About

Kajian Cerpen "Harta Gantungan"



Judul Cerpen   : Harta Gantungan
Pengarang       : Ahmad Tohari
Sumber            : Suara Merdeka Edisi Minggu, 23 Mei 2004

1.      Surau kecil itu berada di salah satu sudut tambak yang lumayan lebar. Seperti sebuah balai kambang. Disangga oleh empat batang kelapa yang terpancar ke dasar tambak. Surau itu kadang tampak seperti perahu atau rumah panggung kecil di atas air. Dan siapa saja yang mau shalat di sana akan berjalan melewati titian bambu sepanjang belasan langkah. Ada tempat berwudu di pangkal titian berupa pancuran yang dikelilingi bilik anyaman daun kelapa. Pancuran itu memasok air segar dari lereng bukit ke dalam kolam. Di dalam bilik itu orang berwudu, biasanya sesudah membuang hajat.
2.      Karena agak jauh dari pemukiman, maka surau itu hanya dipergunakan orang untuk shalat lohor dan asar pada siang hari. Setelah matahari terbenam, surau itu gelap dan merana. Burung hantu yang sedang mengintai ikan, suka bertengger di atapnya. Hanya beberapa orang yang biasa shalat di sana. Di antaranya dua orang penyadap nira. Sering juga ada pedagang keliling singgah untuk menunaikan ibadah. Selebihnya—hanya kadang-kadang—adalah saya dan Kang Nurya.
3.      Saya sering berada di sana karena saya pemilik tambak itu. Dan Kang Nurya, pemilik satu-satunya kerbau terakhir di kampung ini, punya kebiasaan mengembala ternaknya di dekat tambak saya. Maka kami sering salat bersama, kemudian lesehan dan ngobrol berdua di serambi.
4.      Kang Nurya hidup menduda dan tinggal seorang diri di rumanya di tepi kampung. Istrinya sudah lama meninggal, dan delapan anaknya hanya tinggal tiga yang masih hidup. Tetapi ketiganya ikut bertransmigrasi ke daerah Lampung Selatan dan sudah belasan tahun tak ada kabar beritanya. Maka Kang Nurya yang mengaku sudah berusia lebih tua dari Kanjeng Nabi, hanya bisa mengakrabi seekor kerbaunya. Hari-hari Kang Nurya adalah hari-hari bersama binatang itu. Karena keakraban itu, bau kerbau adalah bau Kang Nurya juga. Jadilah di kampung kami lelaki tua itu dipanggil dengan sebutan lucu; Nurya Kebo.
5.      Tetapi sebutan lucu itu bukan sesuatu yang berlebihan. Bahkan terasa sangat jujur, karena menurut Kang Nurya, kerbau kerbau adalah segalanya. Kerbau sudah menjadi sahabat dan bagian terpenting dalam hidupnya. Memang Kang Nurya hidup dari harga seekor kerbau. Kerbau yang sudah dipelihara dan dibesarkan, dijual ketika pasaran baik yakni pada hari-hari menjelang lebaran. Lalu dibelinya lagi kerbau yang lebih kecil untuk dibesarkan. Dari menjual kerbau besar dan membeli kerbau kecil, Kang Nurya mendapat uang lebih. Demikian seterusnya.
6.      Atau lebih dari itu, Kang Nurya pernah bilang: bagi dia kerbaunya adalah satu-satunya harta gantungan. Di kampung kami, harta gantungan adalah cadangan biaya untuk menyelesaikan urusan-urusan kematian bila si pemilik meninggal dunia. Harta gantungan biasanya berupa sisa seidang tanah, setelah dibagi untuk anak-anak. “Aku tak punya tanah secuil pun. Jadi ya kerbau ini yang saya jadikan harta gantungan. Maka kalau aku mati, tolong jasadku jangan ditelantarkan. Uruslah dengan semstinya. Jual kerbauku ntuk membiayai semuanya.” Demikian wasiat tidak resmi yang diberikan Kang Nurya kepada saya.
