SINOPSIS
Kang Sunarya duda yang hidup
sendirian di tengah kampung. Anak-anaknya berada di Lampung karena ikut program
transmigrasi. Pekerjaannya hanya menggembalakan kerbau yang sekaligus
satu-satunya harta yang dimilikinya.. Keseharian Kang Narya yang pembawaannya
cair dan ringan mendadak berubah murung dan pucat karena sakit di bagian
tenggorokannya. Hal ini menimbulkan keheranan warga kampung. Penyakit yang
diidapnya itu sejenis tumor yang menyerang kelenjar tenggorok.
Meskipun sakit, ia tak mau diobatkan.
Ia sangat bersyukur diberi umur lebih tua dari umur Kanjeng Nabi. Maka ia sudah
bersiap jika segera meninggalkan dunia yang fana. Wasiat pun dibuat, yang tidak
lain berisi tentang kerbaunya. Jika kelak ia meninggal, ia ingin kerbaunya
itulah yang menjadi harta gantungan. Harta cadangan (berupa benda yang berharga
yang bisa dijual) biaya untuk menyelesaikan urusan-urusan kematian bila si
Pemilik meninggal dunia. Tetapi kematian Kang Narya sudah ditanggung oleh warga
desa dengan urunan.
Sepuluh hari setelah kematian Kang
Narya, anaknya yang bernama Wardi pun datang. Ia yang mendapatkan harta
gantungan tersebut sebagai warisan. Hal ini sangat bermanfaat sekali bagi kelangsungan
kehidupan keluarganya, yaitu untuk menikahkan anak sekaligus cucu Kang Narya.
Keberuntungan yang tak terduga karena ada calon pengantin yang kakeknya rela
mati karena tumor demi mempertahankan harta gantungan.
A.
Sekuen
Sekuen biasanya merupakan urut-urutan
peristiwa yang ada di dalam teks suatu karya sastra yang berupa cerpen,
novelet, atau novel. Dari penjelasan tersebut, cerpen Harta Gantungan dapat diuraikan sekuen-sekuennya sebagai berikut:
1. Pelukisan surau meliputi:
a)
Ukuran surau
b)
Letak surau
c)
Cara menempuh/menuju surau
d)
Bentuk dan tempat wudlu di
surau
e)
Sumber air wudlu di surau
f)
Orang yang wudlu di surau
g)
Jauhnya surau dari pemukiman
h)
Surau hanya digunakan untuk
shalat Lohor dan Asar
i)
Keadaan surau saat petang
j)
Binatang malam yang menghuni
surau
2. Orang yang biasa shalat di surau:
a)Dua orang penyadap nira
b)
Pedagang kelliling
c)Markotob dan Kang Nurya
3. Markotob sering ke surau karena ia pemilik tambak.
4. Kang Nurya sering ke surau karena ia biasa menggembala kerbau di
dekat surau dan tambak
5. Kebiasaan Markotob dan Kang Nurya saat disurau:
a)
Shalat bersama
b)
Lesehan dan ngobrol di serambi
6. Kehidupan Kang Nurya:
a)
Kang Nurya duda tinggal
sendirian di tepi kampung
b)
Istri Kang Nurya sudah lama
meninggal
c)
Delapan anak Kang Nurya tinggal tiga yang masih hidup
d)
Ketiga anak Kang Nurya
bertransmigrasi
e)
Kang Nurya akrab dengan kerbau
f)
Keseharian Kang Nurya bersama
kerbau
g)
Kang Nurya mempunyai julukan
Nurya Kebo
h)
Bagi Kang Nurya kerbau adalah
segalanya
i)
Kerbau bagian terpenting dalam
hidup Kang Nurya
j)
Hidup Kang Nurya berasal dari
harga seekor kerbau
7. Cara Kang Nurya memperoleh uang:
a)
Kang Nurya memelihara dan
membesarkan kerbau
b)
Kang Nurya menjual kerbau
ketika pasaran baik menjelang lebaran
c)
Kang Nurya membeli lagi kerbau
yang lebih kecil untuk dibesarkan
d)
Dari menjual kerbau besar dan
membeli kerbau kecil Kang Nurya mendapat uang lebih
8. Arti kerbau bagi Kang Nurya:
a)
Harta gantungan
b)
Cadangan biaya untuk
menyelesaikan urusan kematian pemiliknya
9. Pesan Kang Nurya pada Markotob:
a)
Tidak punya tanah maka harta
gantungan kerbau yang dimilikinya
b)
Bila mati jasadnya jangan
ditelantarkan
c)
Urus jasadnya dengan semestinya
d)
Kerbau dijual untuk biaya
pemakamannya
10.
