About

CERPEN “ORANG GILA DI BUKIT TENGKORAK”



KAJIAN UNSUR PEMBANGUN CERPEN
“ORANG GILA DI BUKIT TENGKORAK” KARYA S. YOGA

Dunia sastra selalu berkembang menyesuaikan zamannya seolah berkejaran dengan sang waktu. Mungkin seseorang yang dalam dirinya tercetak sebagai penahbis art adalah satu-satunya pemenang dalam pertarungan antara manusia dengan sang waktu.
Meskipun orang tersebut telah meninggal dunia, karyanya pergi entah ke mana, atau musnah sekalipun, proses penciptaannya akan tetap abadi. Tidak pernah bisa dihancurkan oleh waktu.
Jutaan karya telah tercipta. Jika seorang pengarang disuruh memilih karyanya yang mana yang lebih bagus, pasti akan kesulitan menentukannya. Mungkin akan ada pengarang yang menjawab bahwa karyanya yang terakhir dikarangnya itulah karya yang terbagus. Sebab merupakan hasil pemikirannya yang up to date, fresh and original.
Semua pendapat tidak salah, tidak berpendapat pun tidak salah. Satu hal yang kurang benar adalah ketika seorang pengarang itu memaksakan kehendak interpretasi kepada pembacanya. Maka dia bisa jadi disebut pengarang yang kurang ‘dewasa’.
Oleh karena itu, penulis mencoba menelaah atau mengkaji cerita fiksi karya S. Yoga yang penulis anggap menarik. Dalam kajian yang ingin menguraikan unsur-unsur pembangun cerpen “Orang Gila di Bukit Tengkorak” ini penulis membahas beberapa hal, meliputi:
I. SINOPSIS
Judul               : Orang Gila di Bukit Tengkorak
Pengarang       : S. Yoga
Penerbit           : Suara Merdeka
Edisi                : Minggu, 18 Mei 2003
Halaman          : 20
Seseorang kelihatan hidup menderita. Terhimpit antara dunia nyata dan maya. Satu sisi bagai mimpi, di sisi lain memang benar-benar nyata dirasakannya.
Dia hidup di wilayah genting. Dia antara orang-orang, yang ia sebut hantu, dan tumpukan boneka serta raksasa hijau. Setiap kali memandang, hamparan hantu-hantu yang tertangkap mata. Pemandangan itu hanya bisa dilihat di Bukit Tengkorak. Kehidupan mengerikan yang dia kira hanya ada di neraka.
Di sepanjang jalan, banyak yang bergelimpangan: terkena kusta, kelaparan, mereka tidur-tiduran di bawah pohon kering, tubuhnya benar-benar tinggal tulang-belulang. Tanah tampak tandus. Tumbuhan mati. Air tak ada.
Semua orang ketakutan padanya, karena mereka menganggapnya gila. Justru dia sendiri tak tahu makhluk apakah dirinya itu. Apakah ia memang orang gila, atau ia hantu seperti yang lainnya?
Dia menanti diberi mainan oleh raksasa hijau yang datang bila senja tiba. Mainan tersebut berupa boneka yang sudah rusak. Entah kaki dan tangannya yang buntung, kepalanya berlubang, serta seluruh badannya yang remuk. Mereka ia rawat. Tanpa bicara dan beku.
Suatu hari ia diberi jantung sapi yang segar oleh raksasa hijau. Ia lumat jantung itu dengan sangat rakus. Kemudian ia melihat pula kapal beroda naik-turun bukit. Semua hantu yang ada di lereng bukit berteriak-teriak kalau ada truk yang akan melindas mereka.
Sedangkan dia memilih menyembunyikan boneka-bonekanya di dalam tanah. Kalau dia sudah bawa boneka-bonekanya itu berlarian naik-turun bukit, ia diteriaki ‘orang gila bawa boneka! Ia bawa tengkorak! Dasar orang gila!’.
