2.1 KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka menyajikan
penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian, penelitian-penelitian
tersebut diantaranya,
Aryanto (2003), Prabawani (2005), Fatimah (2008), Andini (2010), Novita Sari (2012), dapat diuraikan sebagai
berikut.
Penelitian
dengan judul “ Aspek Moral dalam Kumpulan Cerpen Sayap Anjing karya
Triyanto Triwikromo : Tinjauan Semiotik”, yang dilakukan oleh Aryanto (2003) di
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitiannya meliputi (1) Perilaku
kekerasan anak disebabkan kekurangan perhatian orang tua terhadap anak dalam
menonton tayangan kekerasan di televisi, (2) Perbuatan manusia yang meliputi
batas adat atau tradisi akan mendapat
kesengsaraan, (3) Kesabaran dalam menghadapi
musibah, (4) Krisis kemanusiaan, (5) Tindakan manusia yang memaksakan
kehendak akan menyebabkan penderitaan, (6) Krisis kepedulian sosial. Dalam peneletian ini sangat berbeda
dengan penelitian yang dilakukan penulis, selain menggunanakan teori Semiotika
juga menggunakan teori Psikologi sastra. Dan dilihat dari hasilnya lebih
menekankan dari segi psikologis, sedangkan untuk segi kesamaan antara
penelitian yang berjudul Aspek Moral dalam
Kumpulan Cerpen Sayap Anjing karya Triyanto Triwikromo dengan penelitian Kesesuaian makna
gambar ilustrasi dengan makna teks cerpen yaitu keduanya menggunakan teori
Semiotika yang memanfaatkan tanda-tanda untuk mengindentifikasi sesuatu yang
terdapat dalam karya sastra.
Penelitian
dengan judul “ Aspek Moral dalam Cerita Banjaran Karna Versi Ki
Nartosabdo : Analisis Semiotik”, yang dilakukan oleh Prabawani (2005) di
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitiannya adalah aspek moral
dalam Cerita Banjaran Karna Versi Ki Nartosabdo meliputi aspek sikap
ksatria Bawalaksana (Sabdo Pandeta Ratu), aspek kesetian, aspek
nasionalisme dan patriotisme. Aspek sikap ksatria Bawalaksana (Sabdo Pandeta
Ratau) dicerminkan sikap Karna pada saat ditemui Prabu Kresna tentang
keberpihakannya apabila terjadi perang Bharatayudha, Karna menjawab dengan
tegas akan tetap memihak pada Kurawa, bahkan berharap Bharatayudha harus
terjadi. Dalam aspek kesetian digambarkan sikap Karna dalam menjujung tinggi
aturan atau hukum. Aspek nasionalisme dan
patriotisme yaitu pada sikap lahiriah Karna tanpa ragu untuk tetap memihak dan
menyatu dengan para Kurawa, meskipun batinnya tetap memihak Pandawa.
Dilihat dari hasil penelitian yang
menganalisis dari segi tokoh dan amanat yang hendak disampaikan oleh pembaca,
sehingga apabila disamakan dengan penulis lakukan yaitu memiliki kesamaan yaitu
menggunakan pendekatannya dengan teori semiotika, sedangkan perbedaannya yaitu
dalam penelitian yang dilakukan Prabawani lebih kehasil setelah membaca yaitu
aspek moral yang hendak disampaikan pengarang sedangkan dalam penelitian ini
penulis menekankan apakah antara teks cerita cerpen dengan gambar ilustrasi
pada cerpen bisa saling menerangkan atau koheren.
Fatimah (2008) “Relasi Gambar Ilustrasi dengan Teks Puisi Didalam Kumpulan Puisi Air
Kata-kata Sindhunatha ” memaparkan bahwa
terdapat relasi antara gambar ilustrasi dengan teks puisi di dalam kumpulan
puisi Air Kata Kata karya Sindhunata.