Kang Nurya menolak menjual
kerbau untuk biaya pengobatan penyakit di lehernya untuk mempertahankan harta
gantungan
11.
Kata Kang Nurya tentang
penyakit di lehernya:
a)
Usianya lebih dari Kanjeng Nabi
dan tak apa-apa cepat mati
b)
Jangan jual kerbau untuk
pengobatan
c)
Kerbau untuk biaya mengurus
mayatnya kelak
12.
Pelukisan tentang berkarib
dengan Kang Nurya:
a)
Kang Nurya cair dan ringan
b)
Kang Nurya suka tertawa
c)
Mata Kang Nurya memancarkan
kecerahan
d)
Alis Kang Nurya jarang berkerut
e)
Jabatan tangan Kang Nurya
hangat dan akrab
13.
Pelukisan hidup Kang Nurya:
a)
Mengalir ringan
b)
Seringan lalat dan langau yang
beterbangan
c)
Seringan suara seruling
14.
Keadaan Kang Nurya sore itu:
a)
Wajah Kang Nurya tampak berat
b)
Jiwa Kang Nurya seperti membeku
c)
Mata kang Nurya kosong
d)
Kang Nurya acuh tak acuh pada
sekeliling
e)
Kang Nurya tidak peduli pada
suara katak
15.
Markotob mengamati Kang Nurya
dari dalam surau:
a)
Kang Nurya tampak mematung
b)
Kang Nurya tampak pucat
wajahnya
c)
Kang Nurya tampak sakit
d)
Bengkak di leher Kang Nurya
tampak bertambah besar
16.
Markotob menanyakan keadaan
Kang Nurya
17.
Kang Nurya mengiyakan tanpa
suara dan tidak peduli penyakitnya
18.
Kang Nurya masih ringan dan
cair dengan senyumannya
19.
Kata Kang Nurya pada Markotob:
a)
Keadaan Kang Nurya yang kurang
sehat
b)
Kang Nurya pusing dan lemah
c)
Kang Nurya tidak menggembalakan
kerbau
d)
Kang Nurya hanya memberi makan
kerbau seadanya
20.
Markotob bertanya pada Kang
Nurya tentang keadaan lehernya
21.
Kata Kang Nurya pada Markotob
menenangkan:
a)
Anggap tidak sakit
b)
Jangan meminta menjual kerbau
c)
Lebih baik mati punya harta
gantungan daripada hidup tak punya apa-apa
d)
Usia lebih lama dari Kanjeng
Nabi
e)
Hidup berjodoh dengan maut
22.
Markotob mengamati Kang Nurya
tertawa kecil
23.
Markotob bimbang
24.
Markotob berfikir serius
tentang kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok
25.
Pengamatan Markotob terhadap
Kang Nurya:
a)
Kang Nurya terlihat ayem
b)
Kang Nurya terlihat tersenyum
c)
Kang Nurya terlihat menggulung
rokok dan menyalakannya
d)
Kang Nurya terlihat meninggalkan
surau terapung
e)
Salam Kang Nurya terlihat parau
didengar
f)
Kang Nurya terlihat menuruni
anak tangga
g)
Tangan Kang Nurya terlihat
lekat berpegangan bambu
h)
Langkah Kang Nurya terlihat
mantap meniti
i)
Kang Nurya terlihat sempat
mengambil daun singkong untuk kerbaunya
26.
Markotob merenungi Kang Nurya
di serambi surau
27.
Sesuatu yang menghentikan
renungan Markotob tentang Kang Nurya:
a)
Ikan Gabus yang sedang menjaga
anaknya
b)
Burung si Raja Udang yang
terjun dan muncul lagi
c)
Burung si Raja Udang yang
menjepit Ikan Timat
d)
Sehelai Daun Ketapang yang
jatuh ke kolam
28.
Kang Nurya tidak muncul
keesokan harinya di surau
29.
Markotob cemas
30.
