Judul Cerpen : Harta
Gantungan
Pengarang : Ahmad Tohari
Sumber : Suara
Merdeka Edisi Minggu, 23 Mei 2004
1.
Surau kecil itu berada di salah
satu sudut tambak yang lumayan lebar. Seperti sebuah balai kambang. Disangga oleh
empat batang kelapa yang terpancar ke dasar tambak. Surau itu kadang tampak
seperti perahu atau rumah panggung kecil di atas air. Dan siapa saja yang mau
shalat di sana akan berjalan melewati titian bambu sepanjang belasan langkah.
Ada tempat berwudu di pangkal titian berupa pancuran yang dikelilingi bilik
anyaman daun kelapa. Pancuran itu memasok air segar dari lereng bukit ke dalam
kolam. Di dalam bilik itu orang berwudu, biasanya sesudah membuang hajat.
2.
Karena agak jauh dari
pemukiman, maka surau itu hanya dipergunakan orang untuk shalat lohor dan asar
pada siang hari. Setelah matahari terbenam, surau itu gelap dan merana. Burung
hantu yang sedang mengintai ikan, suka bertengger di atapnya. Hanya beberapa
orang yang biasa shalat di sana. Di antaranya dua orang penyadap nira. Sering
juga ada pedagang keliling singgah untuk menunaikan ibadah. Selebihnya—hanya
kadang-kadang—adalah saya dan Kang Nurya.
3.
Saya sering berada di sana
karena saya pemilik tambak itu. Dan Kang Nurya, pemilik satu-satunya kerbau terakhir
di kampung ini, punya kebiasaan mengembala ternaknya di dekat tambak saya. Maka
kami sering salat bersama, kemudian lesehan dan ngobrol berdua di serambi.
4.
Kang Nurya hidup menduda dan
tinggal seorang diri di rumanya di tepi kampung. Istrinya sudah lama meninggal,
dan delapan anaknya hanya tinggal tiga yang masih hidup. Tetapi ketiganya ikut
bertransmigrasi ke daerah Lampung Selatan dan sudah belasan tahun tak ada kabar
beritanya. Maka Kang Nurya yang mengaku sudah berusia lebih tua dari Kanjeng Nabi,
hanya bisa mengakrabi seekor kerbaunya. Hari-hari Kang Nurya adalah hari-hari
bersama binatang itu. Karena keakraban itu, bau kerbau adalah bau Kang Nurya
juga. Jadilah di kampung kami lelaki tua itu dipanggil dengan sebutan lucu;
Nurya Kebo.
5.
Tetapi sebutan lucu itu bukan
sesuatu yang berlebihan. Bahkan terasa sangat jujur, karena menurut Kang Nurya,
kerbau kerbau adalah segalanya. Kerbau sudah menjadi sahabat dan bagian
terpenting dalam hidupnya. Memang Kang Nurya hidup dari harga seekor kerbau. Kerbau
yang sudah dipelihara dan dibesarkan, dijual ketika pasaran baik yakni pada
hari-hari menjelang lebaran. Lalu dibelinya lagi kerbau yang lebih kecil untuk
dibesarkan. Dari menjual kerbau besar dan membeli kerbau kecil, Kang Nurya
mendapat uang lebih. Demikian seterusnya.
6.
Atau lebih dari itu, Kang Nurya
pernah bilang: bagi dia kerbaunya adalah satu-satunya harta gantungan. Di
kampung kami, harta gantungan adalah cadangan biaya untuk menyelesaikan
urusan-urusan kematian bila si pemilik meninggal dunia. Harta gantungan
biasanya berupa sisa seidang tanah, setelah dibagi untuk anak-anak. “Aku tak
punya tanah secuil pun. Jadi ya kerbau ini yang saya jadikan harta gantungan.
Maka kalau aku mati, tolong jasadku jangan ditelantarkan. Uruslah dengan
semstinya. Jual kerbauku ntuk membiayai semuanya.” Demikian wasiat tidak resmi
yang diberikan Kang Nurya kepada saya.
7.
