About

Analisis Cerpen: Harta gantungan Karya Ahmad Tohari



Analisis cerpen,inilah sebuah realita yang harus dijalani begitu juga para penikat karya sastra khususnya dalam dunia Analisis cerpen, tidak susah bingung dan mencari kemanna-mana cukup melihat dan selalu hadir dalam admin ini, karena didalamnya mengelupas tentang cerpen dan di Analisis.
Contoh Analisis cerpen, admin ini dapt dijadikan sebuah cermin dalam mengkaji dan Analisis. didalam admin ini tersedia Contoh Analisis Puisi yang dapat memberikan sebuah manfaat bear bagi kaum yang selalu penasaran didunia sastra.

Kajian terhadap Cerpen Harta gantungan Karya Ahmad Tohari
secara Strukturalis Semiotika

Sinopsis

Kang Sunarya duda yang hidup sendirian di tengah kampung. Anak-anaknya berada di Lampung karena ikut program transmigrasi. Pekerjaannya hanya menggembalakan kerbau yang sekaligus satu-satunya harta yang dimilikinya.. Keseharian Kang Narya yang pembawaannya cair dan ringan mendadak berubah murung dan pucat karena sakit di bagian tenggorokannya. Hal ini menimbulkan keheranan warga kampung. Penyakit yang diidapnya itu sejenis tumor yang menyerang kelenjar tenggorok.

Meskipun sakit, ia tak mau diobatkan. Ia sangat bersyukur diberi umur lebih tua dari umur Kanjeng Nabi. Maka ia sudah bersiap jika segera meninggalkan dunia yang fana. Wasiat pun dibuat, yang tidak lain berisi tentang kerbaunya. Jika kelak ia meninggal, ia ingin kerbaunya itulah yang menjadi harta gantungan. Harta cadangan (berupa benda yang berharga yang bisa dijual) biaya untuk menyelesaikan urusan-urusan kematian bila si Pemilik meninggal dunia. Tetapi kematian Kang Narya sudah ditanggung oleh warga desa dengan urunan.

Sepuluh hari setelah kematian Kang Narya, anaknya yang bernama Wardi pun datang. Ia yang mendapatkan harta gantungan tersebut sebagai warisan. Hal ini sangat bermanfaat sekali bagi kelangsungan kehidupan keluarganya, yaitu untuk menikahkan anak sekaligus cucu Kang Narya. Keberuntungan yang tak terduga karena ada calon pengantin yang kakeknya rela mati karena tumor demi mempertahankan harta gantungan.