Markotob menjenguk Kang Nurya
31.
Pelukisan tentang rumah Kang
Nurya:
a)
Rumah bambu yang sudah tua
b)
Bau kerbau dan kotorannya
c)
Bilik tidur yang remang-remang
32.
Cepatnya perubahan yang terjadi
pada Kang Nurya
33.
Kang Nurya ditunggui, diberi
makan dan minum oleh tetangganya
34.
Kang Nurya makin parah
35.
Kang Nurya ditunggui, diberi
makan dan minum oleh tetangganya
36.
Dialog Kang Nurya dengan
Markotob:
a)
Markotob bertanya tentang
keadaan Kang Nurya
b)
Kang Nurya balik bertanya;
siapa yang menjenguknya
c)
Markotob menjawab dialah yang
datang
d)
Kang Nurya menyahut balasan
Markotob
e)
Markotob menanyakan keadaan
Kang Nurya
f)
Kang Nurya menjawab keadaannya
biasa saja
37.
Markotob melihat keadaan Kang
Nurya makin serius
38.
Markotob berfikir tentang obat,
dokter, dan rumah sakit
39.
Markotob ingin musyawarah
dengan Pak RT dan warga desa untuk membawa Kang Nurya ke rumah sakit
40.
Kang Nurya menolak dibawa ke
rumah sakit
41.
Alasan penolakan Kang Nurya
dengan berkata:
a)
Jangan ke rumah sakit
b)
Usia yang mendekati kematian
c)
Biar di rumah saja
d)
Menunggu pasrah untuk sembuh
e)
Umur di tangan Tuhan
f)
Jika mati kerbau harus dijual
g)
Jenazah diurus baik-baik
h)
Buatkan selamatan
42.
Markotob tidak bisa berbuat
apa-apa lagi
43.
Suasana di sekeliling Kang
Nurya:
a)
Lengang dan mencekam
b)
Lenguh kerbau melengking
44.
Tindakan Markotob untuk Kang
Nurya:
a)
Memberi tahu warga desa Kang
Nurya makin parah
b)
Membantu dan membuktikan bahwa
Kang Nurya tidak sebatang kara
45.
Yang dilakukan warga desa untuk
Kang Nurya:
a)
Merawat Kang Nurya
b)
Mengurus kerbau Kang Nurya
c)
Membaca Surah Yasin
d)
Berusaha menghubungi anak Kang
Nurya di Lampung
46.
Lima hari setelah Kang Nurya
meninggal:
a)
Anak Kang Nurya belum ada yang
datang
b)
Ada kemungkinan surat tak
sampai
c)
Tak ada tangis selain lenguh
kerbau
d)
Semuanya berjalan cair dan
ringan
47.
biaya pengurusan jenazah Kang
Nurya:
a)
Gotong royong
b)
Kas RT
48.
Tentang kerbau yang
ditinggalkan Kang Nurya:
a)
Orang desa merasa repot
b)
Orang desa merasa repot
c)
Selamatan tiga dan tujuh hari
bukan uang dari menjual kerbau
d)
Dirawat hingga anak Kang Nurya
pulang mengambil kerbau
49.
Hari kesepuluh Ward anak Kang
Nurya datang
50.
Warga desa pangling pada Wardi
51.
Keadaan Wardi:
a)
Derajat hidupnya tidak
bertambah baik
b)
Penampilannnya mengisyaratkan
kemelaratan
c)
Transmigrasinya tidak sukses
d)
Tampak letih
52.
Yang dilakukan Wardi
a)
Berterima kasih pada warga desa
b)
Tidak akanlama tinggal
c)
Ingin mengurus kerbau
53.
Markotob menyampaikan wasiat
Kang Nurya pada Wardi:
a)
Kerbau harus dijual
b)
Uang penjualan kerbau untuk
biaya pemakaman
c)
Minta jenasah diurus dan
membuat selamatan; sudah diurus warga desa
54.
Wardi menunduk dan tersenyum
malu-malu
55.
Kata Wardi berencana:
a)
Kerbau akan dijual
b)
Uang penjualan kerbau sebagai
ganti biaya pemakaman
56.
Pak RT menolak rencana W ardi
57.
Warga setuju pada Pak RT
58.
