Semasa kecil Firdaus sudah mampu menikmati hubungan seks, dengan teman
sepermainannya; tanpa ia sadari bahwa itu adalah hubungan yang bisa membuatnya
tak perawan lagi. Karena hidupnya selalu berada dalam kekurangan, akhirnya ia
dibawa oleh pamannya dan disekolahkan ke kota .
Tetapi hal itu tidak membuat kehidupannya lebih baik.
Sebelum dijatuhi vonis mati karena membunuh lelaki yang menjadi germo
sekaligus suaminya sendiri itu, Firdaus hidup sebagai pelacur untuk memenuhi
kebutuhan perutnya. Setamat lulus seolah menengah, ia dikawinkan dengan lelaki
tua yang masih bersaudara dengan istri pamannya. Tetapi pernikahan itu tidaklah
lama karena suaminya tersebut memperlakukan Firdaus secara tidak manusiawi.
Ia memutuskan meninggalkan rumah suaminya tersebut ke jalanan. Di
sepanjang jalan ia kelaparan dan kedinginan, menggelandang. Hingga akhirnya
bertemu dengan lelaki yang menolongnya dengan imbalan tubuhnya. Demikianlah
seterusnya ia berpindah dari satu tangan lelaki ke tangan lelaki lain. Kehidupan
yang dijalaninya sebagai budak nafsu dan perlakuan kejam ari lelaki yang
menolongnya itulah yang mendorongnya untuk lari. Kemudian ia menjajakan diri
dengan cara menelusuri panjangnya jalan–jalan raya, hingga ia bertemu dengan
bekas pelacur sukses yang telah menjadi germo.
Di sinilah ia didik menjadi seorang pelacur berkelas dengan tarif yang
mahal. Tetapi kemudian Firdaus memutuskan hubungan germo-pelacur dan berusaha
melacur tanpa peantara mucikari, dan ternyata ia sukses. Hidupnya berhasil dan
sukses. Ia juga dapat bekerja di kantoran selaiknya wanita terhormat.
Firdaus akan berkata tidak pada lelaki yang tidak dikehendakinya, dan
lelaki itu pun tidak akan pernah bisa membawanya. Ia akan mengatakan bahwa
harga tubuhnya lebih tinggi dari berapapun yang dimiliki oleh orang yang
menawar sekaligus tidak disukainya. Begitu pula sebaliknya. Ia akan menerima
dengan senang hati bahkan gratis kepada orang yang diinginkannya.
Petaka pun datang karena ancaman germo lelaki yang memaksa mengawininya
dan memeras uang dari tetesan keringat persetubuhannya dengan lelaki lain.
Akhirnya Firdaus tidak tahan dan membunuhnya. Setelah membunuh suami sekaligus
germo itu, ia kembali menggelandang di sepanjang jalan. Hingga kepala negara dapat
membawa Firdaus ke ranjangnya.
Kepada kepala negara tersebutlah Firdaus mengaku bahwa ia seorang
pembunuh. Tetapi kepala negara itu tidak percaya ada seorang perempuan cantik,
lemah lembut, dan berkelas usai membunuh. Tetapi karena Firdaus menyerang si
Kepala Negara, maka ia dijebloskan ke penjara. Meskipun ia disarankan meminta surat ampunan, ia tetap
memilih vonis mati yang dijatuhkan pada akhir hidupnya.
Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
Keperawanan Srintil yang akan dilepas pada
malam bukak klambu telah lebih dulu
ia serahkan pada Rasus. Meski begitu, prosesi penahbisan dirinya sebagai
ronggeng tetap dilewatinya dengan mulus meskipun ia sudah tidak lagi perawan.
Sejak malam itulah Srintil disahkan sebagai
ronggeng. Rasus berkelana mencari jati diri meninggalkan Dukuh Paruk yang telah
mengambil cintanya, hidup mengikuti arus; mengikuti pelatihan militer yang
membawanya menjadi tentara. Seorang tentara yang nantinya akan dianggap sebagai
pemegang kekuasaan oleh puak Dukuh Paruk.
