Gaya cerita atau teknik penulisan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipandang sebelah mata saja. Kegagalan maupun keberhasilan pengarang dalam menciptakan karyanya akan meledak atau ‘melempem’ bisa saja dipengaruhi oleh gaya penulisannya. Apakah menarik, atau sangat tidak menarik.
Melalui karangannya, seorang pengarang cerita rekaan bukan sekedar ingin memberi tahu apa yang sedang dialami oleh pelaku ceritanya melainkan lebih daripada itu. Ia ingin apa yang dialami pelaku ceritanya dirasakan seperti dialami sendiri oleh pembacanya (Suharianto, 1983: 63).
Bertolak dari hal tersebut, pengarang mempunyai beban dalam mengejawentahkan atau mengaplikasikan pemikirannya melalui karya yang akan dibuat. Sebab pengarag dituntut menggunakan kecerdasan serta kepekaan berbahasanya dalam menuangkan pemikiran sehingga karya yang akan dibaca oleh penikmatnya dapat mengundang curiousity yang besar.
Berdasarkan hal di muka, yang dimaksud gaya cerita adalah cara pengarang dalam menyampaikan tulisannya kepada publik agar pembaca mendapatkan sesuatu setelah membaca karyanya tersebut. Pengarang bekerja sebagai peramu unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra agar mendapatkan tulisan yang berbobot serta koheren (tema, amanat, tokoh-penokohan, alur-pengaluran, setting, dan sebagainya).
Dengan cara pandang yang demikianlah kajian cerpen “Pulang dalam Hujan” karya Marhalim Zaini penelitian ini akan dilihat dan kaji. Mencoba menguak bagaimana cara pengarang menulis dan mengolah ide atau pemikiran-pemikirannya.
Judul : Pulang dalam Hujan
Pengarang : Marhalim Zaini
Penerbit : Suara Merdeka
Edisi :Minggu, 6 MAret 2005
Halaman : 18
1. Sinopsis
Seorang
suami mengajak istrinya pulang ke kampungnya. Sudah beberapa tahun suami itu
meninggalkan kampung yang identik dengan kekumuhan. Mayoritas penduduk yang
mata pencahariannya sebagai penangkap ikan menambah hawa kumuh kampung di
Bengkalis tersebut.
Perjalanan
jauh Jawa-Sumatera membuat istrinya mabuk. Bukan hanya jalan yang rusak, tapi
juga karena bau amis yang ditinggalkan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Mereka kebanyakan Orang Asli yang gemar menangkap dan menyantap ikan mentah. Belum
lagi hujan turun yang semakin membuat suami-istri tersebut bagai mengalami
mimpi buruk mendatangi daerah kumuh seperti Bengkalis.
Setelah
turun dari speed boat, keduanya naik oplet reyot yang tampaknya sering rewel.
Dan benar saja, ketika di tengah perjalanan, oplet tersebut ngadat total. Hujan
makin turun deras dan bau amis itu tetap saja tidak mau pergi dari sekitar
mereka.
Keduanya
memutuskan tetap di dalam oplet, sedangkan sopirnya masih memperbaiki oplet
tersebut. Tiba-tiba ada seorang lelaki dalam hujan yang mengetuk-ngetuk kaca
jendela oplet. Ia menawari suami istri itu untuk tidur di dalam rumahnya yang
kecil, gelap dan pasti berbau amis. Lebih amis dari yang ia cium di tubuh
oplet.
Suami-istri
tersebut belum memutuskan mau atau tidak. Mereka masih membayangkan rumah
bersahaja khas daerah tersebut. Hanya saja mereka berdua menganggap semua yang
terjadi adalah sebagai mimpi buruk, karena ternyata tubuh mereka kini juga
telah seamis penduduk yang tadi ada di sekitarnya.
2. Identifikasi Gaya
cerita
Cerita pendek ini pengarang tulis
dengan gaya bahasa yang matang. Terbukti dengan pemilihan kata atau diksinya
yang tidak main-main. Menggunakan berbagai perumpamaan yang tepat, karena
pembaca dapat mendeskripsikan setiap tempat, suasana, dan waktu relatif mudah.
Pengarang banyak sekali menggunakan
gaya bahasa kiasan atau majas. Diantaranya majas personifikasi. Gaya bahasa ini
dapat kita temukan pada hampir bagian cerita. Kekuatan pengarang tampaknya ada
pada cara penyampaian session ini.
Ceritanya lebih hidup karena
pengarang juga menggunakan teknik naratif sekaligus deskriptif. Sehingga
pembaca serasa melihat, atau bahkan merasakan peristiwa itu sendiri secara
real. Hal ini dapat ditemukan hampir di semua substansi cerita. Misalnya
suasana amis, hujan yang dingin, dan gelap yang begitu mencekam yang dialami
tokoh suami-istri. Pembaca dapat dengan mudah menikmati sekaligus merasakannya.
Satu
catatan yang tidak kalah penting untuk dikesampingkan oleh pengarang adalah
cerita yang dikemukakan begitu sulit dipahami. Hal ini dikarenakan tendensinya
kurang mencuat ke permukaan. Dengan kata lain secara tersirat atau implisit.
Padahal,
pengarang dalam menulis karyanya itu berangkat dari amanat atau pemikiran yang
ingin dibagi dengan pembacanya. Justru dengan gaya cerita yang demikianlah
cerita tersebut terkesan tidak ditemukan tendensi pengarang secara berarti.
Suatu hal yang sungguh ironis, karena bisa membuat sebuah karya sastra fiksi
kurang bernilai atau dengan kata lain tidak begitu mempunyai bobot sastra.
3. Penutup
Dari uraian di muka, dapatlah
diambil kesimpulan sehubungan dengan cerita pendek “Pulang dalam Hujan” karya
Marhalim Zaini sebagai berikut:
- Bahasa yang digunakan
pengarang kebanyakan merupakan bahasa kias, yaitu majas personifikasi.
Sebuah majas yang mengungkapkan segala kejadian dengan cara pengumpamaan
(perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia.
- Gaya cerita pengarang
menggunakan teknik penulisan karangan naratif sekaligus deskriptif. Yaitu
suatu pola tulisan dengan cara menguraikan setiap peristiwa sekaligus
memberikan gambaran dari peristiea yang terjadi tersebut.
- Adanya kurang berbobot
sastra jika pengarang membuat cerita dengan gaya cerita yang banyak
menggunakan teknik naratif-deskriptif dan bahasa kias yang demikian. Gaya
cerita tersebut bisa jadi merusak cerita karena tendesi atau amanat si
Pengarang tidak dapat disosialisasikan kepada pembacanya dengan baik dan
tepat.
No comments:
Post a Comment