Suatu hari ia mengendap-endap mendatangi rumah para hantu. Dia melihat anak hantu dan ibunya menangis karena si Kepala Rumah Tangga pergi tak kunjung kembali.malahan ia bingung mengapa hantu bisa menangis.
Raksasa hijau mengiriminya boneka lagi. Tapi celaka, satu di antaranya ada yang bisa bicara. Itu berbahaya karena raksasa hijau pernah berkata demikian. Karena kalau boneka bicara, itu tandanya mereka adalah hantu. Kemudian ia membawa boneka itu ke rumah penduduk.
Kejadian tersebut diketahui oleh raksasa. Ia mulai ingat masa lalunya. Tubuhnya diseret, anaknya dibunuh, dan istrinya mati setelah diperkosa.
Raksasa hijau murka. Dirinya sudah tidak takut. Justru ia malah berteriak-teriak kalau sebenarnya yang boneka itu adalah raksasa hijau. Karena mereka adalah mainannya.
Dalam pandangannya, raksasa itu adalah mesin. Gagah tapi bodoh. Serakah dan kejam. Pembawa senjata yang membunuh secara sadis!
II. UNSUR STRUKTURALIS PROSA
    A. Tema dan Amanat
Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan yang ada di dalam cerprn “Orang Gila di Bukit Tengkorak” ini. Yang pertama adalah sesuatu yang kelihatannya buruk itu belum tentu benar-benar buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan peran anak hantu dan ibunya.
Hantu identik dengan setan dan sifat-sifat yang tercela. Tetapi anak dan ibu hantu dilukiskan pengarang dengan rasa kemanusiaan, yaitu merasakan rindu seperti layaknya manusia. Hantu bisa menangis, bekerja, berbicara, dan makan seperti manusia.
Justru ada banyak orang yang mengatasnamakan diri dan perbuatannya malaikat, tetapi sebenarnya ia rajanya para hantu. Kita tengok saja public figure. Di layar kaca berperan sebagai peri, setelah selesai akting tidak lebih rendahnya seorang perusak rumah tangga orang dengan mau dikawin siri hanya dengan beberapa sobekan kertas yang bernama uang.
Cinta dijual-belikan. Apalagi surat ijab-qobul yang harganya hanya cukup untuk beli kacang goreng di pinggir jalan yang akhirnya bermuara di toilet. Mungkin seperti itulah fragmen kehidupan yang pengarang coba bingkai.
Kedua, bahwa yang dimaksud pengarang dengan raksasa hijau adalah penguasa yang dzalim. Hal itu juga seakan merupakan cermin dari keadaan pemerintahan Indonesia di sebuah masa yang dibuat ‘lesap’ oleh pengarangnya sendiri.
Suatu negara akan menjadi kerajaan neraka, tempatnya hantu-hantu bila dipimpin oleh penguasa yang kejam dan suka berperang. Seperti sebuah kepulauan yang kena kutuk. Sedikit sekali, bahkan mungkin sama sekali tidak ada, orang yang benar-benar bisa dibilang baik.
Raksasa hijau juga bisa diartikan sebagai simbol warna dan sosok seorang tentara di Indonesia. Mereka digambarkan sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan. Justru hal inilah yang membedakan si Raksasa hijau dengan si Aku yang sebenarnya lebih pandai. Sebab si Aku tidak bisa diperintah-perintah hanya perkara ia seorang yang gila.
Orang gila itu tidak dipandang. Jikalau pun dipandang, hanya sebagai bahan tertawaan yang bisa menimbulkan rasa ‘amazing’ bagi orang-orang yang menyebut dirinya pihak-pihak ‘normal’. Padahal, orang gila itu lebih berkuasa. Karena dia bisa menguasai dirinya sendiri, mengendalikan dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Satu yang pasti: orang gila melakukannya sendiri tanpa mau diperintah-perintah.