Di sisi kehidupan yang lain, Srintil telah
menjadi ronggeng sukses. Kehidupannya yang melarat berubah drastis; menjadi
perempuan yang paling kaya di Dukuh Paruk. Ketenarannya inilah yang digunakan
oleh oknum komunis untuk mengadakan rapat politik ketika ronggeng naik pentas.
Karena hal inilah pemerintah mengambil sikap untuk membasmi komunis besrta
antek-anteknya, pemain ronggeng; termasuk Srintil.
Dukuh Paruk akhirnya dihanguskan oleh
pemerintah. Srintil ditangkap dan dipenjarakan. Keadaan menjadi kacau-balau,
orang-orang Dukuh Paruk dikucilkan dari masyarakat daerah sekitar, karena dukuh
tersebut dianggap menjadi penyebab semua tragedi dengan adanya ronggeng.
Selama beberapa tahun Srintil ditahan, semuanya
ikut berubah. Kehidupan Dukuh Paruk semakin miskin, Srintil sendiri menjadi
sangat tertekan. Ia menyadari bahwa kehidupan meronggeng itu salah karena melanggar
norma etis dan estetis yang ada, yang tidak disadari oleh Dukuh Paruk yang
memuja adanya ronggeng.
Rasus telah kembali ke Dukuh Paruk, ketika neneknya
akan meninggal. Setelah ditahan selama hampir tiga tahun, Srintil pun
dibebaskan. Meskipun mereka bertemu, cinta keduanya belum bisa meyatu. Apalagi
setelah kedatangan orang-orang Jakarta
yang mengerjakan proyek pengairan di Dukuh Paruk.
Salah satu orang Jakarta itu ada yang tertarik pada Srintil,
tetapi ternyata ia impoten. Orang itu mendekati dan baik padanya karena ia
ingin Srintil membalas kebaikannya dengan mau melayani tidur bos orang Jakarta tersebut.
Karena peristiwa di kamar hotel dengan bos
orang Jakarta
itulah Srintil menjadi depresi. Rasus melihat bahwa Srintil telah gila,
pikirannya tak waras. Ronggeng Dukuh Paruk yang misuwur itu berubah menjadi
perempuan sedeng yang tak lagi punya harga.
Meskipun demikian, Rasus tetap mencintainya.
Dialah yang membawa Srintil ke rumah sakit jiwa militer, tempat ia mangabdi pada
negara selama ini. Karena bagaimanapun, ia dan Srintl masih saling cinta. Hati
keduanya telah tertaut jauh sebelum hari ketika Srintil meronggeng dan akhirnya
gila.
Larasatun Woro Cengkir Gading
Kedua novel yang mengetengahkan dunia pelacur memang
sudah banyak, dan bahkan sudah sulit dihitung dengan jari. Tetapi setiap cerita
selalu mempunyai kekhasan tersendiri, meskipun mempunyai kesamaan tema. Perbedaan
jelas akan mewarnai, meskipun sama-sama membahas dunia kepelacuran. Apalagi
jika cerita tersebut berasal dari negara berbeda; dengan latar kebudayaan yang
tentunya berbeda pula.
Hal tersebut juga terjadi pada kedua novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal
el-Saadawi berlatar kebudayaan Mesir dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari bercorak khas kebudayaan
Indonesia. Dua karya ini sama-sama diakui sebagai sastra dunia, yang banyak
dibaca dan dibicarakan oleh warga dunia. Masing-masing novel memang membicarakan
tentang dunia kepelacuran, tetapi tentu saja akan ditemukan perbedaannya.
Terutama teknik cerita pengarang, kultur masyarakat, penokohan, dan unsur-unsur
yang lain.