Relasi (hubungan) atau pertalian (timbal balik) antara gambar ilustrasi dengan
teks puisi merupakan relasi yang bersifat perlambang atau simbolis (hubungan
kemaknaan). Hubungan kemaknaan (relasi simbolis) dapat ditunjukkan oleh
keterikatan dan keterkaitan simbol-simbol yang muncul di antara keduanya (baik
gambar maupun teks puisi). Relasi simbolis tersebut sekaligus dapat menunjukkan
fungsi gambar ilustrasi di dalam teks puisi melalui keterikatan dan keterkaitan
keduanya. Dapat diketahui bahwa gambar ilustrasi
selain digunakan sebagai viasualisasi data masing-masing individu dan budaya
secara keseluruhan membuat pikiran-beberapa di antaranya dengan sadar, beberapa
yang lain tanpa disadari-mengenai aspek-aspek dari pengalaman suatu fenomena
yang dapat atau yang harus diungkapkan, kaitannya dengan puisi, juga dapat
berfungsi sebagai visualisasi teks puisi, media mempermudah pemahaman (pembaca)
terhadap puisi, dan dapat digunakan sebagai stimulasi (yang berguna untuk
menarik/merangsang) minat baca seseorang terhadap karya sastra, khususnya
puisi.
Penelitian yang
dilakukan Fatimah dengan penelitian yang akan
dilakukan penulis, dapat dikatakan bahwa sama,
dari hubungan pertalian antara gambar ilustrasi dengan teks puisi, akan tetapi
hal yang mebedakan dari keduanya yaitu objek. Pada umumnya teori ini hanya sering
dilakukan dengan objek kajiannya puisi, namun dalam hal ini penulis menjadikan
cerpen sebagai objek yang hendak diteliti.
Penelitian
yang berjudul Analisis Syair Kembang dan Melati yang dilakukan Sherli Andini
Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (2010), memaparkan
hasil yaitu dalam penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam naskah berjenis fabel, dapat dilihat melaui
cara penceritaannya yang berbentuk syair prosa romantik karena penokohan dalan
teks diperankan oleh binatang khususnya tokoh Kumbang sebagai laki-laki dan
Melati sebagai perempuan. Kemudian terdapat beberapa teladan dari kandungan
teks yang dapat diambil dan dilakukan oleh manusia sebagai mahluk sosial dalam
bersosialisasi.
Teks SKM
dianalisis menggunakan teori semiotik Pendekatan semiotik yang akan dipakai
adalah semiotik model Michael Riffaterre, bahwa dalam memahami makna harus
diawali dengan pembacaan semiotik yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan
hermeneutik. Pada tahap pembacaan semiotika tingkat pertama (heuristik)
membuahkan sebuah heterogenitas yang takgramatikal, tidak padu, tidak ada
kepaduan antara baris demi baris atau larik demi larik. Akan tetapi, setelah
diadakan pembacaan yang lebih jauh melalui pembacaan semiotika tingkat kedua
(hermeneutik) diperoleh sebuah makna yang padu tentang isi, dan tujuan dari
setiap pembacaan teks SKM
Secara
keseluruhan, makna yag terkandung dalam teks SKM adalah sikap rendah diri, gambaran seorang
lelaki yang disimbolkan oleh Kumbang, gambaran perempuan yang disimbolkan oleh
Melati, sikap jatuh cinta kepada lawan jenis (kasmaran), sifat pemalu, menjalankan
amanah, serta nasehat.
Penelitian-penelitian
diatas dapat menjadi bahan acuan untuk meneliti tentang ”Kesesuaian Makna
Antara Gambar Ilustrasi dengan Cerpen” agar menghasilkan sebuah hasil yang bisa
dibanggakan.
Dari penelitian ini yang mempunyai kesamaan dengan penulis lakukan yaitu
sama-sama menggunakan teori semiotika, akan tetapi ada hal yang membedakan dari
kedua penelitian itu yaitu SKM hanya melihat tanda didalam teksnya,
tanpa melibatkan karya sastra lain didalamnya, akan tetapi dalam penelitian
yang berjudul Kesesuaian Makna Gambar Ilustrasi dengan Makna Teks Cerpen,
menggabungkan dua karya sastra, apakah dari keduanya saling menerangkan satu
sama lain dan dapat dikatakan koheren. Hal ini dilakukan dengan cara
mengidentifikasi tanda-tanda dalam gambar ilustrasi dan mengidentifikasi
tanda-tanda didalam teks cerpen.