7.      Karena kukuhnya ingin tetap memiliki harta gantungan, Kang Nurya menolak menjual kerbaunya untuk membiayai pengobatan lehernya yang membengkak di bagian sisi kanan. Padahal setahu saya, pembengkakan semacam itu bisa berbahaya bila ternyata ada tumor kelenjar gondok di sana. “Saya sudah bilang, umur saya sudah melewati usia Kanjeng Nabi. Dan bila saya harus mati karena bengkak di leher ini, ya tidak apa-apa. Yang penting saya masih punya harta gantungan. Kalau kerbauku dijual untuk biaya berobat sekarang, lalu biaya dari mana mayatku akan diurus?”
8.      Berkarib dengan Kang Nurya selalu terasa cair dan ringan. Mungkin karena Kang Nurya suka tertawa. Matanya enak dipandang karena selalu memancarkan kecerahan. Alisnya jarang berkerut. Kalau berjabat tangan terasa hangat dan akrab. Memang hidup Kang Nurya seakan mengalir ringan, seringan lalat dan langau yang berterbangan di punggung kerbaunya. Atau seringan suara seruling yang kadang ditiupnya di tepi hutan dan terdengar lamat-lamat dari kampung.
9.      Anehnya, sore ini Kang Nurya tampak lain. Ketika duduk bersila seorang diri di serambi surau selepas asar, wajahnya tampak berat. Seperti ada bagian yang membeku dalam jiwanya. Matanya kosong. Kang Nurya kelihatan tak peduli dengan pemandangan di sekelilingnya. Padahal di depannya sedang ada ikan mujair jantan berkejaran sehingga menimbulkan riak-riak air. Atau ikan betik yang melompat ke atas permukaan air untuk menangkap serangga yang sedang hinggap di batang rumput.bahkan mungkin Kang Nurya tidak mendengar suara anak katak yang megap-megap karena kecilnya mulai masuk ke dalam mulut seekor ular.
10.  Dari dalam surau saya perhatikan Kang Nurya masih mematung. Aku mendekat dan terkejut ketika melihat wajah Kang Nurya agak pucat. Secara kesluruhan citra wajah lelaki itu memperlihatkan citra orang sakit. Dan setelah saya amati, bengkak di didi lehernya tampak bertambah besar.
11.  “Kelihatannya kamu sakit, Kang?”
12.  tanpa menoleh Kang Nurya mengiyakan pertanyaanku. Tapi ciri khas masih muncul dalam penampilannya. Cair dan senyum.
13.  “sudah beberapa hari ini aku merasa kurang sehat. Pusing dan badan rasanya lemah. Kasihan kerbauku. Dia tidak kugembalakan, hanya kuberi makan seadanya di kandang.”
14.  “Lehermu sakit?”
15.  “Ya, tapi sudahlah. Kau jangan minta lagi aku menjual kerbau untuk perawatan sakit di leher ini. Berapa kali saya harus bilang, saya merasa lebih baik mati tapi masih punya harta gantungan daripada hidup tak punya apa-apa. Apalagi saya sudah tua, lebih tua dari usia Kanjeng Nabi. Lagipula, hidup itu jodohnya ya maut. Iya kan?”
16.  Kang Nurya tertawa kecil. Tapi saya malah bimbang. Saya serius memikirkan kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok. Tapi yang bersangkutan ayem saja. Dia tersenyum saja, malah masih sempat menggulung rokok dan menyalakannya sebelum bangkit meninggalkan surau terapung. Salamnya terdengar sedikit parau dan dalam.
17.  Saya perhatikan Kang Nurya menuruni anak tangga untuk mencapai titian. Tangan kirinya lekat pada bambu pegangan. Langkahnya mantap karena dia sudah sangat terbiasa dengan titian itu. Di kejauhan saya melihat Kang Nurya masih sempat menjambret daun-daun singkong liar yang tumbuh di tepi selokan. Pasti demi kerbaunya.
18.  Sendiri di serambi surau terapung saya masih merenungi Kang Nurya. Pikiran ke sana hanya terhenti sejenak bila ada sesuatu yang lebih menyita perhatian saya; ikan gabus yang sedang menjaga ratusan anaknya yang baru menetas itu; burung si raja udang yang tiba-tiba terjun, lalu muncul lagi, dan langsung melesat dengan ikan kepala timat terjepit di paruhnya. Atau sehelai daun ketapang tua yang luruh terhembus angin dan jatuh tanpa suara ke permukaan kolam.