Analisis berdasarkan unsur yang ada di dalam cerita kedua novel mengenai
persamaan dan perbedaan tersebut dapat disimpulkan dengan tabel berikut:
No.
|
Unsur
|
Perempuan Di Titik Nol
|
Ronggeng Dukuh Paruk
|
1.
|
Cara melepas
keperawanan
|
Firdaus saat masih
kecil telah ‘bermain’ dengan teman sepermainannya. Sedari kecil ia mempunyai
pengalaman nikmat dalam menikmati hubungan pesetubuhan.
|
Srintil menyerahkan
keperawanannya ketika ia masih belia, sekitar 12 tahunan kepada Rasus sebelum
malam bukak klambu dengan alasan
cinta, upacara lelang keperawanan sebelum menjadi ronggeng.
|
2.
|
Cara yang digunakan
untuk melacur (menjajakan diri)
|
Firdaus sering berjalan
di sepanjang jalan agar orang terhenti untuk menawarnya. Belakangan ia
dipegang oleh seorang mucikari perempuan yang telah mengajarinya cara menjadi
pelacur berkelas.
|
Sebelum melayani lelaki
biasanya Srintil menari ronggeng dulu. Ia juga pernah menjadi gowok, yaitu seorang perempuan yang
disewa seorang ayah bagi anak lelakinya yang menginjak dewasa, dan menjelang
kawin. Seorang gowok bertugas
mengajari anak lelaki mengenai perikehidupan berumahtangga.
|
3.
|
Perantara pelacur
(germo/
mucikari)
|
Firdaus mulanya berjalan
tanpa arah dan berhenti ketika ada lelaki yang mengencaninya, kemudian ia
dipegang oleh germo.
|
Seorang dukun ronggeng,
yang merupakan anggota dari sebuah kelompok ronggeng (biasanya seorang
perempuan, dan ia juga pernah menjadi ronggeng)
|
4.
|
Seting sosial budaya
dan agama
|
Berbicara kepelacuran
di Mesir. Di suatu negara Islam yang kental, ternyata dunia prostitusi juga
mengalami satu sisi tingkatan yang bisa disebut sebagai virus fertilisasi.
|
Mencoba menampilkan pojok
lain dari budaya
|
5.
|
Penokohan
|
Firdaus merupakan tokoh
utama yang merupakan gadis dari desa, tetapi pendidikan yang sempat ia
dapatkan membuatnya jauh lebih berkelas dan terhormat. Ia wanita cerdas,
lemah lembut dan cantik.
|
Tokoh utama Srintil;
kehidupannya disoroti dari awal sampai akhir. Ia cantik, anggun, warna
hidupnya khas pedesaan; lugu, belum tersentuh modernisasi (kehidupan modern
yang terjadi ketika itu), belum mengenal sekolah (tidak bisa baca), dan
terbiasa hidup dalam keadaan miskin.
|
6.
|
Puncak konflik yang
merubah kehidupan tokoh
|
Pembunuhan yang telah
dilakukan oleh Firdaus kepada germo sekaligus suaminya yang selalu
memanfaatkan tubuhnya demi mendapatkan harta.
|
Terbakarnya Dukuh Paruk
karena dianggap mendukung pergerakan propaganda komunis. Banyak rumah hangus
dan pertumpahan darah di Dukuh Paruk dan sekitarnya. Srintil sendiri pun
akhirnya ditahan.
|
7.
|
Konsekuensi yang
diterima tokoh
|
Vonis mati dari
pengadilan karena telah membunuh dan melakukan kekerasan, yaitu menampar
Kepala Negara yang sedang menidurinya.
|
Menderita jasmani dan
rohani. Berpisah dengan Rasus yang dicintainya. Srintil juga dipenjara
beberapa tahun, menjadi bulan-bulanan di sel tahanan, dan akhirnya ia menjadi
gila.
|
8.
|
Ukuran kewibawaan
|
Jika Firdaus mengatakan
‘tidak’ maka siapapun lelaki itu tidak akan membawanya.
|
Tidak lelaki yang
berani mendekati dan mengajaknya tidur jika Srintil sudah berkata ‘tidak’.
|
9.
|
Penyesalan tokoh
|
Firdaus tidak menyesali
kepelacurannya. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa lebih baik menjadi seorang
pelacur daripada seorang istri. Karema menurutnya istri juga termasuk
‘pelacur’ dalam ‘bentuk’ berbeda.