Sedangkan orang-orang yang menyebut dirinya sendiri normal itu yang mau diperintah-perintah. Seperti robot yang melakukan segala sesuatunya atas keinginan orang lain. Digerakkan seperti boneka.
Oleh karena itulah si Aku mengatakan kalau sebenarnya yang boneka adalah mereka. Yaitu para raksasa hijau yang tidak lain dan tidak bukan ialah seorang tentara, yang telah diputus urat sarafnya oleh aturan yang ‘keji’, dengan dalih demi menegakkan negara yang adil makmur sentosa.
Penulis merangkum semua itu dalam pokok soal mengenai “kebobrokan hidup” atau tindak amoral. Hal ini disebabkan oleh pengarang banyak sekali mendeskripsikan ketimpangan-ketimpangan setting, karakter, dan perihal kehidupan dengan sangat mengerikan. Bahkan sebuah naratif-deskriptif yang berisi mengenai hidup yang mencekam.
Banyak sekali tindak asusila dengan cara membunuh, memperkosa, mendeskreditkan, menganiaya dan memvonis semena-mena pada orang lain. Cara-cara tidak halal dihalalkan oleh sebuah komusnitas yang menyatakan dirinya ‘normal’. Peristiwa ini hampir mirip kehidupan mendekati akhir zaman alias kiamat!
    B. Tokoh-Penokohan Dipandang dari Aspek Semiotika (Ikon, Simbol, Indeks)
Tokoh sentral              : Aku
Tokoh Pendukung       : Raksasa hijau, anak hantu dan ibunya, boneka-boneka mainan, dan tuan.

Penokohan Aku. Seorang yang teraniaya. Kehidupannya sangat menyedihkan. Tampaknya ia memang benar-benar gila. Mungkin yang dimaksudkan adalah dia dibuat gila.
Aku adalah IKON dari orang-orang yang termaginalkan zaman. Penuh kelukaan, penderitaan, dan tidak ada stabilitas dalam menjalani kehidupannya.
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinanm jika tokoh AKU merupakan INDEKS dari manusia-manusia masa depan yang lebih tinggi jumlahnya dibanding sekarang. Orang yang stress, depresi, bahkan yang gila semakin banyak dengan permasalahannya yang begitu kompleks lagi. Sebab semakin ke arah maju peradaban, tahun semakin bertambah, jumlah pasien atau penghuni Rumah Sakit Jiwa (RSJ) semakin bertambah banyak pula.
Siapa orangnya yang tidak edan bila melihat anaknya mati dan istrinya juga mati setelah diperkosa. Dia sendiri dianiaya sampai memori ingatannya melumpuh. Ditambah lagi dimasukkan ke lingkungan yang mengalami hal serupa.
Karena depresi yang mendalam, seseorang bisa menderita penyakit gangguan mental berupa Scizophrenia. Yaitu sejenis gangguan jiwa yang dialami oleh mereka yang menganggap dia selalui dikuntit seseorang. Merasa ada yang menemaninya setiap waktu. Seperti teman khayalan yang di satu waktu baik, dan di kemudian detik berubah kejam sekaligus sadis. Atau di antara kedua sifat tersebut.
Si ‘Aku’ merupakan penokohan yang rumit. Di antara kebanyakan komunitas normal, ia dianggap gila. Tetapi di dalam ‘dunia’ dia sendiri, dialah pemegang kendali. Seseorang yang cerdas. Sebenarnya dia sadar akan eksistensinya, meski tidak diterima oleh akal pikirannya yang tampaknya telah dirusak. Pengrusakan total yang tidak main-main.
Keadaan “Aku” tidak ubahnya penderita korban perang. Kelaparan, kehausan, bau anyir mayat yang berserakan, dan terus-menerus dianiaya secara fisik maupun mental. Ia dipaksa merasakan itu semua. Tidak diberi kesempatan keluar dari ‘daerah’ yang telah ditentukan oleh raksasa hijau sebagai ‘kampung’ dia.