A.    Sekuen
Sekuen biasanya merupakan urut-urutan peristiwa yang ada di dalam teks suatu karya sastra yang berupa cerpen, novelet, atau novel. Dari penjelasan tersebut, cerpen Harta Gantungan dapat diuraikan sekuen-sekuennya sebagai berikut:
1. Pelukisan surau meliputi:
a)      Ukuran surau
b)      Letak surau
c)      Cara menempuh/menuju surau
d)     Bentuk dan tempat wudlu di surau
e)      Sumber air wudlu di surau
f)       Orang yang wudlu di surau
g)      Jauhnya surau dari pemukiman
h)      Surau hanya digunakan untuk shalat Lohor dan Asar
i)        Keadaan surau saat petang
j)        Binatang malam yang menghuni surau
2. Orang yang biasa shalat di surau:
a)Dua orang penyadap nira
b)      Pedagang kelliling
c)Markotob dan Kang Nurya
3. Markotob sering ke surau karena ia pemilik tambak.
4. Kang Nurya sering ke surau karena ia biasa menggembala kerbau di dekat surau dan tambak
5. Kebiasaan Markotob dan Kang Nurya saat disurau:
a)      Shalat bersama
b)      Lesehan dan ngobrol di serambi
6. Kehidupan Kang Nurya:
a)      Kang Nurya duda tinggal sendirian di tepi kampung
b)      Istri Kang Nurya sudah lama meninggal
c)      Delapan anak Kang  Nurya tinggal tiga yang masih hidup
d)     Ketiga anak Kang Nurya bertransmigrasi
e)      Kang Nurya akrab dengan kerbau
f)       Keseharian Kang Nurya bersama kerbau
g)      Kang Nurya mempunyai julukan Nurya Kebo
h)      Bagi Kang Nurya kerbau adalah segalanya
i)        Kerbau bagian terpenting dalam hidup Kang Nurya
j)        Hidup Kang Nurya berasal dari harga seekor kerbau
7. Cara Kang Nurya memperoleh uang:
a)      Kang Nurya memelihara dan membesarkan kerbau
b)      Kang Nurya menjual kerbau ketika pasaran baik menjelang lebaran
c)      Kang Nurya membeli lagi kerbau yang lebih kecil untuk dibesarkan
d)     Dari menjual kerbau besar dan membeli kerbau kecil Kang Nurya mendapat uang lebih
8. Arti kerbau bagi Kang Nurya:
a)      Harta gantungan
b)      Cadangan biaya untuk menyelesaikan urusan kematian pemiliknya
9. Pesan Kang Nurya pada Markotob:
a)      Tidak punya tanah maka harta gantungan kerbau yang dimilikinya
b)      Bila mati jasadnya jangan ditelantarkan
c)      Urus jasadnya dengan semestinya
d)     Kerbau dijual untuk biaya pemakamannya
10.  Kang Nurya menolak menjual kerbau untuk biaya pengobatan penyakit di lehernya untuk mempertahankan harta gantungan
11.  Kata Kang Nurya tentang penyakit di lehernya:
a)      Usianya lebih dari Kanjeng Nabi dan tak apa-apa cepat mati
b)      Jangan jual kerbau untuk pengobatan
c)      Kerbau untuk biaya mengurus mayatnya kelak