Penelitian
yang berjudul “ Analisis Struktural Semiotik Cerpen “Shurohul Qubur” Karya
Jubran Kholil jibran, yang dilakukan Novitasari Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Malang (2012),
hasil penelitiannya adalah dari segi struktural yaitu :(1)Tema dalam cerpen ini
tentang ketidakdilan seorang raja, (2) plot yang digunakan adalah plot maju
mundur dan dapat disimpulkan bahwa plot dalam cerpen ini lengkap karena terdiri
dari tiga tahap yaitu tahap penghukuman, tahap kejadian masalah, dan tahap
penyelesaian, (3) tokoh dan penokohan. Dalam cerpen SQ ini terdapat tokoh utama
yang diperankan oleh “aku”, tokoh tambahan yang diperankan oleh raja, menteri,
dan prajurit, tokoh amdalan yang diperankan oleh si pembunuh, pezina, dan
pencuri, tokoh figuran yang diperankan oleh tunangan si pembunuh, pemudah
berjubah, istri si pencuri, suami si pezina, dan pendeta, (4) Setting dalam
cerpen SQ ini istana, ruang pengadilan, penjara, kota, ujung lembah, biara, dan
kebun atau ladang, (5) Sudut pandang dalam cerpen SQ ini adalah “aku” sebagai
sudut pandang person pertama atau tokoh utama (6) gaya bahasa yang dipakai
dalam cerpen SQ ini adalah dengan menggunakan kajian balagahah yang menggunakan
unsur majaz. (7) amanat dalam cerpen SQ ini adalah para pemimpin hendaknya
jangan semena-mena dalam menjatuhkan hukuman tanpa didasari kejelasan dan
kejadian yang sebenarnya.
Dalam penelitian ini kalau dibandingkan dengan
penelitian yang penulis akan lakukan yaitu sama-sama menggunakan pendekatan
dengan teori semiotika sedangkan perbedaannya yaitu dalam penilitian diatas
lebih menekan pada kajian strukturalisme sedangkan penulis lebih menekankan antara teks cerpen dengan
gambar ilustrasi pada cerpen bisa saling menerangkan atau bisa dikatakan
koheren
2.1 Landasan Teoretis
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
meliputi hakikat cerpen, definisi gambar ilustrasi, fungsi gambar ilustrasi,
dan hakikat semiotika.
2.2.1 Hakikat Cerpen
Cerpen memiliki
banyak makna, hal ini sudah penulis kumpulkan menjadi satu, data ini diperoleh dari
berbagai sumber mengenai hakikat cerpen, diantaranya seperti KBBI 2004, Cerpen
merupakan cerita pendek, sedangkan Hendy 1991: 184 mengatakan bahwa Cerpen merupakan
cerita pendek yang mengandung kisah tunggal.
J. S. Badudu 1975: 53, menuturkan bahwa Cerpen merupakan cerita yang menjurus dan konsentrasi
berpusat pada satu peristiwa, yaitu peristiwa yang menumbuhkan peristiwa itu
sendiri, lain halnya dengan, Nugroho Notosusanto 1984: 176, yang
mengartikan cerpen adalah
sebuah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira - kira 17 halaman
kuarto spasi rangkap, yang berpusat dan lengkap pada dirinya sendiri
2.2.2 Definisi Gambar Ilustrasi
Menurut Sanyoto (dalam
Subrata 1994:7) gambar adalah tiruan yang menyerupai suatu wujud (orang,
binatang, alam, tumbuh-tumbuhan) yang dibuat dengan alat-alat gambar. Hal ini
dapat dipahami sebab menggambar merupakan suatu kegiatan berekspresi yang tidak
sekadar menorehkan garis dan warna pada permukaan bidang dwimatra (dua dimensi)
melainkan sebagai keinginan menuangkan dorongan hati.