|
Srintil menyesal dan
menyadari bahwa keronggengannya itu ternyata ‘salah’ di dalam pandangan norma
masyarakat. Hanya Dukuh Paruk saja yang membenarkan adanya ronggeng. Tetapi
masyarakat di luar Dukuh Paruk mengartikan ronggeng tidak lebih dari seorang
lonte, pelacur.
|
10.
|
Percintaan
|
Di sepanjang hidupnya,
Firdaus tidak pernah dengan serius mencintai seorang lelaki pun. Meski ia
pernah punya ‘rasa’ pada pamannya
|
Sejak kecil Srintil
mencintai Rasus. Hanya saja Dukuh Paruk memisahkan keduanya dengan alasan
Srintil mendapat indang ronggeng yang dianugerahkan pepunden mereka; Ki
Secamenggala.
|
11.
|
Alasan melacur
|
Terdorong faktor
memenuhi kebutuhan hidup. Ia juga mempunyai kekecewaan pada laki-laki. Sebagai
perempuan, ia mendapatkan ketidakadilan dari lelaki, di dalam peng-‘lihat’-annya,
mengapa lelaki lebih tinggi ‘martabatnya’ dibandingkan dengan perempuan.
|
Awalnya Srintil tidak
mengerti apa itu ronggeng, ia hanya tahu bahwa dirinya suka menari. Tetapi
Dukuh Paruk mengatakan bahwa ia telah mendapat indang ronggeng dan harus segera ditahbiskan sebagai ronggeng
yang benar-benar nyata. Kemiskinan dan kebodohan juga menjadi faktor
pendorong ia melacur; memenuhi kebutuhan hidup.
|
Dari tabel di atas, penulis sertakan kutipan yang mendukung analisis
penulis mengenai persamaan dan perbedaan Ronggeng
Dukuh Paruk (RDP) dan Perempuan Di
Titik Nol (PDTN) sesuai nomor urut di dalam kolom sebagai berikut:
1. Cara melepas keperawanan
a) PDTN : …Ia menyuruh saya tiduran di atas tumpukan
jerami, dan mengangkat galabeya saya.
Kami bermain-main menjadi ‘pengantin perempuan dan pengantin laki-laki’. Dari
bagian tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu pasti, timbul suatu
perasaan nikmat luat biasa…(hal.
19)
b)
RDP : …Dan sebuah
perilaku primitif memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan
hadirnya Emak saat itu tak muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri
yang turun tangan mengguruiku dan Srintil boleh jadi Srintil merasakan sesuatu
yang menyenangkan. Tetapi entahlah, aku hanya merasa telah memperoleh sebuah
pengalaman yang aneh (hal. 76).
2.
Cara yang
digunakan untuk melacur (menjajakan diri)
a)
PDTN : Ketika
saya telah tiba pada salah satu jalan utama, hujan masih tetap turun di atas
kepala saya…(hal 90-91) …Kemudian seorang lelaki ke
luar dan dengan cepatnya memutari mobil, membuka pintu pada sisi dekat saya,
sambil membungkuk sedikit kemudian dengan sangat sopan berkata: “Silakan masuk
ke dalam supaya tidak kehujanan” (hal.
91)
b)
RDP : …Srintil merasa
sedang mnari di hadapan satu orang…(hal.
216, par. 3) …Tepat ketika
tangan Waras menempel di pipi Srintil, mulut Sakum meruncing: “ciusssss”
(hal. 216, par. 4).
3.
Perantara
pelacur (germo/mucikari)
a)
PDTN : Menjadi
orang baru di tangan Sharifa. Dia membuka mata saya menghadapi kehidupan,
menghadapi peristiwa-peristiwa di masa lalu, dalam masa kecil saya, yang tetap
tersembunyi bagi pikiran saya (hal.
78-79).
b)
RDP : Sementara itu
suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling banyak tahu
segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta
statusnya sebagai dasar mata pencaharian. Dari ongkos pentas mereka mengambil
bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil.