12.  Pelukisan tentang berkarib dengan Kang Nurya:
a)      Kang Nurya cair dan ringan
b)      Kang Nurya suka tertawa
c)      Mata Kang Nurya memancarkan kecerahan
d)     Alis Kang Nurya jarang berkerut
e)      Jabatan tangan Kang Nurya hangat dan akrab
13.  Hidup Kang Nurya seringan suara seruling
14.  Keadaan Kang Nurya sore itu:
a)      Wajah Kang Nurya tampak berat
b)      Jiwa Kang Nurya seperti membeku
c)      Mata kang Nurya kosong
d)     Kang Nurya acuh tak acuh pada sekeliling
e)      Kang Nurya tidak peduli pada suara katak
15.  Markotob mengamati Kang Nurya dari dalam surau:
a)      Kang Nurya tampak mematung
b)      Kang Nurya tampak pucat wajahnya
c)      Kang Nurya tampak sakit
d)     Bengkak di leher Kang Nurya tampak bertambah besar
16.  Markotob menanyakan keadaan Kang Nurya
17.  Kang Nurya mengiyakan tanpa suara dan tidak peduli penyakitnya
18.  Kang Nurya masih ringan dan cair dengan senyumannya
19.  Kata Kang Nurya pada Markotob:
a)      Keadaan Kang Nurya yang kurang sehat
b)      Kang Nurya pusing dan lemah
c)      Kang Nurya tidak menggembalakan kerbau
d)     Kang Nurya hanya memberi makan kerbau seadanya
20.  Markotob bertanya pada Kang Nurya tentang keadaan lehernya
21.  Kata Kang Nurya pada Markotob menenangkan:
a)      Anggap tidak sakit
b)      Jangan meminta menjual kerbau
c)      Lebih baik mati punya harta gantungan daripada hidup tak punya apa-apa
d)     Usia lebih lama dari Kanjeng Nabi
e)      Hidup berjodoh dengan maut
22.  Markotob mengamati Kang Nurya tertawa kecil
23.  Markotob bimbang
24.  Markotob berfikir serius tentang kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok
25.  Pengamatan Markotob terhadap Kang Nurya:
a)      Kang Nurya terlihat ayem
b)      Kang Nurya terlihat tersenyum
c)      Kang Nurya terlihat menggulung rokok dan menyalakannya
d)     Kang Nurya terlihat meninggalkan surau terapung
e)      Salam Kang Nurya terlihat parau didengar
f)       Kang Nurya terlihat menuruni anak tangga
g)      Tangan Kang Nurya terlihat lekat berpegangan bambu
h)      Langkah Kang Nurya terlihat mantap meniti
i)        Kang Nurya terlihat sempat mengambil daun singkong untuk kerbaunya
26.  Markotob merenungi Kang Nurya di serambi surau
27.  Sesuatu yang menghentikan renungan Markotob tentang Kang Nurya:
a)      Ikan Gabus yang sedang menjaga anaknya
b)      Burung si Raja Udang yang terjun dan muncul lagi
c)      Burung si Raja Udang yang menjepit Ikan Timat
d)     Sehelai Daun Ketapang yang jatuh ke kolam
28.  Kang Nurya tidak muncul keesokan harinya di surau
29.  Markotob cemas
30.  Markotob menjenguk Kang Nurya
31.  Pelukisan tentang rumah Kang Nurya:
a)      Rumah bambu yang sudah tua
b)      Bau kerbau dan kotorannya
c)      Bilik tidur yang remang-remang
32.  Cepatnya perubahan yang terjadi pada Kang Nurya
33.  Kang Nurya ditunggui, diberi makan dan minum oleh tetangganya
34.  Kang Nurya makin parah
35.  Kang Nurya ditunggui, diberi makan dan minum oleh tetangganya
36.  Dialog Kang Nurya dengan Markotob:
a)      Markotob bertanya tentang keadaan Kang Nurya
b)      Kang Nurya balik bertanya; siapa yang menjenguknya
c)      Markotob menjawab dialah yang datang
d)     Kang Nurya menyahut balasan Markotob
e)      Markotob menanyakan keadaan Kang Nurya
f)       Kang Nurya menjawab keadaannya biasa saja
37.  Markotob melihat keadaan Kang Nurya makin serius
38.  Markotob berfikir tentang obat, dokter, dan rumah sakit
39.  Markotob ingin musyawarah dengan Pak RT dan warga desa untuk membawa Kang Nurya ke rumah sakit
40.  Kang Nurya menolak dibawa ke rumah sakit
41.  Alasan penolakan Kang Nurya dengan berkata:
a)      Jangan ke rumah sakit
b)      Usia yang mendekati kematian
c)      Biar di rumah saja
d)     Menunggu pasrah untuk sembuh
e)      Umur di tangan Tuhan
f)       Jika mati kerbau harus dijual
g)      Jenazah diurus baik-baik
h)      Buatkan selamatan
42.  Markotob tidak bisa berbuat apa-apa lagi
43.  Suasana di sekeliling Kang Nurya:
a)      Lengang dan mencekam
b)      Lenguh kerbau melengking
44.  Tindakan Markotob untuk Kang Nurya:
a)      Memberi tahu warga desa Kang Nurya makin parah
b)      Membantu dan membuktikan bahwa Kang Nurya tidak sebatang kara
45.  Yang dilakukan warga desa untuk Kang Nurya:
a)      Merawat Kang Nurya
b)      Mengurus kerbau Kang Nurya
c)      Membaca Surah Yasin
d)     Berusaha menghubungi anak Kang Nurya di Lampung
46.  Lima hari setelah Kang Nurya meninggal:
a)      Anak Kang Nurya belum ada yang datang
b)      Ada kemungkinan surat tak sampai
c)      Tak ada tangis selain lenguh kerbau
d)     Semuanya berjalan cair dan ringan
47.  Biaya pengurusan jenazah Kang Nurya:
a)      Gotong royong
b)      Kas RT
48.  Tentang kerbau yang ditinggalkan Kang Nurya:
a)      Orang desa merasa repot
b)      Orang desa merasa repot
c)      Selamatan tiga dan tujuh hari bukan uang dari menjual kerbau
d)     Dirawat hingga anak Kang Nurya pulang mengambil kerbau
49.  Hari kesepuluh Ward anak Kang Nurya datang
50.  Warga desa pangling pada Wardi