Gambar (Simon 2004:1)
merupakan sesuatu yang erat dan alami, yang ada hubungan dengan salah satu
keinginan manusia. Melalui gambar manusia ingin mengekspresikan diri, pola
pikir, dan emosi-emosinya. Gambar sebagai bentuk pernyataan isi jiwa yang tidak
dapat diabaikan. Menggambar pada
hakikatnya menuangkan bayangan yang dimunculkan benak seseorang sebagai
pengungkapan kembali sesuatu yang pernah dikenal sebelumnya. Atau juga hasil
pengamatan seketika terhadap objek yang dihadapi (Sumarna 2003:7).
Pengertian gambar dalam
bentuk skets harap dibedakan dengan sketsa atau skets. Skets dalam arti langkah
awal corat-coret sebelum gambar itu disempurnakan, yaitu coretan-coretan berupa
garis besar untuk membentuk apa yang kita gambar. Sementara itu, gambar sketsa
adalah coretan gambar yang sudah jadi dalam bentuk coretan garis (Sumarna
2003:65).
Menurut Garha (1980:21) menggambar dibedakan menjadi
lima jenis, yaitu: (1) menggambar bentuk, (2) menggambar ilustratif, (3)
menggambar konstruktif, (4) menggambar dekoratif, dan (5) menggambar ekspresif.
Menggambar bentuk adalah menggambarkan bentuk model
tunggal maupun model ganda. Dalam menggambar bentuk model langsung menggunakan
alat peraga. Misalnya vas bunga, gelas, botol, cangkir, dan sebagainya. Alat
peraga tersebut diletakkan di depan kelas atau di atas meja. Kemudian seseorang
menggambar objek tersebut dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Menggambar ilustratif adalah gambaran yang sifatnya
menjelaskan atau merupakan suatu visualisasi dari suatu cerita.
Menggambar konstruktif adalah menggambar yang
menjelaskan tentang bentuk konstruksi atau cara bagian-bagian komponen yang
membangun suatu benda.
Menggambar dekoratif adalah menggambar bentuk alam
yang distilir. Pengertian stilir adalah mengekspresikan sesuatu menjadi bentuk
baru tanpa meninggalkan bentuk dasar.
Menggambar ekspresif adalah menggambar dengan memberi
kelonggaran pada gerak ekspresi penikmatnya atau curahan hati seseorang.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ilustrasi ialah gambar
(lukisan, foto) untuk memperjelas isi buku, karangan dan sebagainya; gambar,
desain, atau diagram untuk penghias (halaman sampul dan sebagainya); penjelasan
tambahan berupa contoh, bandingan, dan sebagainya untuk lebih memperjelas
paparan (tulisan dan sebagainya) (KBBI 2003:425). Apabila memperhatikan gambar-gambar ilustrasi
yang dijumpai pada media cetak, umumnya gambar-gambar itu menampilkan
coretan-coretan yang teliti, halus dan mendetail. Walau ada juga di dalam
bentuk sketsa-sketsa, vignet (bentuk hiasan dalam seni grafika dan arsitektur
yang diambil dari bentuk tumbuhan merambat, daun, dan sebagainya atau goresan
potret kecil pada bidang tepi sekeliling halaman buku), ataupun bentuk kartun (Sumarna,
2003:55).
Jadi, gambar ilustrasi adalah
gambaran yang sifatnya menjelaskan atau merupakan suatu visualisasi dari
suatu cerita, untuk memperjelas isi buku, karangan,
penghias halaman sampul, dan sebagainya yang bertujuan untuk menjelaskan dan
merangsang daya tarik bagi si pembaca serta memvisualkan tulisan (setting atau
cerita) pada bagian tertentu.
2.2.3 Fungsi Gambar Ilustrasi
Ilustrasi sering dipakai pada
banyak tulisan. Misalnya untuk pengetahuan umum, cerita fiktif, atau
brosur-brosur dan tulisan lainnya. Coretan gambarnya dibuat untuk menjelaskan
dan merangsang daya tarik bagi si pembaca serta memvisualkan tulisan pada
bagian tertentu. Ilustrasi ini membuat menarik setting atau cerita (Sumarna
2003:56).