Dan keuntungan lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja manakala
mereka sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil
dan ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantara Nyai
Kartareja…(hal. 140)
4.
Seting sosial budaya dan agama
a)
PDTN : Setiap
Jumat pagi ia akan mengenakan sebuah galabeya yang bersih san menuju mesjid
untuk menghadiri shalat berjemaah mingguan…(hal. 17).
b)
RDP : …Dukuh Paruk
hanya lengkap bila di sana
ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah-serapah, dan ada
ronggeng bersama perangkat calungnya…(hal. 15).
5.
Penokohan
a)
PDTN : …Saya
selalu merawat rambut saya di tempat penata rambut yang biasanya melayani para
wanita dari kalangan atas masyarakat. Warna lipstick yang saya pilih selalu
yang ‘alamiah dan serius’ sedemikian rupa sehingga tidak menyembunyikan ataupun
menitikberatkan daya tarik yang menggiurkan dari bibir saya. Garis-garis yang
dibuat dengan keahlian cermat sekitar mata saya memperlihatkan suatu kombinasi
tepat dari daya tarik dan penolakan, yang biasa disukai para isteri kaum pria
berkedudukan tinggi dari kalangan penguasa…(hal. 17)
b)
RDP : …Lima atau enam bulan sejak
kepulangannya dari keterasingan mata Srintil mulai hidup, kulitnya mulai hidup,
dan wajahnya mulai hidup…(hal.
284).
6.
Puncak
konflik yang merubah kehidupan tokoh
a)
PDTN : …Saya
angkat pisau itu dan menancapkannya dalam-dalam di lehernya, lalu mencabutnya
kembali, dan menusukkannya dalam-dalam ke dadanya, emncabutnya ke luar dan
menusukkannya ke perutnya. Saya tusukkan pisau itu ke hampir semua tubuhnya…(hal. 139).
b)
RDP : …Dini hari
ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh Paruk menyala,
menyala. Api menggunung membakar Dikuh Paruk…(hal. 242).
7.
Konsekuensi
yang diterima tokoh
a)
PDTN : Dokter
penjara, seorang laki-laki, menceritakan kepada saya bahwa wanita ini telah
dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-laki…(hal. 3)…Mereka
mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke
penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuah kamar yang pintu
dan jendelanya selalu tertutup…(hal.
146).
b)
RDP : …Srintil kami
papah masuk, langsung ke bangsal perawatan penyakit jiwa…(hal. 402).
8.
Ukuran
kewibawaan
a)
PDTN : Saya
bertahan dan berkata “Tidak” … (hal.
142). “Kau tidak
dapat membayar hargaku, terlalu tinggi” (hal. 143).
b)
RDP :
“Jadi sampean sekarang tidak meronggeng lagi?”
“Tidak.”
“Ah, kenapa?”
“Tidak. Tidak.”
“ya, tetapi mengapa?”
“Pokoknya tidak” (hal. 317)
Ti..dak. kata-kata itu
berulang-ulang dalam hati Tamir. Tidak. Menurut pengalaman anak Jakarta itu, bila
perempuan sudah berkata tidak, dan hanya tidak, maka susah…(hal. 318).
9.
Penyesalan
tokoh
a)
PDTN : …Saya
tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan
bermacam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik
daripada seorang pelacur yang murahan. Saya pun tahu, bahwa apabila saya
kehilangan pekerjaan, apa yang hilang itu hanyalah gaji iyang kecilnya
menyebalkan, hukuman yang sanksiny saya dapat baca tiap hari…(hal. 110-111).
b)
RDP : “Oalah, Nyai.
Mereka tidak salah. Semua orang tidak salah. Akulah tempat segala kesalahan
hidup. Jadi akulah yang harus tahu diri. Semua orang menuntut aku tidak banyak
tingkah karena hal itu tidak mereka sukai. Berbuat sesuatu yang tidak mereka
sukai samalah artinya dengan melakukan kesalahan. Nyai tahu apa yang akan
kutanggung bila aku dianggap kembali berbuat salah?” (hal. 288)
10.
Percintaan
a)
PDTN : Menyadari
kenyataan bahwa sebenarnya saya membenci lelaki, tetapi bertahun-tahun lamanya
telah menyembunyikan rahasia ini dengan sangat hati-hati. Lelaki yang paling
saya benci adalah mereka yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya
bahwa mereka ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani…(hal. 128-129).
b)
RDP : …Mereka hanya
tahu Srintil jatuh hati kepada Rasus dan bertepuk sebelah tangan…(hal. 141).
11. Alasan melacur
a)
PDTN : …Saya
tidak mau kembali kepada kehidupann yang lalu bagaimanapun beratnya siksaan dan
penderitaan yang harus saya alami, sekalipun saya tahu lapar dingin, serta
kemelaratan luar biasa…(hal. 105).
b)
RDP : …Kehidupan di sana terpelihara secara
lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka puas hanya menjadi
buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada sedikit panen,
minuman keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan tembang ronggeng
meninabobokan Dukuh Paruk…(hal.
86).
***
Kedua novel ini mempunyai alur yang sama-sama flashback. Pengarang
menampilkan sosok ke-akua-an yang kental. Di awal cerita ‘aku’ memaparkan
pengalamannya dengan tokoh sentral, kemudian ‘aku’ menceritakan kehidupan tokoh
sentral dan pada akhir cerita ‘aku’ menutup ceritanya dengan kesimpulan apa
yang akan dilakukannya, serta tokoh ‘aku’ mengenang apa yang telah terjadi
dengan kehidupan tokoh sentral.
Misalnya saja Rasus yang mengenang kejadian masa lalu mengenai
keronggengan Srintil. Kemudian ia meyadari ‘lamunan’nya tersebut dan bertindak
sesuai dengan masa kini. Tetapi Rasus tetap saja memaparkan slide-slide
ingatannya itu sebagai suatu ingatan dalam kenangan. Cerita yang dibagi untuk
semua orang yang ingin mendengarkan ceritanya. Seperti pendongeng yang sedang
berdongeng.
Tokoh ‘aku’ yang berprofesi sebagai dokter pun sama seperti Rasus. Ia
menceritakan kejadian yang dialami oleh seorang narapidana mati bernama
Firdaus. Suatu kejadian yang ditemui dan dialaminya itu dibagi dan diceritakan
kepada setiap orang yang tertarik menikmati lika-liku ceritanya. Penulis
menyimpulkan bahwa kedua novel tersebut dapat juga dikatakan sebagai novel yang
ingin ‘berbicara’ kepada banyak orang mengenai pengalaman dan realitas
kehidupan.
Penulis juga mendapatkan ke-aku-an yang digunakan pengarang untuk
mempermudah seseorang memahami tokoh dan penokohan serta ‘lakon’ apa yang sedang dimainkan. Hanya saja di beberapa penggal
cerita (tapi cukup banyak juga) dijumpai ‘aku’ seperti sedang berada di luar
cerita dan berperan sebagai tukang dongeng saja, seakan tidak terlibat di dalam
cerita.
Mengenai teknik penceritaan, Ahmad Tohari dan Nawal el-Saadawi cenderung ke
arah deskriptif-naratif. Hanya saja Ahmad Tohari lebih bernuansa pedesaan yang
khas, yang lebih dekat akan suasana alam dan kehidupan tradisionalnya; termasuk
kepelacuran yang berada di dalamnya. Sedangkan Nawal el-Saadawi banyak sekali
mengungkap segi-segi pribadi personal maupun sosial mengenai pelacur itu
sendiri.