19.  Keesokan hari Kang Nurya tidak muncul di surau terapung. Ada rasa cemas yang membuat saya harus menjenguk Kang Nurya di rumahnya, sebuah bangunan bambu yang sudah tua. Bau kerbau dan kotorannya. Bilik tidur Kang Nurya remang-remang meskipun di luar sinar matahari amat terang. Benar dugaan saya, lelaki itu betul-betul sakit. Perubahannya sangat cepat. Untung ada tetangga yang setia menungggu Kang Nurya dan memberinya makan dan minum.
20.  “Aku datang, Kang Nurya. Bagaimana keadaanmu?”
21.  “Kamu siapa?”
22.  “Saya Kotob.”
23.  “Oh, Markotob.”
24.  “Ya. Bagaimana keadaanmu?”
25.  “Ya begini ini,” jawab Kang Nurya dengan suara yang sudah berubah. Saya sadar keadaan lelaki itu serius. Maka pikiran saya langsung teringat obat, dokter, rumah sakit. Saya ingin bermusyawarah dengan para tetangga dan Pak RT untuk membawa Kang Nurya ke rumah sakit. Tetapi ketika mendengar gagasan saya, Kang Nurya langsung menggeleng.
26.  “Jangan,” katanya dengan suara lemah. “Umurku sudah lebih tua daripada usia Kanjeng Nabi. Itu sudah lebih dari cukup. Jadi jangan bawa aku ke mana pun. Biarlah aku tetap di sini. Siapa tahu aku bisa sembuh. Kan umur ada di tangan Tuhan. Yang penting kamu jangan lupa, bila ternyata aku tidak kuat, juallah kerbauku. Urus mayatku. Jangan lupa juga bikin selamatan.”
27.  Saya tak bisa berkata apa-apa lagi. Suasana terasa lengang dan mencekam. Lenguh kerbau yang lapar yang meronta ingin lepas dari tali yang membelenggu lehernya. Saya keluar lagi untuk memberitahu ketua RT dan para tetangga, bahwa sakit Kang Nurya sudah parah. Kami ingin membuktikan di kampung kami Kang Nurya tidak hidup hanya dengan kerbaunya. Kami ingin merawat dengan sepantasnya meskipun Kang Nurya menolak dibawa ke rumah sakit. Kami akan mengurus kerbaunya agar tidak terus melenguh-lenguh. Dan kami akam memberi lampu yang lebih terang di bilik tidurnya. Atau kami akan meminta seseorang membaca surah Yasin untuk mengantar kepergian Kang Nurya. Kami juga akan berusaha menghubungi anak-anak Kang Nurya di Lampung dengan cara apa saja.
28.  Pada hari kelima Kang Nurya meninggal. Anak-anaknya belum satu pun yang muncul. Mungkin surat kami tak sampai karena alamat yang kami dapat agak meragukan. Dan kecuali kerbaunya yang melenguh panjang, selebihnya tak ada tangis. Semuanya berjalan cair dan ringan.
29.  Jenazah Kang Nurya kami urus dengan biaya gotong royong para tetangga. Ada juga dari kas RT. Repotnya, adalah kerbau itu. Kami merasa tak berhak menjualnya meski ada wasiat lisan dari Kang Nurya. Maka selamatan tiga dan tujuh hari kami lakukan ala kadarnya, yakni dengan tahlilan di masjid kampung. Sementara itu seorang tetangga kami minta merawat kerbau Kang Nurya sampai anaknya datang dari Lampung.
30.  Hari kesepuluh sejak kematian Kang Nurya, seorang anak lelakinya datang. dialah Wardi anak sulung Kang Nurya. Kami hampir pangling. Kami melihat kesan kepindahannya ke Lampung tidak mengubah derajat hidupnya. Kemelaratan masih tergambar jelas dari seluruh penampilannya. Jadi ada benarnya kata orang program transmigrasi bisa berarti pemerataan kemiskinan ke luar Jawa. Ah, entahlah.
31.  Dalam keletihan karena perjalanan jauh, Wardi mengucapkan terima kasih karena kami telah mengurus ayahnya. Dia juga berkata tidak akan berlama-lama tinggal bersama kami karena tidak ada sesuatu yang harus diurusnya kecuali kerbau itu. Karena dia menyebut soal kerbau itu, maka saya sampaikan wasiat Kang Nurya kepadanya.