Di Indonesia, terutama pada
masa Hindia-Belanda ilustrasi berperan penting dalam tulisan dan iklan di media
cetak. Perannya menegaskan isi tulisan karena umumnya eksak, seperti objek. Bila
dalam gambar ilustrasi menggambar itu hanya menuangkan beberapa pilihan setting
cerita atau menggambarkan judul saja, maka pada komik (dibandingkan dengan
komik sebagai bahan pembeda saja), kumpulan ilustrasi itu menampilkan kumpulan
gambar dalam suatu alur cerita dari awal hingga akhir. Sehingga komik ini
diterjemahkan sebagai cergam (cerita bergambar). Cerita sejak awal sampul buku
hingga halaman terakhir dituangkan dalam bentuk kumpulan gambar. Antara gambar
pertama terus kait mengait satu dengan lainnya, bagai untaian rantai sambung
menyambung (Sumarna 2003:149).
Menggambar ilustratif
akhirnya lebih diarahkan kepada pembentukan gambar bertema atau gambar adegan
yang menggambarkan bagian dari suatu peristiwa. Fungsi utama gambar ilustratif ialah memberi kejelasan
kepada suatu pernyataan yang disampaikan secara tertulis. Sehubungan dengan
fungsinya untuk memberi kejelasan, maka pembuatan gambar yang demikian memang
memerlukan persyaratan yang lebih banyak daripada gambar-gambar yang pernah
dibuat (Garha 1982:30).
Pertama-tama agar tema atau
adegan yang ditampilkan pada gambar cukup jelas, maka harus mampu menampilkan
suasana pada gambar-gambar yang dibuat. Secara teknis bentuk dan jenis
goresannya menggugah suasana yang menyaran (sugestif) (Garha 1982:30).
Sekalipun kumpulan goresan
pada gambar tidak menunjukkan suatu tema, namun bentuknya serta arah goresannya
memberi pengaruh khusus kepada penikmatnya. Karena mempunyai pengaruh demikian,
maka arah goresan dan arah bentuknya dapat dianut untuk menguatkan suasana
gambar yang dibuat (Garha 1982:30).
Secara perasaan tema yang
akan ditampilkan dalam gambar harus benar-benar dihayati. Sebaiknya demikian
kuat penghayatannya sehingga seakan-akan terlibat dalam tema yang akan
digambarkan. Umpamanya seakan-akan merasa menjadi salah satu tokoh dari tema
yang akan ditampilkan dalam bentuk gambar (Garha 1982:30-31).
Bentuk ungkapan menggambar
ilustratif sebaiknya berupa suatu ungkapan baik secara tertulis maupun secara
lisan yang merupakan petikan dari sebuah lakon atau cerita (Garha 1982: 30-31).
Untuk bisa menggambar, harus bisa merasakan. Pendekatan dengan cara perasaan
ini sudah tidak merupakan hal baru lagi dalam soal gambar-menggambar (Simon
2004:3).
Telah ada suatu waktu, bahwa
tiap-tiap penggambar atau tukang gambar dalam mengerjakannya menurut perasaan
dan pemandangannya sendiri. Untuk dapat membaca suatu gambar atau dengan
perkataan lain, untuk dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh tukang gambar,
orang harus faham tentang cara menggambar dari tiap-tiap tukang gambar (Heij
Dan dan Bruijn 1999:1).
Oleh karena gambar-gambar itu
kebanyakan hanya berputar dalam lingkungan ruangan kecil saja maka pembaca bisa
mendapatkan pelajaran tentang tanda-tanda istimewa dalam cara berfikir oleh
tiap-tiap tukang gambar atau perupa (Heij Dan dan Bruijn 1999:1).
Melalui pengamatan
terus-menerus kita mengumpulkan data dari pengalaman tersebut yang kemudian
dimanipulasi dan diproses otak kita untuk membentuk pengertian atau persepsi
mengenai dunia visual (Montague 2001:1). Kesan mental dunia visual ini tidak
akan pernah dapat dibuat dan korespondensi satu-satu yang tepat dengan apa yang
dialami.