51.  Keadaan Wardi:
a)      Derajat hidupnya tidak bertambah baik
b)      Penampilannnya mengisyaratkan kemelaratan
c)      Transmigrasinya tidak sukses
d)     Tampak letih
52.  Yang dilakukan Wardi
a)      Berterima kasih pada warga desa
b)      Tidak akanlama tinggal
c)      Ingin mengurus kerbau
53.  Markotob menyampaikan wasiat Kang Nurya pada Wardi:
a)      Kerbau harus dijual
b)      Uang penjualan kerbau untuk biaya pemakaman
c)      Minta jenasah diurus dan membuat selamatan; sudah diurus warga desa
54.  Wardi menunduk dan tersenyum malu-malu
55.  Kata Wardi berencana:
a)      Kerbau akan dijual
b)      Uang penjualan kerbau sebagai ganti biaya pemakaman
56.  Pak RT menolak rencana W ardi
57.  Warga setuju pada Pak RT
58.  Wardi terharu:
a)      Matanya melebar dan berkaca-kaca
b)      Tangisnya hampir pecah
59.  Kata Wardi pada warga desa:
a)      Terima kasih
b)      Kebutuhannya akan uang untuk pernikahan anaknya
c)      Anaknya menuntut dinikahkan
d)     Ketidakpunyaan uang
60.  Warga desa meneteskan air mata
61.  Markotob merasa jembar hati
62.  Renungan Kotob:
a)      Calon pengantin yang jauh di Lampung
b)      Kang Nurya yang mati karena tumor
c)      Calon pengantin yang mendapat biaya pernikahan
d)     Do’a pemberkatan

B.     Unsur Struktural Cerpen
1)      Tema dan Amanat
Tampaknya pengarang menggunakan kerbau sebagai ‘maestro’ dalam cerpen Harta Gantungan ini. Kerbau digunakan sebagai alasan terkuat cerpen ini ditulis. Maka cerpen tersebut bertema penyampaian pesan berupa harta gantungan yang berwujud seekor kerbau sebagai biaya pemakaman.
Hal ini disebabkan dari 62 sekuen dan 150 sub sekuen, pesan berupa harta gantungan berwujud kerbau menduduki 2 sekuen dan 28 sub sekuen dengan uraian sebagai berikut:
1)      6e, 6f, 6h, 6i, 6j [5 sub sekuen]
2)      7a, 7b, 7c, 7d [4 sub sekuen]
3)      8 dan 8a, 8b [1 sekuen dan 2 sub sekuen]
4)      9a, 9b, 9c, 9d [4 sub sekuen]
5)      11b, 45b, 46b [3 sub sekuen]
6)      48a, 48b, 84c, 48d [4 sub sekuen]
7)      52c [1 sub sekuen]
8)      53 dan 53a, 53b, 53c [1 sekuen dan 3 sub sekuen]
9)      55a, 55b [2 sub sekuen]