Dia tidak bodoh. Justru akhirnya ‘Aku’ yang paling pintar di antara mereka. Karena dia masih bisa membedakan apa yang enak dan tidak enak untuk dirasakan. Kalau mau bicara sedikit filsafatis, mungkin orang gilalah yang sebenarnya lebih bisa dipercaya. Karena dalam kegilaannya itu ada konsistensi atau kesetiaan menjadi seorang yang gila.
Orang yang gila sebenarnya waras. Yaitu orang yang tidak pernah mengatakan aku waras. Begitu pula sebaliknya. Orang yang sering mengatakan aku normal, sesungguhnya ia adalah si Gila yang sebenar-benarnya.
Ada pencuri yang tidak pernah mengaku pencuri. Tapi ada orang yang tidak mencuri mengatakan dirinya sebagai pencuri. Sebab ingin melindungi sesuatu atau malah melindungi pencuri itu sendiri dengan alasan-alasan yang logis.
Penokohan raksasa hijau. Pengarang menggambarkan mereka sosok yang menakutkan. Pembunuh yang kejam dan tidak segan-segan melindas apapun yang ada di depannya. Tanpa pikir panjang dan tahu salah atau benar.
Kumpulan orang yang identik dengan kesewenang-wenangan. Mungkin dalam penokohan raksasa hijau ini pengarang ingin menyampaikan wajah penguasa di Indonesia. Apalagi disebutkan bahwa warna raksasa itu doreng. Raksasa hijau doreng. Yaitu para oknum tentara Republik Indonesia, yang banyak menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dengan dalih untuk pertahanan dan keamanan rakyat serta negara.
Secara luas memang mereka ini tidak tampak. Karena sulit disorot media. Bahkan negara melindungi keberadaan mereka. Alasannya bahwa mereka merupakan kekuatan militer. Mereka kejam karena seorang tentara dituntut objektif demi menumpas kejahatan. Otak mereka telah dicuci. Sebab seorang tentara tidak boleh berat sebelah.
Mereka harus melupakan yang namanya status sosial, ikatan kekerabatan dan kalau perlu menyingkirkan Tuhan. Demikianlah aturan yang melekat di tubuh seorang tentara yang mengalami kebablasan aplikasi dalam kehidupan sebenarnya.
Raksasa itu wakil  ancaman. Sedikit sekali ada raksasa yang baik, misalkan begitu. Apalagi mau menolong tanpa pamrih. Akhirnya, mereka diperbudak oleh keinginan-keinginan setan. Yaitu segala nafsu yang sebenarnya dari dirinya sendiri. Sedangkan Hijau wakil dari corak baju yang dikenakan tentara-tentara kita. Raksasa Hijau adalah SIMBOL dari oknum-oknum yang menganiaya tokoh AKU, dan mereka justru IKON dari tentara bangsa kita.
Hal ini juga disebabkan oleh setiap diri manusia mempunyai ruh setan yang melekat dalam-dalam dan muncul sewaktu-waktu. Tidak hanya tentara saja yang memilikinya.
Penokohan anak hantu dan ibunya. Ia sebenarnya tidak banyak karakter yang ditunjukkan. Tetapi kedua peran ini merupakan wakil (SIMBOL) dari kehidupan manusia. Meskipun mereka hantu, mereka bisa menangis. Hal ini dapat juga diartikan bahwa sejahat apapun manusia, ia masih mempunyai sesuatu yang baik dari dalam dirinya.
Hantu merupakan SIMBOL dari sesuatu yang maya. Seperti alam jiwa manusia yang tidak dapat dilihat sedang baik atau buruk. Manusia yang menghuni jagad raya datang pergi sesuka hati dengan banayk variasi tentunya, sebab mereka terus digantikan dari satu objek manusia ke objek yang lain melalui siklus kelahiran dan kematian.