Wardi terharu:
a)
Matanya melebar dan berkaca-kaca
b)
Tangisnya hampir pecah
59.
Kata Wardi pada warga desa:
a)
Terima kasih
b)
Kebutuhannya akan uang untuk
pernikahan anaknya
c)
Anaknya menuntut dinikahkan
d)
Ketidakpunyaan uang
60.
Warga desa meneteskan air mata
61.
Markotob merasa jembar hati
62.
Renungan Kotob:
a)
Calon pengantin yang jauh di
Lampung
b)
Kang Nurya yang mati karena
tumor
c)
Calon pengantin yang mendapat
biaya pernikahan
d)
Do’a pemberkatan
B.
Unsur Struktural Cerpen
1)
Tema dan Amanat
Pesan merupakan sesuatu atau hal yang
harus disampaikan, apalagi pesan seseorang sebelum ajalnya menjelang yang lazim
disebut sebagai wasiat. Apapun namanya, pesan itu amanah. Rupanya cerpen ini
berangkat dari pesan seseorang yang harus disampaikan yang bagaimanapun
caranya, biasanya menjadi sebuah keharusan untuk dikabulkan. Hal ini pula yang
menjadi salah satu tendensi yang tampaknya ingin disampaikan pengarang melalui cerpen “Harta
Gantungan”.
Di balik itu, pengarang ingin
menunjukkan bahwa sekecil apapun dan berupa apapun pesan yang diamanahkan,
tetap saja harus disampaikan atau dipenuhi. Kerbau meski berupa binatang,
tetapi si Pemiliknya menghendaki sebagai ‘amanah’ atau wasiat, tetap saja harus
disampaikan. Perhatikan petikan berikut:
…Kalau aku mati,
tolong jasadku jangan ditelantarkan. Uruslah dengan semestinya. Jual kerbauku
untuk membiayai semuanya (par. 7).
Karena yang dimiliki hanya kerbau,
yang bisa menghasilkan uang yang lumayan banyak (bagi yang kurang mampu,
apalagi Kang Narya yang hidupnya digantungkan pada kerbau tersebut), maka
kerbaulah yang menjadi wasiatnya. Selama masih ada ahli waris, warga desa
apalagi si ‘aku’ tidak sedikit pun mempunyai hak tersebut. Yang mempunyai hak
adalah ahli warisnya, sedangkan warga dan si ‘aku’ berkewajiban menyampaikan
amanah tersebut.
2)
Tokoh dan Penokohan
a.
Kang Nurya dan Wardi
Dari namanya, Nurya dan Wardi
memberikan gambaran keidentikannya dengan nama orang-orang yang beretnis Jawa,
bertempat tinggal paling tidak di sebuah desa yang masih menunjukkan kehidupan
‘saiyeg saeka praya’, merupakan orang ‘lawas’ (sebab nama-nama orang yang lebih
modern tidak demikian nJawani), meskipun masih dipakai oleh orang-orang
sekarang (yang lahir setelah tahun 90-an jarang menggunakan nama ini).
Kang Narya memberi gambaran
karakteristik orang desa yang masih mempunyai keramahan yang di masa ini sudah
meluntur dengan luar biasa. Kang Nurya menjadi tanda dari orang-orang pada
masanya, yaitu orang-orang yang kurang berpendidikan dan umumnya masih steril
dari kehedonismean kota. Hal ini dapat diketahui dari petikan berikut:
Karena keakraban
itu, bau kerbau adalah bau Kang Nurya juga (par. 4).
Petikan di atas menunjukkan mata
pencaharian penduduk masih agraris. Kerbau identik dengan kehidupan desa,
sedangkan kota sudah sangat jarang bahkan tidak ada yang masih bergelut dengan
binatang (apalagi secara personal).
Berkarib dengan Kang
Nurya selalu terasa cair dan ringan…kalau berjabat tangan terasa hangat dan
akrab (par. 8).