Penulis juga melakukan analisa bahwa kedua novel ini dengan halus (meski kadang
bahasanya lugas) sekali mengungkapkan kebanyakan hidup dan kehidupan perempuan
di muka bumi seperti berikut:
a)
Adanya kekerasan terhadap perempuan di muka bumi datang
dari lelaki
b) Kerasnya
kehidupan pelacur menghadapi kebutuhan ekonomi dan ‘berhubungan’ dengan dunia
politik, sosial, budaya masyarakat serta hokum/norma yang berlaku di masyarakat
c) Patrilinel yang
ternyata telah menciptakan dunia kepelacuran. Karena kehidupan patriarki banyak
mengesampingkan hak-hak perempuan sehingga terciptalah ketidakadilan yang
banyak dialami pihak perempuan
d) Hegemoni lelaki
terhadap perempuan yang selama ini tidak disadari (karena sudah merupakan
kebiasaan yang ‘dekat’ sekali dengan kehidupan sehari-hari) dan tidak ada yang
begitu berani menentang serta merombaknya.
e) Kebobrokan moral
bertameng moralitas yang luhur, yang biasanya berlindung di bawah agama dan
kepercayaan. Budaya dan religi masyarakat ternyata (dan pada kehidupan real-nya)
yang menjadi tameng seseorang untuk mendapatkan apa yang dikehendaki; seperti
keudukan yang lebih tinggi dari seorang lelaki terhadap perempuan (sering
memanfaatkan dalil untuk mengintimidasi hak perempuan). Hal ini pula yang juga
menjadi ‘tangan’ pembuat adanya dunia prostitusi.
f) Akar dari
‘kegagalan’ dalam hidup terutama karena faktor kemiskinan dan kebodohan.
End
Kiranya terlalu dini jika kita
menyimpulkan salah atau benar dengan apa dan siapa yang disebut pelacur itu.
Kenapa kita kebanyakan bahkan mungkin
selalu beranggapan bahwa pelacur/orang yang melacur itu salah?
Apa lantaran mereka merusak rumah
tangga orang?
Saya tidak menyalahkan atau mendukung
pelacur, karena di dalam agama dijelaskan barangsiapa yang berzina maka ia
berdosa (dan saya tidak bisa mengingkari bahwa pelacur itu berzina). Maski
begitu saya tidak mempunyai hak memvonis salah atau benar.
Tapi yang menjadi pertanyaan saya:
apakah hanya pelacur saja yang berzina?
Apakah seseorang, misalnya istri Sekdes berzina (kerapkali kita menyebutnya
selingkuh) dengan kades bisa disebut pelacur?
Apakah pelacur identik dengan
berhubungan seks dengan banyak lelaki?
Saya sama sekali tidak membenarkan
perebut suami orang dan ayah bagi anak-anaknya (meski ia terpelajar/kaya dsb),
tetapi apakah seorang pelacur (yang biasanya diidentikkan perusak RT orang)
saja yang harus bertanggungjawab untuk itu semua?
Lalu sebutan apa yang kita gunakan
untuk diri seseorang yang berkali-kali berhubungan badan dengan seorang lelaki
(dengan alasan cinta atau sayang) dan mungkin dengan lelaki lain lagi dengan
alasan yang sama sebelum keduanya menikah? Dan ini banyak sekali terjadi di
antara kita, para siswa SMA atau kita sendiri: para mahasiswa (atau bahkan diri
kita sendiri secara pribadi).
Bukankah hal itu zina?
Kalau dikatakan itu hak asasi, maka
pelacur pun punya hak asasi yang sama sebagai manusia (laiknya kita). Lalu
kenapa kita menyebut pelacur pada mereka padahal diri sendiri yang berzina
tidak mau disebut pelacur?
Di sinilah kiranya kita diuji dalam
menahan diri, bertoleransi, dan tidak menganggap bahwa diri sendiri lebih dari
mereka.
Kalau pelacur harga dirinya ditentukan
oleh apa dan seberapa ia dibayar, lalu apa yang menjadi ukuran harga diri
seseorang yang berhubungan seks dengan lelaki (dengan alasan cinta atau suka
sama suka) sebelum keduanya menikah?
Lalu kenapa pelacur sepertinya hanya
diperuntukkan bagi seorang perempuan?
Lalu laki-laki yang suka melayani
tante-tante kesepian sebutan apa yang patut untuk mereka? Gigolo? Ah, terlalu
sederhana dan tidak semenyakitkan ketika perempuan disebut pelacur, lonte, atau
gembrik!
No comments:
Post a Comment