Anak adalah IKON dari segala hasil pertumpahan hidup, yang menjadi identifikasi baik atau buruknya kemakmuran hidup manusia dengan wadah hidupnya (negara). Anak bisa dijadikan tolok ukur maju-mundurnya moral bangsa, nilai harga diri, dan kemajuan sebuah bangsa.
Di sini, pengarang seperti membuat ‘elips’ tokoh anak dan ibunya. Kehadirannya hanya diakui melalui perantara penglihatan tokoh “Aku”. Jika tidak ada tokoh sentral, mungkin penokohan keduanya tidak dijadikan soal.
Hanya saja yang ingin penulis tekankan adalah penokohan kedua orang ini banyak sekali dialami oleh orang-orang di sekitar kita. Si Anak tanya siapa dan ke mana bapaknya, sedangkan ibunya menjawab dengan cara ‘pura-pura’. Semua dilakukan demi menghibur hati anaknya. Di samping bisa jadi menutupi fakta sebenarnya.
Boneka-boneka mainan. Penokohannya digambarkan dengan keadaan yang kurang beruntung. Bisa jadi pengarang menggunakan lambang boneka untuk menyebut (SIMBOL) dari mereka-mereka yang mudah sekali dibodohi oleh penguasa. Dalam artian mereka adalah rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa dan mau saja diapa-apakan.
Bagai wayang, boneka pun demikian. Mempunyai peran dan arti bila digerakkan sang Dalang. Tanpa itu, boneka tidak ubahnya benda mati. Mayat. Jika mayat saja bisa bicara, mungkin yang terjadi adalah kerusakan yang fatal. Hingga benda mati bisa menjerit merasakan keadaan di sekitarnya.
Penokohan tuan. Penokohannya memang hanya sedikit. Tetapi mempunyai peran yang cukup diperhitungkan sehubungan dengan vonis yang dijatuhkan pada tokoh sentral. Ia digambarkan (SIMBOL) sebagai penguasa sewenang-wenang, tidak berperikemanusiaan, sadis, bengis, tapi tegas.
Buktinya ia mampu mengendalikan anak buahnya membawa tokoh sentral untuk dibuang ke tengah kota. Hal ini juga menunjukkan betapa otoriternya dia.
    C. Setting
1.      Di alam mimpi. Karena si Aku menceritakan mimpi-mimpinya ketika ia sendiri sedang di alam mimpi. Hal ini dapat dilihat ketika pengarang membuka paragraf awal atau cerita awal. (SIMBOL)
2.      Di Bukit Tengkorak. Si Aku menceritakan bahwa dirinya secara tidak sadar telah ada di Bukit Tengkorak menyaksikan pemandangan yang ‘panas’ seperti di neraka. (SIMBOL)
3.      Pesisir pantai. Melalui lamunan si Aku yang membayangkan masa lalunya ketika belum hidup di Bukit Tengkorak. Saat ia masih berlayar dahulu. (SIMBOL)
4.      Di rumah-rumah para hantu. Diketahui dari si Aku yang dengan mengendap-endap mengetahui ada anak hantu dan ibunya yang berbincang-bincang. Sang anak bertanya pada ibunya di mana bapaknya kini berada. Sedangkan ibunya, demi menghibur buah hatinya, mengatakan kalau bapaknya pergi bekerja.
Juga ketika si Aku pergi meletakkan boneka di rumah penduduk hantu. Boneka itu terluka dan minta tolong kepada si Aku untuk membawanya pergi ke rumah penduduk tersebut. Kemudian mereka mendapati boneka tersebut, dan si Aku pergi. (SIMBOL)
    D. Alur-Pengaluran dan Gaya Cerita
Pengarang menggunakan alur maju. Cerita diuraikan secara runtut dari awal hingga akhir. Istilahnya dari “A-Z”. Pengarang mengawali ceritanya dengan deskripsi mengenai peristiwa mimpi si Aku, dan menutup atau mengakhiri ceritanya dengan akan di buangnya tokoh si Aku ke tengah kota.
