Sekuriti
kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil
bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari
stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat
jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat
peristiwa itu dan menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau
sebenarnya hal semacam itu bukanlah tugasnya.
Ada apa
ini?” katanya sambil mendekat. Dia lihat orang tua itu meletakkan barang
bawaannya di sekitar dirinya yang sangat letih. Ayam jantan itu menjulurkan
kepalanya dari dalam sangkar anyaman daun kelapa menghirup udara segar.
Orang tua
ini mau masuk ke dalam. Dia bersikeras kalau salah seorang penghuni Komplek mewah yang kujaga ini adalah
anaknya. Aku tak percaya. Apalagi dia hanya bisa menyebut nama anaknya. Sedang
yang lain, yang dibutuhkan untuk mencari sebuah rumah tidak dapat dia sebutkan.
Maka aku tidak mempercayainya.”
“Bapak tentu
datang dari kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”
Polisi itu
memerhatikan kepala ayam yang terjulur dari dalam anyaman daun kelapa tidak
jauh dari dia berdiri. Dia lihat mata ayam itu merah. Paruh ayam ternganga.
Kerongkongan bergerak-gerak mengatur napas. Lidahnya terjulur meneteskan liur.
“Ayam ini
tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus
dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik
daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.”
Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu.
Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah
menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir
peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol.
Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia letakkan kepala ayam
itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia
menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah
itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa.
Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam
lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering.
Orang tua itu ternganga melihat semua itu.
“Maaf Bapak.
Ini terpaksa saya lakukan.” Katanya sambil menggosokkan gagang pistol ke
rumput. “Coba Bapak katakan apa yang ingin Bapak lakukan bila kami izinkan
Bapak masuk ke dalam kompleks perumahan mewah ini?”
“Aku akan
mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah
ini.”
“O, begitu.
Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal kami. Kami tidak yakin Bapak adalah
ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.”
“Jadi Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah ayah
dari salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk
mencari rumah anakku. Aku tidak boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku
menemukan pintu rumah anakku.”
“Tidak
boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah mengambil alih menangani orang
tua itu. Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi lalu lintas. Dia telah mengambil
alih tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang dia merasa dialah yang harus
menangani orang tua itu.
“Di sini
tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah
seorang penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian
orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi
ini.”
“Jadi Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua
salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu!
Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu.
Polisi lalu lintas itu terkejut:
Apa maksud
orang tua ini? Aku mewakili masyarakat Malin Kundang? Legenda itu menceritakan
orang-orang tidak percaya kalau wanita tua yang mengenakan pakaian yang dia
punya adalah ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita tua terlunta-lunta
di tepi pantai menunggu kedatangan anaknya adalah ibu seorang kaya raya. Ibu
orang yang bepergian dengan kapal miliknya dari pulau ke pulau, menjalankan
usaha di jalur perdagangannya. Dia datang ke pulau itu rindu akan kampung
halamannya. Ibunya mendengar kabar kedatangan anaknya. Dia datang menyambut,
tetapi orang-orang menertawakannya dan mengejeknya. Malin Kundang tidak
mengakuinya sebagai ibu. Jadi, orang tua ini merasa diperlakukan seperti yang
dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya.
“Ya, betul.
Kami tidak percaya. Bapak tidak mungkin ayah dari salah seorang pemilik rumah
mewah ini.”
“Apa Engkau
mau menjadi batu?”
Polisi lalu
lintas itu tersenyum. Dia merasa ucapan orang tua itu sebuah lelucon.
Sebuah mobil
kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta
kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari
bepergian.
“Tunggu
sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia
menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…,
seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat
jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, betul.
Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Ya, itu
adalah ayah!” Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata
lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya
menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam
dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.
“Ayah!”
Katanya. Si Polisi lalu lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga
kompleks perumahan mewah itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu
gerbang.
“Ayo, Ayah!”
Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil. Si wanita memeluk
ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup,
orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.
“Malin
Kundang,” katanya. Anak dan menantunya tidak mendengar jelas kata-kata itu.
Pintu ditutup si anak. Dia masuk menyusul istrinya di kursi belakang. Si sopir
membuka pintu dan turun mengambil satu per satu bawaan lelaki tua itu.