Karena kukuhnya ingin tetap
memiliki harta gantungan, Kang Nurya menolak menjual kerbaunya untuk membiayai
pengobatan lehernya yang membengkak di bagian sisi kanan. Padahal setahu saya,
pembengkakan semacam itu bisa berbahaya bila ternyata ada tumor kelenjar gondok
di sana. “Saya sudah bilang, umur saya sudah melewati usia Kanjeng Nabi. Dan
bila saya harus mati karena bengkak di leher ini, ya tidak apa-apa. Yang
penting saya masih punya harta gantungan. Kalau kerbauku dijual untuk biaya berobat
sekarang, lalu biaya dari mana mayatku akan diurus?”
8.
Berkarib dengan Kang Nurya
selalu terasa cair dan ringan. Mungkin karena Kang Nurya suka tertawa. Matanya
enak dipandang karena selalu memancarkan kecerahan. Alisnya jarang berkerut.
Kalau berjabat tangan terasa hangat dan akrab. Memang hidup Kang Nurya seakan
mengalir ringan, seringan lalat dan langau yang berterbangan di punggung
kerbaunya. Atau seringan suara seruling yang kadang ditiupnya di tepi hutan dan
terdengar lamat-lamat dari kampung.
9.
Anehnya, sore ini Kang Nurya
tampak lain. Ketika duduk bersila seorang diri di serambi surau selepas asar,
wajahnya tampak berat. Seperti ada bagian yang membeku dalam jiwanya. Matanya
kosong. Kang Nurya kelihatan tak peduli dengan pemandangan di sekelilingnya.
Padahal di depannya sedang ada ikan mujair jantan berkejaran sehingga
menimbulkan riak-riak air. Atau ikan betik yang melompat ke atas permukaan air
untuk menangkap serangga yang sedang hinggap di batang rumput.bahkan mungkin
Kang Nurya tidak mendengar suara anak katak yang megap-megap karena kecilnya
mulai masuk ke dalam mulut seekor ular.
10.
Dari dalam surau saya
perhatikan Kang Nurya masih mematung. Aku mendekat dan terkejut ketika melihat
wajah Kang Nurya agak pucat. Secara kesluruhan citra wajah lelaki itu
memperlihatkan citra orang sakit. Dan setelah saya amati, bengkak di didi
lehernya tampak bertambah besar.
11.
“Kelihatannya kamu sakit,
Kang?”
12.
tanpa menoleh Kang Nurya mengiyakan
pertanyaanku. Tapi ciri khas masih muncul dalam penampilannya. Cair dan senyum.
13.
“sudah beberapa hari ini aku
merasa kurang sehat. Pusing dan badan rasanya lemah. Kasihan kerbauku. Dia
tidak kugembalakan, hanya kuberi makan seadanya di kandang.”
14.
“Lehermu sakit?”
15.
“Ya, tapi sudahlah. Kau jangan
minta lagi aku menjual kerbau untuk perawatan sakit di leher ini. Berapa kali
saya harus bilang, saya merasa lebih baik mati tapi masih punya harta gantungan
daripada hidup tak punya apa-apa. Apalagi saya sudah tua, lebih tua dari usia
Kanjeng Nabi. Lagipula, hidup itu jodohnya ya maut. Iya kan?”
16.
Kang Nurya tertawa kecil. Tapi
saya malah bimbang. Saya serius memikirkan kemungkinan Kang Nurya menderita
tumor kelenjar gondok. Tapi yang bersangkutan ayem saja. Dia tersenyum saja,
malah masih sempat menggulung rokok dan menyalakannya sebelum bangkit
meninggalkan surau terapung. Salamnya terdengar sedikit parau dan dalam.
17.
Saya perhatikan Kang Nurya
menuruni anak tangga untuk mencapai titian. Tangan kirinya lekat pada bambu
pegangan. Langkahnya mantap karena dia sudah sangat terbiasa dengan titian itu.
Di kejauhan saya melihat Kang Nurya masih sempat menjambret daun-daun singkong
liar yang tumbuh di tepi selokan. Pasti demi kerbaunya.
18.
Sendiri di serambi surau
terapung saya masih merenungi Kang Nurya. Pikiran ke sana hanya terhenti
sejenak bila ada sesuatu yang lebih menyita perhatian saya; ikan gabus yang
sedang menjaga ratusan anaknya yang baru menetas itu; burung si raja udang yang
tiba-tiba terjun, lalu muncul lagi, dan langsung melesat dengan ikan kepala
timat terjepit di paruhnya. Atau sehelai daun ketapang tua yang luruh terhembus
angin dan jatuh tanpa suara ke permukaan kolam.
19.
Keesokan hari Kang Nurya tidak
muncul di surau terapung. Ada rasa cemas yang membuat saya harus menjenguk Kang
Nurya di rumahnya, sebuah bangunan bambu yang sudah tua. Bau kerbau dan
kotorannya. Bilik tidur Kang Nurya remang-remang meskipun di luar sinar
matahari amat terang. Benar dugaan saya, lelaki itu betul-betul sakit.
Perubahannya sangat cepat. Untung ada tetangga yang setia menungggu Kang Nurya
dan memberinya makan dan minum.
20.
“Aku datang, Kang Nurya.
Bagaimana keadaanmu?”
21.
“Kamu siapa?”
22.
“Saya Kotob.”
23.
“Oh, Markotob.”
24.
“Ya. Bagaimana keadaanmu?”
25.
“Ya begini ini,” jawab Kang
Nurya dengan suara yang sudah berubah. Saya sadar keadaan lelaki itu serius.
Maka pikiran saya langsung teringat obat, dokter, rumah sakit. Saya ingin
bermusyawarah dengan para tetangga dan Pak RT untuk membawa Kang Nurya ke rumah
sakit. Tetapi ketika mendengar gagasan saya, Kang Nurya langsung menggeleng.
26.
“Jangan,” katanya dengan suara
lemah. “Umurku sudah lebih tua daripada usia Kanjeng Nabi. Itu sudah lebih dari
cukup. Jadi jangan bawa aku ke mana pun. Biarlah aku tetap di sini. Siapa tahu
aku bisa sembuh. Kan umur ada di tangan Tuhan. Yang penting kamu jangan lupa,
bila ternyata aku tidak kuat, juallah kerbauku. Urus mayatku. Jangan lupa juga
bikin selamatan.”
27.
Saya tak bisa berkata apa-apa
lagi. Suasana terasa lengang dan mencekam. Lenguh kerbau yang lapar yang
meronta ingin lepas dari tali yang membelenggu lehernya. Saya keluar lagi untuk
memberitahu ketua RT dan para tetangga, bahwa sakit Kang Nurya sudah parah.
Kami ingin membuktikan di kampung kami Kang Nurya tidak hidup hanya dengan
kerbaunya. Kami ingin merawat dengan sepantasnya meskipun Kang Nurya menolak
dibawa ke rumah sakit. Kami akan mengurus kerbaunya agar tidak terus
melenguh-lenguh. Dan kami akam memberi lampu yang lebih terang di bilik
tidurnya. Atau kami akan meminta seseorang membaca surah Yasin untuk mengantar
kepergian Kang Nurya. Kami juga akan berusaha menghubungi anak-anak Kang Nurya
di Lampung dengan cara apa saja.
28.
Pada hari kelima Kang Nurya meninggal.
Anak-anaknya belum satu pun yang muncul. Mungkin surat kami tak sampai karena
alamat yang kami dapat agak meragukan. Dan kecuali kerbaunya yang melenguh
panjang, selebihnya tak ada tangis. Semuanya berjalan cair dan ringan.
29.
Jenazah Kang Nurya kami urus
dengan biaya gotong royong para tetangga. Ada juga dari kas RT. Repotnya,
adalah kerbau itu. Kami merasa tak berhak menjualnya meski ada wasiat lisan
dari Kang Nurya. Maka selamatan tiga dan tujuh hari kami lakukan ala kadarnya,
yakni dengan tahlilan di masjid kampung. Sementara itu seorang tetangga kami
minta merawat kerbau Kang Nurya sampai anaknya datang dari Lampung.
30.
Hari kesepuluh sejak kematian
Kang Nurya, seorang anak lelakinya datang. dialah Wardi anak sulung Kang Nurya.
Kami hampir pangling. Kami melihat kesan kepindahannya ke Lampung tidak
mengubah derajat hidupnya. Kemelaratan masih tergambar jelas dari seluruh
penampilannya. Jadi ada benarnya kata orang program transmigrasi bisa berarti
pemerataan kemiskinan ke luar Jawa. Ah, entahlah.
31.
Dalam keletihan karena
perjalanan jauh, Wardi mengucapkan terima kasih karena kami telah mengurus
ayahnya. Dia juga berkata tidak akan berlama-lama tinggal bersama kami karena
tidak ada sesuatu yang harus diurusnya kecuali kerbau itu. Karena dia menyebut
soal kerbau itu, maka saya sampaikan wasiat Kang Nurya kepadanya.
32.
“Kang Nurya berwasiat, kerbau
itu harus dijual dan uangnya bisa dipakai untuk biaya mengurus jenazahnya.
Tetapi kami sudah menyelesaikan urusan itu, bahkan juga selamatan tiga dan
tujuh harinya. Jadi soal kerbau itu terserah kamu.”
33.
Anak Kang Nurya menunduk.
Kemudian dengan senyum malu-malu dia berkata, “Kerbau itu jelas akan saya jual.
Sebagian uangnya akan saya serahkan sebagai ganti biaya yang telah dikeluarkan
oleh para tetangga..”
34.
“Tidak. Kami tidak meminta
ganti,” potong Pak RT yang hadir di antara kami. Semua orang setuju. Mata Wardi
melebar dan berkaca-kaca. Tangisnya terasa hampir pecah.
35.
“Kalau begitu, terima kasih
banyak. Matur nuwun. Jujur saja, sesungguhnya saya sedang membutuhkan banyak
uang. Anak saya sedang menuntut kawin, dan saya belum punya uang sepeser pun.
Matur nuwun…”
36.
Kami melihat anak Kang Nurya
meneteskan air mata. Tetapi saya sendiri merasa jembar hati. Ya, rupanya, jauh
disana, ada calon pengantin yang dapat keberuntungan pada saat-saat terakhir.
Karena kakeknya rela mati kena tumor demi mempertahankan harta gantungan. Calon
pengantin itu pun mendapat biaya untuk menikah. Semoga diberkati.
1.Pelukisan surau meliputi:
a)
Ukuran surau
b)
Letak surau
c)
Cara menempuh/menuju surau
d)
Bentuk dan tempat wudlu di
surau
e)
Sumber air wudlu di surau
f)
Orang yang wudlu di surau
g)
Jauhnya surau dari pemukiman
h)
Surau hanya digunakan untuk
shalat Lohor dan Asar
i)
Keadaan surau saat petang
j)
Binatang malam yang menghuni
surau
2. Orang yang biasa shalat di surau:
a)Dua orang penyadap nira
b)
Pedagang kelliling
c)Markotob dan Kang Nurya
3. Markotob sering ke surau karena ia pemilik tambak.
4. Kang Nurya sering ke surau karena ia biasa menggembala kerbau di
dekat surau dan tambak
5. Kebiasaan Markotob dan Kang Nurya saat disurau:
a)
Shalat bersama
b)
Lesehan dan ngobrol di serambi
6. Kehidupan Kang Nurya:
a)
Kang Nurya duda tinggal
sendirian di tepi kampung
b)
Istri Kang Nurya sudah lama
meninggal
c)
Delapan anak Kang Nurya tinggal tiga yang masih hidup
d)
Ketiga anak Kang Nurya
bertransmigrasi
e)
Kang Nurya akrab dengan kerbau
f)
Keseharian Kang Nurya bersama
kerbau
g)
Kang Nurya mempunyai julukan
Nurya Kebo
h)
Bai Kang Nurya kerbau adalah
segalanya
i)
Kerbau bagian terpenting dalam
hidup Kang Nurya
j)
Hidup Kang Nurya berasal dari
harga seekor kerbau
7. Cara Kang Nurya memperoleh uang:
a)
Kang Nurya memelihara dan
membesarkan kerbau
b)
Kang Nurya menjual kerbau
ketika pasaran baik menjelang lebaran
c)
Kang Nurya membeli lagi kerbau
yang lebih kecil untuk dibesarkan
d)
Dari menjual kerbau besar dan
membeli kerbau kecil Kang Nurya mendapat uang lebih
8. Arti kerbau bagi Kang Nurya:
a)
Harta gantungan
b)
Cadangan biaya untuk
menyelesaikan urusan kematian pemiliknya
9. Pesan Kang Nurya pada Markotob:
a)
Tidak punya tanah maka harta
gantungan kerbau yang dimilikinya
b)
Bila mati jasadnya jangan
ditelantarkan
c)
Urus jasadnya dengan semestinya
d)
Kerbau dijual untuk biaya
pemakamannya
10.
Kang Nurya menolak menjual
kerbau untuk biaya pengobatan penyakit di lehernya untuk mempertahankan harta
gantungan
11.
Kata Kang Nurya tentang
penyakit di lehernya:
a)
Usianya lebih dari Kanjeng Nabi
dan tak apa-apa cepat mati
b)
Jangan jual kerbau untuk
pengobatan
c)
Kerbau untuk biaya mengurus
mayatnya kelak
12.
Pelukisan tentang berkarib
dengan Kang Nurya:
a)
Kang Nurya cair dan ringan
b)
Kang Nurya suka tertawa
c)
Mata Kang Nurya memancarkan
kecerahan
d)
Alis Kang Nurya jarang berkerut
e)
Jabatan tangan Kang Nurya
hangat dan akrab
13.
Pelukisan hidup Kang Nurya:
a)
Mengalir ringan
b)
Seringan lalat dan langau yang
beterbangan
c)
Seringan suara seruling
14.
Keadaan Kang Nurya sore itu:
a)
Wajah Kang Nurya tampak berat
b)
Jiwa Kang Nurya seperti membeku
c)
Mata kang Nurya kosong
d)
Kang Nurya acuh tak acuh pada
sekeliling
e)
Kang Nurya tidak peduli pada suara
katak
15.
Markotob mengamati Kang Nurya
dari dalam surau:
a)
Kang Nurya tampak mematung
b)
Kang Nurya tampak pucat
wajahnya
c)
Kang Nurya tampak sakit
d)
Bengkak di leher Kang Nurya
tampak bertambah besar
16.
Markotob menanyakan keadaan
Kang Nurya
17.
Kang Nurya mengiyakan tanpa
suara dan tidak peduli penyakitnya
18.
Kang Nurya masih ringan dan
cair dengan senyumannya
19.
Kata Kang Nurya pada Markotob:
a)
Keadaan Kang Nurya yang kurang
sehat
b)
Kang Nurya pusing dan lemah
c)
Kang Nurya tidak menggembalakan
kerbau
d)
Kang Nurya hanya memberi makan
kerbau seadanya
20.
Markotob bertanya pada Kang
Nurya tentang keadaan lehernya
21.
Kata Kang Nurya pada Markotob
menenangkan:
a)
Anggap tidak sakit
b)
Jangan meminta menjual kerbau
c)
Lebih baik mati punya harta
gantungan daripada hidup tak punya apa-apa
d)
Usia lebih lama dari Kanjeng
Nabi
e)
Hidup berjodoh dengan maut
22.
Markotob mengamati Kang Nurya
tertawa kecil
23.
Markotob bimbang
24.
Markotob berfikir serius
tentang kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok
25.
Pengamatan Markotob terhadap
Kang Nurya:
a)
Kang Nurya terlihat ayem
b)
Kang Nurya terlihat tersenyum
c)
Kang Nurya terlihat menggulung
rokok dan menyalakannya
d)
Kang Nurya terlihat
meninggalkan surau terapung
e)
Salam Kang Nurya terlihat parau
didengar
f)
Kang Nurya terlihat menuruni
anak tangga
g)
Tangan Kang Nurya terlihat
lekat berpegangan bambu
h)
Langkah Kang Nurya terlihat
mantap meniti
i)
Kang Nurya terlihat sempat
mengambil daun singkong untuk kerbaunya
26.
Markotob merenungi Kang Nurya
di serambi surau
27.
Sesuatu yang menghentikan
renungan Markotob tentang Kang Nurya:
a)
Ikan Gabus yang sedang menjaga
anaknya
b)
Burung si Raja Udang yang
terjun dan muncul lagi
c)
Burung si Raja Udang yang
menjepit Ikan Timat
d)
Sehelai Daun Ketapang yang
jatuh ke kolam
28.
Kang Nurya tidak muncul
keesokan harinya di surau
29.
Markotob cemas
30.
Markotob menjenguk Kang Nurya
31.
Pelukisan tentang rumah Kang
Nurya:
a)
Rumah bambu yang sudah tua
b)
Bau kerbau dan kotorannya
c)
Bilik tidur yang remang-remang
32.
Cepatnya perubahan yang terjadi
pada Kang Nurya
33.
Kang Nurya ditunggui, diberi
makan dan minum oleh tetangganya
34.
Kang Nurya makin parah
35.
Kang Nurya ditunggui, diberi
makan dan minum oleh tetangganya
36.