Persepsi bersifat menyeluruh;
terbentuk dari semua informasi yang dimiliki sehubungan dengan fenomena tidak
sekedar penampilan visual dari pandangan tertentu saja. Ketika memandang sebuah
objek atau pemandangan dirasakan salah satu informasi persepsi ini sekaligus warna,
asosiasi nilai-nilai simbolis, bentuk dasar dan makna yang tak terbatas.
Jadi, persepsi mengenai
bahkan terhadap objek yang sederhana seperti sebuah meja tidak mungkin
diungkapkan dengan lengkap, ekspresi pengalaman pembaca pasti terbatas dan
parsial yang berarti berhubungan atau merupakan bagian dari keseluruhan.
Pikiran kita mengenai sesuatu yang akan diungkapkan sangat dipengaruhi oleh
berbagai batasan baik yang ditentukan secara sadar maupun yang ditentukan oleh
budaya pembaca (Montague 2001:2).
Dalam mengungkapkan data
visual masing-masing individu dan budaya secara keseluruhan membuat pikiran beberapa
di antaranya dengan sadar, beberapa yang lain tanpa disadari mengenai
aspek-aspek dari pengalaman suatu fenomena yang dapat atau yang harus
diungkapkan (Montague 2001:3).
Para pekria selalu
menggunakan gambar untuk membantu mengeluarkan gagasannya jika harus membuat
perubahan dalam proses yang sinambung tentang pemasangan berbagai pekerjaan (Laseau
1986:5a). Hal ini menunjukkan bahwa gambar merupakan hasil ide atau gagasan
(pemikiran) untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang di dalam kehidupannya.
Foerster (dalam Laseau 1986:7)
menyatakan bahwa “…bahasa gambar (entah
untuk ilustrasi maupun dunia arsitektur) merupakan bahasa tersirat karena
maksudnya untuk memulai penafsiran”. Ruang arsitektur tercipta melahirkan
daya cipta, wawasan baru dan pikiran baru. Ruang seperti itu merupakan
katalisator bagi pikiran. Demikian pula di bidang gambar ilustrasi. Ilustrasi saat
ini adalah representasi fantasi dari objek yang melalui gambar maupun tulisan
di dalamnya, mengiringi maupun menggiring pembaca pada imajinasi yang jauh
lebih bebas dibandingkan dengan fotografi. Menjelang abad ke dua puluh satu
(ke-21) kesanggupan komunikasi rupanya diuji. Dua perkara yang terpenting yang
kita hadapi ialah banjir informasi yang harus kita serap dan meningkatnya
kait-mengait berbagai persoalan yang harus kita pecahkan (Laseau 1986:6).
Kini pengertian yang lebih
luas tentang cara merancang itu terjadi pada suatu gambar biasanya masih tetap
dianggap sebagai hasil sebuah gagasan; tujuannya untuk menjelaskan kepada orang
lain hasil pemikiran seseorang, kesimpulan seseorang (Laseau 1986:14). Gambar
ilustrasi, hubungannya dengan naskah cerpen, dapat dikatakan sebagai salah satu
alternatif yang dapat mewakili makna yang dikandung sebuah kalimat sekaligus
dapat menggiring pembaca pada maksud yang ingin disampaikan pengarang melalui
karya ciptaannya. Hal ini dianggap penting mengingat adanya sebuah kalimat yang
pemahaman dan cara penikmatannya memerlukan pemikiran yang lebih mendalam,
serta tidak dapat dipahami maksud dari cerpen tersebut hanya dengan sekali
baca.