Mula-mula dia angkat satu tandan pisang, lalu dua ikat jagung, dan kemudian
satu buah nangka. Semua dia masukkan ke tempat barang di buntut mobil.
“Ayah juga
membawa ayam, tapi ayam itu mereka bunuh dan mereka bakar di dalam lubang.”
“Maafkan
mereka ayah. Ayam hidup tidak boleh dibawa masuk ke dalam kompleks.” Penjaga kompleks perumahan mewah itu membuka pintu gerbang selebar-lebarnya
dan tampak dia terbingung-bingung. Polisi lalu lintas itu terpaku memerhatikan
semua kejadian itu. Dia setengah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Polisi lalu
lintas itu masih juga terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi
gerbang yang ditutup. Dia jadi teringat apa yang diucapkan orang tua itu. Malin
Kundang. Apa hubungannya dengan aku. Malin Kundang memang menjadi batu dalam
lagenda itu. Dia sentakkan kepalanya dari keterpukauannya untuk mengembalikan
kesadarannya. Dia naik ke atas kendaraan roda duanya, menghidupkan mesin, dan
meneruskan perjalanannya menuju markas kepolisian tempat dia bekerja. Dia terus
memacu kendaraannya, lalu membelok ke dalam halaman markas. Dia sampai ke ruang
markas. Masuk ke salah satu ruang dan melepas helm. Dia duduk sebentar lalu
seperti teringat sesuatu. Dia beranjak dan pergi ke kamar kecil, membasuh popor
pistol dari darah ayam yang sudah mengering. Kemudian dia kembali ke ruang
tempat dia tadi duduk. Waktu melintas di depan gudang penyimpanan
barang-barang, dia lihat pintu gudang tidak tertutup rapat. Lewat pintu yang
sedikit renggang dia lihat patung dari bahan semen tersimpan di dalam. Selama
ini dia tidak tertarik untuk masuk ke dalam dan memerhatikan patung-patung itu
dari dekat. Sekarang tiba-tiba dia tertarik. Apakah setelah mendengar ucapan
orang tua itu dia lalu tertarik masuk ke dalam untuk melihat patung-patung itu
lebih dekat. Dia tersenyum, lalu dia buka pintu gudang itu lebih lebar. Tampak
patung-patung memberi hormat kepadanya. Dia senyum membalas hormat
patung-patung itu.
“Mirip
betul. Mirip betul dengan diriku kalau aku mengenakan pakaian dinas. Pematung
yang terampil. Dia berhasil memindahkan profesi polisi lalu lintas ke dalam
diri patung-patung ini.” Dia kembali senyum memandang satu per satu
patung-patung itu.
Patung-patung
polisi lalu lintas itu belum semua terpasang di tempat-tempat strategis di
jalan-jalan kota. Dia tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi
bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan
dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si
sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan.
Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu.
Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di
depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu
hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan para
pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang sedang
tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir taksi
itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak mengindahkannya walau
sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi Tidur.”
Lelaki yang
didatangi ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota.
Kali ini lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk
di sampingnya. Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu itu hujan
lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu sampai di
perempatan. Mobil dia hentikan. Setelah menunggu agak lama, si istri berpaling
ke kiri dan ke kanan, lalu berkata.
“Aman Pa.
Jalan saja.”
“Jangan.
Kita harus patuh pada peraturan lalu lintas. Coba lihat polisi itu. Dia hormat
kepada kita di bawah guyuran hujan lebat.”
“Di sebelah
mana? Aku tidak melihat ada polisi.”
“Sebelah
kiri di depan kita.”
“O, itu. Itu
kan patung.” Orang tua itu mendengar apa yang dibicarakan anak dan menantunya. Dia
melihat ke depan, ke arah yang dikatakan anak dan menantunya. Tampak olehnya
Polisi Patung di bawah guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada
mereka. Mobil pun berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu
melihat ke luar. Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba
melihat Polisi Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak.
“Ya Allah.
Polisi itu…, menjadi batu….”
***
Hamsad Rangkuti (28 Oktober
2007)
No comments:
Post a Comment