Bagian awal. Diuraikan mengenai mimpi-mimpi si Aku yang sebenarnya dirinya juga masih terbelenggu oleh mimpi itu sendiri. Dengan istilah lainnya bermimpi dalam mimpi. Kemudian disusul dengan peristiwa-peristiwa yang mengerikan yang disaksikan si Aku dengan diselipi deskripsi setting suasana oleh pengarang.
Bagian tengah. Diceritakan pengarang bahwa keadaan si Aku sangat mengenaskan karena disiksa dengan berbagai cara. Ia juga melihat penyiksaan itu pada orang lain. Kemudian diceritakan pula kegilaan-kegilaan si Aku karena tidak kuat menanggung siksa hidup secara fisik maupun mental.
Dilihatnya pula keadaan di sekitarnya. Ada anak hantu bersama ibunya yang menderita seperti dia. Meskipun penderitaan si Aku lebih besar dengan ditunjukkan secara langsung oleh pengarang “…Dan aku tidak tahu, kenapa harus menitikkan air mata menjawab pertanyaan seperti itu saja”.
Yang dimaksud pertanyaan itu saja adalah pertanyaan anaknya tentang ke mana bapaknya pergi kepada ibunya. Si Aku menganggap bahwa kerinduan yang menyiksa itu tidak sebanding dengan penderitaan yang dialaminya karena anaknya dibunuh dan istrinya mati setelah diperkosa.
Bagian akhir. Kegilaan si Aku dianggap menemui titik puncaknya oleh raksasa hijau. Bahkan si Aku berani mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh diucapkan. Sebuah dialog di antara Tuan pemimpin raksasa hijau kepada raksasa hijau bawahannya mengenai pembuangan si Aku dijadikan ending cerita ini.
Akhir cerita tersebut pula yang membuat selesaian story absurd ini seolah-olah tidak pernah benar-benar selesai atau tamat. Sebab akhir ceritanya masih memungkinkan dilanjutkan oleh pembacanya sendiri dalam pikiran masing-masing.
Cerita ini merupakan bacaan serius yang juga bisa dikelompokkan pada cerita absurd. Alasan penulis memberi ‘titel’ cerita absurd pada cerita ini adalah karena gaya cerita pengarang itu menggunakan bahasa, lambang, dan setting yang benar-benar sulit dipahami oleh pembaca awam. Yaitu mereka yang kurang peka terhadap bacaan sastra.
Pengarang dengan ‘hati-hati’ memberi kritik sosial sekaligus politik mengenai keadaan yang terjadi di Indonesia. Selain memberi kesan sastra, pengarang juga tidak mau karyanya ini begitu saja dibaca tanpa diresapi apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya, dan langkah apa yang pembaca ambil untuk mengatasinya.
Dengan kata lain, pengarang juga ingin mengajak pembacanya untuk turut merevisi aturan-aturan atau tindakan-tindakan yang timpang di negaranya. Maka karya pengarang ini penulis anggap sebagai karya yang berfungsi mengajak membenahi keadaan carut-marut pemerintahan yang ada. Sebab selain sebagai media pemikiran pengarangnya, karya sastra mempunyai fungsi untuk membenahi tata kehidupan sebuah bangsa.
    E. Sudut Pandang
Pengarang menggunakan sudut pandang atau pusat pengisahan orang pertama yang menggunakan ‘aku’ sebagai tokoh utama. Tokoh sentral yang benar-benar ‘keakuan’, sebab pengarang juga masuk ke dalam kisahan yang dibuatnya sendiri. Bahkan pengarang adalah tokoh aku.
Seseorang yang mengalami sendiri apa yang diucapkannya. Bukan sebagai peninjau atau pemerhati saja. Melainkan pelaku, peninjau, dan pemerhati itu sendiri. Hal ini dapat diketahui bahwa dari awal hingga akhir pengarang selalu menggunakan ‘aku’ untuk tokoh sentralnya.

No comments:

Post a Comment