32.  “Kang Nurya berwasiat, kerbau itu harus dijual dan uangnya bisa dipakai untuk biaya mengurus jenazahnya. Tetapi kami sudah menyelesaikan urusan itu, bahkan juga selamatan tiga dan tujuh harinya. Jadi soal kerbau itu terserah kamu.”
33.  Anak Kang Nurya menunduk. Kemudian dengan senyum malu-malu dia berkata, “Kerbau itu jelas akan saya jual. Sebagian uangnya akan saya serahkan sebagai ganti biaya yang telah dikeluarkan oleh para tetangga..”
34.  “Tidak. Kami tidak meminta ganti,” potong Pak RT yang hadir di antara kami. Semua orang setuju. Mata Wardi melebar dan berkaca-kaca. Tangisnya terasa hampir pecah.
35.  “Kalau begitu, terima kasih banyak. Matur nuwun. Jujur saja, sesungguhnya saya sedang membutuhkan banyak uang. Anak saya sedang menuntut kawin, dan saya belum punya uang sepeser pun. Matur nuwun…”
36.  Kami melihat anak Kang Nurya meneteskan air mata. Tetapi saya sendiri merasa jembar hati. Ya, rupanya, jauh disana, ada calon pengantin yang dapat keberuntungan pada saat-saat terakhir. Karena kakeknya rela mati kena tumor demi mempertahankan harta gantungan. Calon pengantin itu pun mendapat biaya untuk menikah. Semoga diberkati.

1.Pelukisan surau meliputi:
a)      Ukuran surau
b)      Letak surau
c)      Cara menempuh/menuju surau
d)     Bentuk dan tempat wudlu di surau
e)      Sumber air wudlu di surau
f)       Orang yang wudlu di surau
g)      Jauhnya surau dari pemukiman
h)      Surau hanya digunakan untuk shalat Lohor dan Asar
i)        Keadaan surau saat petang
j)        Binatang malam yang menghuni surau
2. Orang yang biasa shalat di surau:
a)Dua orang penyadap nira
b)      Pedagang kelliling
c)Markotob dan Kang Nurya
3. Markotob sering ke surau karena ia pemilik tambak.
4. Kang Nurya sering ke surau karena ia biasa menggembala kerbau di dekat surau dan tambak
5. Kebiasaan Markotob dan Kang Nurya saat disurau:
a)      Shalat bersama
b)      Lesehan dan ngobrol di serambi
6. Kehidupan Kang Nurya:
a)      Kang Nurya duda tinggal sendirian di tepi kampung
b)      Istri Kang Nurya sudah lama meninggal
c)      Delapan anak Kang  Nurya tinggal tiga yang masih hidup
d)     Ketiga anak Kang Nurya bertransmigrasi
e)      Kang Nurya akrab dengan kerbau
f)       Keseharian Kang Nurya bersama kerbau
g)      Kang Nurya mempunyai julukan Nurya Kebo
h)      Bai Kang Nurya kerbau adalah segalanya
i)        Kerbau bagian terpenting dalam hidup Kang Nurya
j)        Hidup Kang Nurya berasal dari harga seekor kerbau
7. Cara Kang Nurya memperoleh uang:
a)      Kang Nurya memelihara dan membesarkan kerbau
b)      Kang Nurya menjual kerbau ketika pasaran baik menjelang lebaran
c)      Kang Nurya membeli lagi kerbau yang lebih kecil untuk dibesarkan
d)     Dari menjual kerbau besar dan membeli kerbau kecil Kang Nurya mendapat uang lebih
8. Arti kerbau bagi Kang Nurya:
a)      Harta gantungan
b)      Cadangan biaya untuk menyelesaikan urusan kematian pemiliknya
9. Pesan Kang Nurya pada Markotob:
a)      Tidak punya tanah maka harta gantungan kerbau yang dimilikinya
b)      Bila mati jasadnya jangan ditelantarkan
c)      Urus jasadnya dengan semestinya
d)     Kerbau dijual untuk biaya pemakamannya
10.  Kang Nurya menolak menjual kerbau untuk biaya pengobatan penyakit di lehernya untuk mempertahankan harta gantungan