Dengan begitu dapat diketahui
bahwa gambar ilustrasi selain digunakan sebagai viasualisasi data masing-masing
individu dan budaya secara keseluruhan membuat pikiran beberapa
di antaranya dengan sadar, beberapa yang lain tanpa disadari mengenai
aspek-aspek dari pengalaman suatu fenomena yang dapat atau yang harus
diungkapkan, kaitannya dengan cerpen, juga dapat
berfungsi sebagai visualisasi teks naskah cerpen, media mempermudah pemahaman
(pembaca) terhadap, membantu penafsiran atau interpretasi pembaca (gambar dapat
membantu pembaca dalam hal memahami maksud yang ingin disampaikan pengarang
melalui karyanya), dan dapat digunakan sebagai stimulasi (yang berguna untuk
menarik/merangsang) minat baca seseorang terhadap karya sastra.
2.2.4 Teori Semiotika
Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dalam
kehidupan manusia, semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti
tanda, Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda,
yakn sesuatu yang harus diberi makna. Perangkat teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia(Barthes
1957:13). Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ferdinand de Saussure mendefinisikan
semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.
Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat
menyandarkan dirinya pada aturan main (rule)
atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat
sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Pada awalnya semiotik
merupakan ilmu yang mempelajari setiap sistem tanda yang digunakan dalam
masyarakat manusia. Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang
hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama
(tidak saling mempengaruhi). Semiotik memandang objek-objek atau laku-laku
sebagai parole (laku tuturan) dari
suatu langue (bahasa: system linguistic) yang mendasari “tata
bahasanya” harus dianalisis, penelitian sastra dalam bentuk semiotik ini
peneliti harus menentukan kontras-kontras diantar satuan-satuan yang
menghasilkan arti (hubungan hubugan pradigmatik) dan aturan kombinasi yang
memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama –sama sebagai
pembentuk-pembentuk struktur makna yang lebih luas (hubungan-hubungan
sintagmatik).
Bahasa sebagai medium karya
sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan
yang mempunyai arti. Sebelum digunakan sebagai media dalam karya sastra, bahasa
(kata-kata) sudah merupakan lambang yang mempunyai arti, arti yang ditentukan
oleh konvensi masyarakat (sistem semiotik tingkat pertama). Bahasa dalam karya
sastra masuk dalam semiotik tingkat kedua (second
order semiotics).
Arti bahasa dalam karya
sastra ditentukan atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Sastra mempunyai
konvensi sendiri di samping konvensi bahasa. Pada karya sastra, arti kata-kata
(bahasa) ditentukan oleh konvensi sastra. Pradopo (1987:122) membedakan arti
bahasa dan arti sastra.
Arti bahasa dengan istilah
arti (meaning) dan makna (significant) untuk arti sastra. Meskipun
bahasa dalam sastra mempunyai konvensi sendiri, seorang sastrawan/penyair dalam
membentuk sistem dan makna dalam karya sastranya harus mempertimbangkan juga
konvensi bahasa. Jika konvensi bahasa sama sekali ditinggalkan, karyanya akan
sulit dimengerti oleh pembaca.
Menganalisis karya sastra
berdasarkan teori semiotik harus dimulai dengan menentukan konvensi-konvensi
yang dapat menunjukkan tanda-tanda atau struktur tanda dalam karya sastra itu
mempunyai makna. Hal tersebut disebabkan oleh adanya tanda-tanda yang tidak
begitu saja muncul, tetapi berdasarkan konvensi masyarakat penutur bahasa.
Sekali lagi disampaikan bahwa
tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna disebabkan oleh konvensi masyarakat.
Konsepsi semiotik pada intinya adalah memahami sepenuhnya karya sastra sebagai
struktur. Keterikatan struktur memperlihatkan ciri khas struktur sebagai sistem
tanda yang bermakna.
2.2.4.1
Tanda, Penanda dan
Ditandai
Secara
garis besar dalam teori semiotik semua orang dapat membedakan teori tentang
tanda yang bersifat dikotomis dan trikotomis (atau diadik dan triadik). Ferdinand de saussure menjelaskan “tanda” sebagai
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar
kertas, yaitu bidang penanda (signifier)
untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk
menjelaskan konsep atau makna. Saussure meletakkan tanda dalam konteks
komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang diwakili oleh
penanda yaitu artinya. Contohnya, kata ‘ayah’ merupakan tanda berupa satuan
bunyi yang menandai arti ‘orang tua laki-laki’. