaya’ yang tidak hanya tinggi, tetapi
sudah pada tataran mengkhawatirkan. Sebab permasalahan tersebut dianggap
sebagai hak asasi manusia yang paling asasi.
Permasalahan religi, tidak akan jauh-jauh dari yang
namanya agama. Karena agama disinyalir dengan keras akan membawa manusia pada
kehidupan yang baik di swaga loka
kelak. Barang siapa yang menjauhi larangan dan mentaati semua perintah Tuhan,
maka dialah yang akan mendapatkan pahala dan berhak masuk surga.
Juga berlaku sebaliknya; siapa saja yang cenderung
melakukan hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak mematuhi perintah Tuhan, maka
dialah penghuni neraka selama-lamanya. Lha kok enak?
Tuhan kok didikte-dikte sepenak’e dhewe!
Menurut penulis, asumsi yang sekian waktu—bahkan sejak adanya manusia, dari Adam-Hawa—telah
berkembang tentang keabadian surga dan neraka itu justru malah salah kaprah
dianut dan dipercayai. Kepercayaan itu sendiri malah telah mengalahkan ketaatan
pada Tuhan yang menciptakan segalanya, sumber dari segala kekekalan dan
keabadian.
Kebanyakan manusia yang belum mengerti hakikat sumber
dari segala sumber kehidupan akan taat pada hal-hal yang dianjurkan dan
dilarang agama semata-mata untuk meraih surga dan menjauhi neraka. Bukan
berbuat untuk mendapatkan keridloan Tuhan, bukan untuk Tuhan. Mereka selalu
saja ‘pamrih’ dengan apa yang mereka lakukan untuk Tuhan. Mereka menjadi
manusia yang selalu saja ‘berter’ dengan Tuhan.
Padahal, Tuhan itu tahu apa yang harus diperbuat, tidak
usah didikte!
Terlalu sibuk dengan urusan surga dan neraka bisa jadi
Tuhan yang kepadaNya sumber kehakikatan terlupakan. Benar juga syair lagu Dewa yang intinya: jika surga dan neraka
tak pernah ada, mungkinkah manusia itu akan menyembah padaNya, pada Tuhan Yang
Maha Esa.
Perlu diketahui, bahwa kini agama mempunyai banyak
sekali peran selain membawa manusia kepada jalan kebaikan menurut ajaran Tuhan
agar dapat menuju jalan lurusNya. Kini agama tidak lain dan tidak bukan hanya
menjadi suatu lembaga!
Ya, lembaga yang tujuannya adalah rekruitmen umat
sebanyak-banyaknya. Agama satu dengan agama yang lainnya akan bersaing untuk
mendapatkan umat atau pengikut sebanyak-banyaknya.
Agama satu dengan agama lainnya akan menunjukkan ‘jalan’
yang terbaik menuju surga dan neraka kepunyaan Tuhan. Agama A akan mengklaim
bahwa akidah dan tuntunan hidup yang ada di dalam agama A yang benar, agama B,
C, D, dan agama lainnya salah. Begitu seterusnya tanpa ujung hingga menimbulkan
peperangan antar manusia di muka bumi yang juga tanpa ujung.
Agama jadi lembaga yang sok benar!
Sok benar karena mengaku kepercayaan dan ibadahnya
paling benar!
Akan tetapi, mereka lupa: mereka melupakan sumber dari
segala sumber kebenaran, yaitu: Tuhan!
Apakah keadaan ini sama dengan keadaan hidup manusia
dewasa ini?
Kita renungi sajalah melalui diri kita masing-masing!
Hal ini merupakan sebuah gambaran
masyarakat kita dewasa ini. Kejadian yang sedang melanda hampir seluruh negara
adalah adanya gerakan terorisme. Fenomena ini berangkat dari sebuah keyakinan
atau agama.
Banyak orang yang kini fanatik pada
suatu agama, tetapi mereka lupa melakukan fanatisme terhadap Tuhannya
masing-masing. Justru orang yang terlalu menyikapi sebuah akidah secara
berlebihan di dalam kehidupannya akan mendapatkan manfaat yang kurang baik.
Salah satunya penolakan terhadap keyakinan yang dianut oleh orang lain.
Tidak ada seorang pun yang
menganjurkan seseorang untuk menghancurkan orang lain. Apalagi agama yang
mempunyai fungsi sebagai pedoman hidup yang baik.
Kehidupan di dalam suatu agama
terlanjur cepat memberi ‘judge’ pada kepercayaan lain yang juga terhadap Tuhan
Yang Maha Esa itu kurang tepat, timpang atau cacat. Padahal diri sendiri belum
tentu benar.
Kebenaran diri sendiri belum tentu
cocok dengan apa yang disebut benar menurut orang lain. Sebagai makhluk sosial,
kita diciptakan Tuhan dalam perbedaan yang benar-benar nyata. Semua adalah
makhlukNya, diterimaNya dengan takaran yang sama menurut tebal-tipisnya
keimanan. Meski jalan yang ditempuh menujuNya berbeda.
Kebenaran dari sudut pandang manusia
tidak sama dengan kebenaran di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Makanya kita tidak
bisa melakukan pendiktean terhadap kemauan atau kebenaran macam apa yang harus
atau tidak harus dilakukan oleh Tuhan. Kalau kita beranggapan demikian, tidak
ayal lagi… tolollah kita semua!
Di dalam drama Dag
Dig Dug karya Putu Wijaya, memang tidak secara jelas disinggung
permasalahan tersebut. Hanya saja perbedaan-perbedaan pendapat yang kerap kali
berakhir dengan pertengkaran di antara tokoh-tokohnya itulah secara elips permasalahan tersebut dibeberkan
dengan bahasa yang sederhana tetapi mengena karena kegamblangan kata-katanya.
Amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang bisa dengan
tegas dilihat pada teks drama dag dig dug yang penulis kutipkan dari halaman 50
sebagai berikut:
Suami : Aku pesan peti mati
besok. Tahun depan harganya lima
kali lipat. Aku mau beli dua! Aku suda hpesan.
Istri : Sudah pesan?
Mau ditaruh di mana? Jangan bawa peti mati ke mari. Marmar-marmar ini sudah
bikin kaget orang. Mau tambah peti mati lagi.
Suami : pokoknya sudah
pesan.
Istri : tidak! Aku
tidak suka ada peti mati di sini.
Suami : bisa ditutup dengan
kain biar tidak kelihatan!
Istri : biar tidak,
kita sendiri tahu!
Suami : lalu takut?
Istri : rumah orang
normal menyimpan petim ati tidak ada!
Suami : bilang saja takut!
Istri : apa ada rumah
orang normal menyimpan peti mati!
Dari kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa kematian
bagi tokoh-tokoh yang ada di dalamnya sebatas bekal yang bisa dilihat mata,
barang yang masih bersifat keduniawian. Materialis. Bukan sebaliknya yang
bersifat batiniah, immaterial; amal soleh.
Ya, lebih pada amal perbuatan. Apa yang ia perbuat
selama di dunia; menjadi orang baikkah ia, atau sebaliknya—menjadi orang jahat
yang tidak tamat-tamat sampai ia sekarat dijemput malaikat pencabut nyawa.
Mati itu tidak membawa bekal bangunan berupa kuburan
yang dibangun megah, berlapis emas permata, marmar, batu termahal dan tanah
lapang seperti lapangan pesawat terbang. Bukan juga berupa bangunan serupa
piramida yang di dalamnya ada harta karun orang yang mati. Benda tidak akan
dibawa sampai liang kuburan, tetapi segala perbuatan yang pernah dilakukan
didunialah yang akan dipertanggungjawabkan.
Permasalahan di atas justru banyak ditemukan dewasa ini,
dan justru dilakukan oleh pelaku-pelaku yang mengaku dirinya masuk pada jajaran
kaum intelektual. Kaum yang seharusnya dengan ilmu yang didapat justru akan
menambah kepatuhannya pada Tuhan dengan aplikasi ilmu yang ia dapatkan demi
kemaslahatan diri sendiri dan umat manusia lain di sekitarnya.
Tetapi ilmu dan kepandaian yang mereka dapat justru
untuk minteri orang lain; yang lebih
bodoh dari mereka [dan kebanyakan mereka adalah si miskin yang papa]. Maka,
kemiskinan akan tetap menjadi kemiskinan, kemakmuran hidup akan selalu menjadi
impian dan angan-angan bagi banyak orang.
Kaum intelektual yang pintar manumpuk harta
sebesar-besarnya, hingga gudang yang ada diperutnya semakin membuncit mau
meledak. Orang yang normal pasti akan menyeimbangkan kehidupannya agar
‘perutnya’ tidak akan membuncit. Karena kebuncitan itu akan banyak
mengakibatkan malapetaka; penyakit [kanker, kencing manis, kencing batu,
hepatitis, dan semua hal yang berakhir tragis].
Putu Wijaya, meskipun kurang lebih sudah lima belas
tahun menulis naskah drama Dag Dig Dug
ini, kerelevanannya masih saja ‘hot’, up
to date sekali. Begitu pula dengan permasalahan agama dan kehidupan
keber-agama-annya, akan selalu hangat untuk dibicarakan.
No comments:
Post a Comment