Karena yang dimiliki hanya kerbau, yang bisa menghasilkan uang yang lumayan banyak (bagi yang kurang mampu, apalagi Kang Narya yang hidupnya digantungkan pada kerbau tersebut), maka kerbaulah yang menjadi wasiatnya. Selama masih ada ahli waris, warga desa apalagi Markotob [si ‘aku’] tidak sedikit pun mempunyai hak tersebut. Yang mempunyai hak adalah ahli warisnya, sedangkan warga dan Markotob berkewajiban menyampaikan amanah tersebut.
Rupanya cerpen ini boleh dikatan benar-benar berangkat dari pesan seseorang yang harus disampaikan yang bagaimanapun caranya, biasanya menjadi sebuah keharusan untuk dikabulkan. Hal ini pula yang menjadi salah satu tendensi yang tampaknya ingin  disampaikan pengarang melalui cerpen Harta Gantungan.
Pengarang melalui cerpen Harta Gantungan ini ingin menyampaikan bahwa sesuatu atau hal sekecil dan berbentuk apapun yang diamanahkan harus disampaikan, apalagi pesan seseorang sebelum ajalnya menjelang yang lazim disebut sebagai wasiat. Apapun namanya, pesan itu amanah.
Kerbau meski berupa binatang, tetapi si Pemiliknya menghendaki sebagai ‘amanah’ atau wasiat yakni harta gantungan, tetap saja harus dikabulkan atau disampaikan. Perhatikan petikan-petikan berikut:
…Kang Nurya pernah bilang: bagi dia kerbaunya adalah satu-satunya harta gantungan. Di kampung kami, harta gantungan adalah cadangan biaya untuk menyelesaikan urusan-urusan kematian bila si pemilik meninggal dunia. Harta gantungan biasanya berupa sisa seidang tanah, setelah dibagi untuk anak-anak. “Aku tak punya tanah secuil pun. Jadi ya kerbau ini yang saya jadikan harta gantungan. Maka kalau aku mati, tolong jasadku jangan ditelantarkan. Uruslah dengan semstinya. Jual kerbauku ntuk membiayai semuany.[par.6]
…Kalau aku mati, tolong jasadku jangan ditelantarkan. Uruslah dengan semestinya. Jual kerbauku untuk membiayai semuanya (par. 7).
Umurku sudah lebih tua daripada usia Kanjeng Nabi. Itu sudah lebih dari cukup. Jadi jangan bawa aku ke mana pun. Biarlah aku tetap di sini. Siapa tahu aku bisa sembuh. Kan umur ada di tangan Tuhan. Yang penting kamu jangan lupa, bila ternyata aku tidak kuat, juallah kerbauku. Urus mayatku. Jangan lupa juga bikin selamatan [par. 26].
Kang Nurya berwasiat, kerbau itu harus dijual dan uangnya bisa dipakai untuk biaya mengurus jenazahnya…[par.32].
2)      Tokoh dan Penokohan
Tokoh sentral di dalam cerpen Harta Gantungan ini adalah Kang Nurya. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah sekuen dan sub-sub sekuennya sebagai berikut:
1)            2c, 4, {1 sekuen dan 1 sub sekuen}
2)            [5, dan 5a-5b <1 sekuen dan 2 sub sekuen>],
3)            [6 dan 6a-6j <1 sekuen dan 10 sub sekuen>],
4)            [7 dan 7 a-7d <1 sekuen dan 4 sub sekuen>],
5)            10, 11, 12, 13, 14, {5 sekuen}
6)            [15, dan 15-15d <1 sekuen dan 4 sub sekuen>],
7)            17, 18, { 2sekuen}
8)            [19 dan 19a-19c < 1 sekuen dan 3 sub sekuen>],
9)            [21 dan 21a-21e < 1 sekuen dan 5 sub sekuen>],
10)        22, 24, {2 sekuen}
11)        [25 dan 25a-25i <1 sekuen dan 9 sub sekuen>],
12)        32, 33, 34, 35, {4 sekuen}
13)        [36 dan 36b, 36d, 36f <1 sekuen dan 3 sub sekuen>],
14)        40, 41, 43, 46a, 47, 49, dan 62b { 7 sekuen}

Berdasarkan uraian di atas maka dari 62 sekuen dan 150 sub sekuen, didapat 28 sekuen dan 43 sub sekuen. Jumlah tersebut selisih 8 sekuen dan 36 sub sekuen dari yang ditempati oleh Markotob yang menempati 20 sekuen dan 7 sub sekuen dengan urutan sebagai berikut:
a)      2c [1 sub sekuen]
b)      3, 5, 15, 16, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 30 [11 sekuen]
c)      36 dan 36a, 36c, 36e [1 sekuen dan 3 sub sekuen]
d)     37, 38, 39, 42 [4 sekuen]
e)      44, dan 44a-44b [1 sekuen dan 3 sub sekuen]
f)       53, 61, dan 62 [3 sekuen]