11.  Kata Kang Nurya tentang penyakit di lehernya:
a)      Usianya lebih dari Kanjeng Nabi dan tak apa-apa cepat mati
b)      Jangan jual kerbau untuk pengobatan
c)      Kerbau untuk biaya mengurus mayatnya kelak
12.  Pelukisan tentang berkarib dengan Kang Nurya:
a)      Kang Nurya cair dan ringan
b)      Kang Nurya suka tertawa
c)      Mata Kang Nurya memancarkan kecerahan
d)     Alis Kang Nurya jarang berkerut
e)      Jabatan tangan Kang Nurya hangat dan akrab
13.  Pelukisan hidup Kang Nurya:
a)      Mengalir ringan
b)      Seringan lalat dan langau yang beterbangan
c)      Seringan suara seruling
14.  Keadaan Kang Nurya sore itu:
a)      Wajah Kang Nurya tampak berat
b)      Jiwa Kang Nurya seperti membeku
c)      Mata kang Nurya kosong
d)     Kang Nurya acuh tak acuh pada sekeliling
e)      Kang Nurya tidak peduli pada suara katak
15.  Markotob mengamati Kang Nurya dari dalam surau:
a)      Kang Nurya tampak mematung
b)      Kang Nurya tampak pucat wajahnya
c)      Kang Nurya tampak sakit
d)     Bengkak di leher Kang Nurya tampak bertambah besar
16.  Markotob menanyakan keadaan Kang Nurya
17.  Kang Nurya mengiyakan tanpa suara dan tidak peduli penyakitnya
18.  Kang Nurya masih ringan dan cair dengan senyumannya
19.  Kata Kang Nurya pada Markotob:
a)      Keadaan Kang Nurya yang kurang sehat
b)      Kang Nurya pusing dan lemah
c)      Kang Nurya tidak menggembalakan kerbau
d)     Kang Nurya hanya memberi makan kerbau seadanya
20.  Markotob bertanya pada Kang Nurya tentang keadaan lehernya
21.  Kata Kang Nurya pada Markotob menenangkan:
a)      Anggap tidak sakit
b)      Jangan meminta menjual kerbau
c)      Lebih baik mati punya harta gantungan daripada hidup tak punya apa-apa
d)     Usia lebih lama dari Kanjeng Nabi
e)      Hidup berjodoh dengan maut
22.  Markotob mengamati Kang Nurya tertawa kecil
23.  Markotob bimbang
24.  Markotob berfikir serius tentang kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok
25.  Pengamatan Markotob terhadap Kang Nurya:
a)      Kang Nurya terlihat ayem
b)      Kang Nurya terlihat tersenyum
c)      Kang Nurya terlihat menggulung rokok dan menyalakannya
d)     Kang Nurya terlihat meninggalkan surau terapung
e)      Salam Kang Nurya terlihat parau didengar
f)       Kang Nurya terlihat menuruni anak tangga
g)      Tangan Kang Nurya terlihat lekat berpegangan bambu
h)      Langkah Kang Nurya terlihat mantap meniti
i)        Kang Nurya terlihat sempat mengambil daun singkong untuk kerbaunya
26.  Markotob merenungi Kang Nurya di serambi surau
27.  Sesuatu yang menghentikan renungan Markotob tentang Kang Nurya:
a)      Ikan Gabus yang sedang menjaga anaknya
b)      Burung si Raja Udang yang terjun dan muncul lagi
c)      Burung si Raja Udang yang menjepit Ikan Timat
d)     Sehelai Daun Ketapang yang jatuh ke kolam
28.  Kang Nurya tidak muncul keesokan harinya di surau
29.  Markotob cemas
30.  Markotob menjenguk Kang Nurya
31.  Pelukisan tentang rumah Kang Nurya:
a)      Rumah bambu yang sudah tua
b)      Bau kerbau dan kotorannya
c)      Bilik tidur yang remang-remang
32.  Cepatnya perubahan yang terjadi pada Kang Nurya
33.  Kang Nurya ditunggui, diberi makan dan minum oleh tetangganya
34.  Kang Nurya makin parah
35.  Kang Nurya ditunggui, diberi makan dan minum oleh tetangganya
36.  Dialog Kang Nurya dengan Markotob:
a)      Markotob bertanya tentang keadaan Kang Nurya
b)      Kang Nurya balik bertanya; siapa yang menjenguknya
c)      Markotob menjawab dialah yang datang
d)     Kang Nurya menyahut balasan Markotob
e)      Markotob menanyakan keadaan Kang Nurya
f)       Kang Nurya menjawab keadaannya biasa saja
37.  Markotob melihat keadaan Kang Nurya makin serius
38.  Markotob berfikir tentang obat, dokter, dan rumah sakit
39.  Markotob ingin musyawarah dengan Pak RT dan warga desa untuk membawa Kang Nurya ke rumah sakit
40.  Kang Nurya menolak dibawa ke rumah sakit
41.  Alasan penolakan Kang Nurya dengan berkata:
a)      Jangan ke rumah sakit
b)      Usia yang mendekati kematian
c)      Biar di rumah saja
d)     Menunggu pasrah untuk sembuh
e)      Umur di tangan Tuhan
f)       Jika mati kerbau harus dijual
g)      Jenazah diurus baik-baik
h)      Buatkan selamatan
42.  Markotob tidak bisa berbuat apa-apa lagi
43.  Suasana di sekeliling Kang Nurya:
a)      Lengang dan mencekam
b)      Lenguh kerbau melengking
44.  Tindakan Markotob untuk Kang Nurya:
a)      Memberi tahu warga desa Kang Nurya makin parah
b)      Membantu dan membuktikan bahwa Kang Nurya tidak sebatang kara
45.  Yang dilakukan warga desa untuk Kang Nurya:
a)      Merawat Kang Nurya
b)      Mengurus kerbau Kang Nurya
c)      Membaca Surah Yasin
d)     Berusaha menghubungi anak Kang Nurya di Lampung
46.  Lima hari setelah Kang Nurya meninggal:
a)      Anak Kang Nurya belum ada yang datang
b)      Ada kemungkinan surat tak sampai
c)      Tak ada tangis selain lenguh kerbau
d)     Semuanya berjalan cair dan ringan
47.  biaya pengurusan jenazah Kang Nurya:
a)      Gotong royong
b)      Kas RT
48.  Tentang kerbau yang ditinggalkan Kang Nurya:
a)      Orang desa merasa repot
b)      Orang desa merasa repot
c)      Selamatan tiga dan tujuh hari bukan uang dari menjual kerbau
d)     Dirawat hingga anak Kang Nurya pulang mengambil kerbau
49.  Hari kesepuluh Ward anak Kang Nurya datang
50.  Warga desa pangling pada Wardi
51.  Keadaan Wardi:
a)      Derajat hidupnya tidak bertambah baik
b)      Penampilannnya mengisyaratkan kemelaratan
c)      Transmigrasinya tidak sukses
d)     Tampak letih
52.  Yang dilakukan Wardi
a)      Berterima kasih pada warga desa
b)      Tidak akanlama tinggal
c)      Ingin mengurus kerbau
53.  Markotob menyampaikan wasiat Kang Nurya pada Wardi:
a)      Kerbau harus dijual
b)      Uang penjualan kerbau untuk biaya pemakaman
c)      Minta jenasah diurus dan membuat selamatan; sudah diurus warga desa
54.  Wardi menunduk dan tersenyum malu-malu
55.  Kata Wardi berencana:
a)      Kerbau akan dijual
b)      Uang penjualan kerbau sebagai ganti biaya pemakaman
56.  Pak RT menolak rencana W ardi
57.  Warga setuju pada Pak RT
58.  Wardi terharu:
a)      Matanya melebar dan berkaca-kaca
b)      Tangisnya hampir pecah
59.  Kata Wardi pada warga desa:
a)      Terima kasih
b)      Kebutuhannya akan uang untuk pernikahan anaknya
c)      Anaknya menuntut dinikahkan
d)     Ketidakpunyaan uang
60.  Warga desa meneteskan air mata
61.  Markotob merasa jembar hati
62.  Renungan Kotob:
a)      Calon pengantin yang jauh di Lampung
b)      Kang Nurya yang mati karena tumor
c)      Calon pengantin yang mendapat biaya pernikahan
d)     Do’a pemberkatan

No comments:

Post a Comment