Sedangkan Wardi yang merupkan anak
Kang Nurya memberi sebuah gambaran salah satu orang desa yang tidak berhasil
memperbaiki hidupnya di tanah rantau. Tetapi Wardi bisa dijadikan cermin betapa
ia berusaha berbakti dengan tetap datang melihat kubur ayahnya meski ongkos
perjalanan mahal. Rasa bakti yang pada manusia modern sudah sangat bersifat
materialistis (memasukkan orang tua ke panti jompo karena tidak mau kerepotan
misalnya). Bakti Wardi dapat dilihat dari petikan di bawah ini:
Hari kesepuluh
sejak kematian Kang Nurya, seorang anak lelakinya datang. dialah Wardi anak
sulung Kang Nurya. Kami hampir pangling. Kami melihat kesan kepindahannya ke
Lampung tidak mengubah derajat hidupnya. Kemelaratan masih tergambar jelas dari
seluruh penampilannya…(par. 30).
b.
Aku (Markotob)
Tokoh Markotob ini tampaknya orang
yang sedikit banyak lebih berpendidikan. Ia tipe orang yang tidak sombong dan
pedili pada nasib orang lain. Ia juga orang yang berada di antara kultur desa
dan kota. Lihat dalam petikan berikut:
…Padahal setahu saya, pembengkakan semacam itu bisa berbahaya bila
ternyata ada tumor kelenjar gondok di sana (par. 7). Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui apa itu penyakit tumor
kelenjar gondok.
Saya sadar keadaan
lelaki itu serius. Maka pikiran saya langsung teringat obat, dokter, rumah
sakit. Saya ingin bermusyawarah dengan para tetangga dan Pak Rt untuk membawa
Kang Nurya ke rumah sakit…(par. 25). Hal ini
menunjukkan bahwa Markotob peduli pada nasib orang-orang yang ada di sekitarnya
dan menghormati keputusan orang lain dengan mengadakan musyawarah.
3)
Alur dan Pengaluran
Dalam cerpen ini, pengarang menggunakan
alur maju dengan memanfaatkan seorang narator ‘aku’ yang bernama Markotob.
Pengaluran yang digunakan pengarang tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Awal → dapat dilihat dari
deskripsi yang disampaikan pengarang melalui narator ‘aku’ mengenai suasana
desa, siapa tokoh Kang Nurya dan kerbaunya yang akan menjadi bahan pokok penceritaan
cerpen ini.
b.
Tengah → dapat dilihat dari
bagaimana awal Kang Nurya sakit dan akhirnya meninggal dunia.
c.
Akhir → dapat dilihat dari
kedatangan Wardi yang mengurus wasiat ayahnya mengenai penjualan kerbau.
4)
Setting atau Latar
Pengarang mengambil setting desa dengan
berbagai suasana atau latar tempat, waktu, dan kehidupan sosial yang
benar-benar “ndesani”.
a.
Latar tempat = surau, tambak,
rumah bambu
b.
Latar waktu = bisa masa lalu,
bisa masa sekarang (dilihat dari nama, dan perbandingan usia tokoh yang
menggunakan pengibaratan umur Kanjeng Nabi)
c.
Latar sosial = shalat,
kepemilikan atas kerbau, nama tokoh, masih kentara dalam melaksanakan ibadah,
seruling, gotong royong
5)
Gaya Bahasa
Bahasa pengarang terkesan ringan dang
merupakan bahasa keseharian yang meninggalkan ‘selengekan’. Istilah-istilah
Jawa yang dipakai oleh pengarang memperkuat bahwa setting cerita menyangkut
kultur Jawa yang masih nJawani. Perhatikan petikan berikut:
…Padahal di
depannya sedang ada dua ikan mujair jantan berkejaran sehingga menimbulkan
riak-riak air. Atau ikan betik yang melompat ke atas permukaan air untuk
menangkap serangga…(par. 9). Biasanya penamaan
jenis ikan ini dipakai oleh orang-orang Jawa khususnya sebagian wilayah di Jawa
Tengah.
Saya serius
memikirkan kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok. Tapi yang
bersangkutan ayem saja (par. 16). Kata
‘ayem’ yang berarti tentram dan damai merupakan kata dari Bahasa Jawa.
6)
Sudut Pandang
Pengarang menggunakan sudut pandang orang III (tiga)
dengan memanfaatkan narator ‘aku’. Pengarang ikut hadir dalam cerita tetapi
bukan sebagai tokoh utama yang seolah-olah tahu semua apa yang akan terjadi
pada tokoh-tokoh cerita. Hal ini juga disebakan oleh penyebutan Kang Nurya
sebagai ganti ‘dia’.
No comments:
Post a Comment