Dialog Kang Nurya dengan
Markotob:
a)
Markotob bertanya tentang
keadaan Kang Nurya
b)
Kang Nurya balik bertanya;
siapa yang menjenguknya
c)
Markotob menjawab dialah yang
datang
d)
Kang Nurya menyahut balasan
Markotob
e)
Markotob menanyakan keadaan
Kang Nurya
f)
Kang Nurya menjawab keadaannya
biasa saja
37.
Markotob melihat keadaan Kang
Nurya makin serius
38.
Markotob berfikir tentang obat,
dokter, dan rumah sakit
39.
Markotob ingin musyawarah
dengan Pak RT dan warga desa untuk membawa Kang Nurya ke rumah sakit
40.
Kang Nurya menolak dibawa ke
rumah sakit
41.
Alasan penolakan Kang Nurya
dengan berkata:
a)
Jangan ke rumah sakit
b)
Usia yang mendekati kematian
c)
Biar di rumah saja
d)
Menunggu pasrah untuk sembuh
e)
Umur di tangan Tuhan
f)
Jika mati kerbau harus dijual
g)
Jenazah diurus baik-baik
h)
Buatkan selamatan
42.
Markotob tidak bisa berbuat
apa-apa lagi
43.
Suasana di sekeliling Kang
Nurya:
a)
Lengang dan mencekam
b)
Lenguh kerbau melengking
44.
Tindakan Markotob untuk Kang
Nurya:
a)
Memberi tahu warga desa Kang
Nurya makin parah
b)
Membantu dan membuktikan bahwa
Kang Nurya tidak sebatang kara
45.
Yang dilakukan warga desa untuk
Kang Nurya:
a)
Merawat Kang Nurya
b)
Mengurus kerbau Kang Nurya
c)
Membaca Surah Yasin
d)
Berusaha menghubungi anak Kang
Nurya di Lampung
46.
Lima hari setelah Kang Nurya
meninggal:
a)
Anak Kang Nurya belum ada yang
datang
b)
Ada kemungkinan surat tak
sampai
c)
Tak ada tangis selain lenguh
kerbau
d)
Semuanya berjalan cair dan
ringan
47.
biaya pengurusan jenazah Kang
Nurya:
a)
Gotong royong
b)
Kas RT
48.
Tentang kerbau yang
ditinggalkan Kang Nurya:
a)
Orang desa merasa repot
b)
Orang desa merasa repot
c)
Selamatan tiga dan tujuh hari
bukan uang dari menjual kerbau
d)
Dirawat hingga anak Kang Nurya
pulang mengambil kerbau
49.
Hari kesepuluh Ward anak Kang
Nurya datang
50.
Warga desa pangling pada Wardi
51.
Keadaan Wardi:
a)
Derajat hidupnya tidak
bertambah baik
b)
Penampilannnya mengisyaratkan
kemelaratan
c)
Transmigrasinya tidak sukses
d)
Tampak letih
52.
Yang dilakukan Wardi
a)
Berterima kasih pada warga desa
b)
Tidak akanlama tinggal
c)
Ingin mengurus kerbau
53.
Markotob menyampaikan wasiat
Kang Nurya pada Wardi:
a)
Kerbau harus dijual
b)
Uang penjualan kerbau untuk
biaya pemakaman
c)
Minta jenasah diurus dan
membuat selamatan; sudah diurus warga desa
54.
Wardi menunduk dan tersenyum
malu-malu
55.
Kata Wardi berencana:
a)
Kerbau akan dijual
b)
Uang penjualan kerbau sebagai
ganti biaya pemakaman
56.
Pak RT menolak rencana W ardi
57.
Warga setuju pada Pak RT
58.
Wardi terharu:
a)
Matanya melebar dan
berkaca-kaca
b)
Tangisnya hampir pecah
59.
Kata Wardi pada warga desa:
a)
Terima kasih
b)
Kebutuhannya akan uang untuk
pernikahan anaknya
c)
Anaknya menuntut dinikahkan
d)
Ketidakpunyaan uang
60.
Warga desa meneteskan air mata
61.
Markotob merasa jembar hati
62.
Renungan Kotob:
a)
Calon pengantin yang jauh di
Lampung
b)
Kang Nurya yang mati karena
tumor
c)
Calon pengantin yang mendapat
biaya pernikahan
d)
Do’a pemberkatan
No comments:
Post a Comment