Kang Narya memberi gambaran karakteristik orang desa yang masih mempunyai keramahan yang di masa ini sudah meluntur dengan luar biasa. Kehidupannya pun mengalir apa adanya, ada kepasrahan bercampur kebersahajaan yang di masa ini kehilangan ruang.
Kang Nurya menjadi tanda dari orang-orang pada masanya, yaitu orang-orang yang kurang berpendidikan dan umumnya masih steril dari kehedonismean kota. Hidupnya diabdikan untuk lingkungan dan mata pencaharian yang masih ‘organik’ dari keagrarisan tanahnya.
Kang Nurya juga merupakan sosok orang tua yang kukuh pada pendiriannya, tahu diri karena ttidak mau merepotkan orang lain dengan masih inginnya mempunyai harta gantungan sebagai biaya pemakamannya kelak. Ia tipe pekerja keras, meski sudah tua dan sering sakit-sakitan ia masih tidak malas menggembalakan kerbau. Hal ini dapat diketahui dari petikan-petikan berikut:
Maka Kang Nurya yang mengaku sudah berusia lebih tua dari Kanjeng Nabi, hanya bisa mengakrabi seekor kerbaunya. Hari-hari Kang Nurya adalah hari-hari bersama binatang itu (par. 4).
Karena kukuhnya ingin tetap memiliki harta gantungan, Kang Nurya menolak menjual kerbaunya [par. 7].
Berkarib dengan Kang Nurya selalu terasa cair dan ringan. Mungkin karema Kang Nurya suka tertawa. Matanya enak dipandang karena selalu memancarkan kecerahan. Alisnya jarang berkerut. Kalau berjabat tangan terasa hangat dan akrab. Memang hidup Kang Nurya seakan mengalir ringan, seringan lalat dan langau yang berterbangan di punggung kerbaunya. Atau seringan suara seruling yang kadang ditiupnya di tepi hutan dan terdengar lamat-lamat dari kampung [par. 8].
Maka kami sering salat bersama, kemudian lesehan dan ngobrol berdua di serambi [par. 3].
Petikan di atas menunjukkan mata pencaharian penduduk masih agraris. Kerbau identik dengan kehidupan desa, sedangkan kota sudah sangat jarang bahkan tidak ada yang masih bergelut dengan binatang (apalagi secara personal).
Sedangkan Wardi yang merupakan anak Kang Nurya memberi sebuah gambaran salah satu orang desa yang tidak berhasil memperbaiki hidupnya di tanah rantau. Tetapi Wardi bisa dijadikan cermin betapa ia berusaha berbakti dengan tetap datang melihat kubur ayahnya meski ongkos perjalanan mahal. Rasa bakti yang pada manusia modern sudah sangat bersifat materialistis (memasukkan orang tua ke panti jompo karena tidak mau kerepotan misalnya). Bakti Wardi dapat dilihat dari petikan di bawah ini:
Hari kesepuluh sejak kematian Kang Nurya, seorang anak lelakinya datang. dialah Wardi anak sulung Kang Nurya. Kami hampir pangling. Kami melihat kesan kepindahannya ke Lampung tidak mengubah derajat hidupnya. Kemelaratan masih tergambar jelas dari seluruh penampilannya…(par. 30).
Markotob
Tokoh Markotob ini tampaknya orang yang sedikit banyak lebih berpendidikan. Ia tipe orang yang tidak sombong dan pedili pada nasib orang lain. Ia juga orang yang berada di antara kultur desa dan kota. Lihat dalam petikan berikut:
…Padahal setahu saya, pembengkakan semacam itu bisa berbahaya bila ternyata ada tumor kelenjar gondok di sana (par. 7). Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui apa itu penyakit tumor kelenjar gondok.
Saya sadar keadaan lelaki itu serius. Maka pikiran saya langsung teringat obat, dokter, rumah sakit. Saya ingin bermusyawarah dengan para tetangga dan Pak Rt untuk membawa Kang Nurya ke rumah sakit…(par. 25). Hal ini menunjukkan bahwa Markotob peduli pada nasib orang-orang yang ada di sekitarnya dan menghormati keputusan orang lain dengan mengadakan musyawarah.
3)      Alur dan Pengaluran
Dalam cerpen ini, pengarang menggunakan alur maju dengan memanfaatkan seorang narator ‘aku’ yang bernama Markotob. Pengaluran yang digunakan pengarang tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Awal → dapat dilihat dari deskripsi yang disampaikan pengarang melalui narator ‘aku’ mengenai suasana desa, siapa tokoh Kang Nurya dan kerbaunya yang akan menjadi bahan pokok penceritaan cerpen ini.
b.      Tengah → dapat dilihat dari bagaimana awal Kang Nurya sakit dan akhirnya meninggal dunia.
c.       Akhir → dapat dilihat dari kedatangan Wardi yang mengurus wasiat ayahnya mengenai penjualan kerbau.
4)      Setting atau Latar
Pengarang mengambil setting desa dengan berbagai suasana atau latar tempat, waktu, dan kehidupan sosial yang benar-benar “ndesani”.
Latar tempat = surau, tambak, rumah bambu

Latar waktu = bisa masa lalu, bisa masa sekarang (dilihat dari nama, dan perbandingan usia tokoh yang menggunakan pengibaratan umur Kanjeng Nabi)
Dari nama-nama tokoh dalam cerpen ini seperti misalnya Kang Nurya, Markotob dan Wardi, akan memberikan gambaran keidentikannya dengan nama orang-orang yang beretnis Jawa, bertempat tinggal paling tidak di sebuah desa yang masih menunjukkan kehidupan ‘saiyeg saeka praya’ atau kegotong royongan dan kekeluargaan yang kental.
Nama-nama tersebut merupakan nama orang ‘lawas’ (sebab nama-nama orang yang lebih modern tidak demikian nJawani) yang banyak hidup sebelum tahun , meskipun masih dipakai oleh orang-orang sekarang (yang lahir setelah tahun 90-an jarang menggunakan nama ini).

Latar sosial = shalat, kepemilikan atas kerbau, nama tokoh, masih kentara dalam melaksanakan ibadah, seruling, gotong royong
5)      Gaya Cerita
Bahasa pengarang terkesan ringan dang merupakan bahasa keseharian yang meninggalkan ‘selengekan’. Istilah-istilah Jawa yang dipakai oleh pengarang memperkuat bahwa setting cerita menyangkut kultur Jawa yang masih nJawani. Perhatikan petikan berikut:
…Padahal di depannya sedang ada dua ikan mujair jantan berkejaran sehingga menimbulkan riak-riak air. Atau ikan betik yang melompat ke atas permukaan air untuk menangkap serangga…(par. 9). Biasanya penamaan jenis ikan ini dipakai oleh orang-orang Jawa khususnya sebagian wilayah di Jawa Tengah.
Saya serius memikirkan kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok. Tapi yang bersangkutan ayem saja (par. 16). Kata ‘ayem’ yang berarti tentram dan damai merupakan kata dari Bahasa Jawa.
6)      Sudut Pandang
Pengarang menggunakan sudut pandang orang III (tiga) dengan memanfaatkan narator ‘aku’. Pengarang ikut hadir dalam cerita tetapi bukan sebagai tokoh utama yang seolah-olah tahu semua apa yang akan terjadi pada tokoh-tokoh cerita. Hal ini juga disebakan oleh penyebutan Kang Nurya sebagai ganti ‘dia’.

No comments:

Post a Comment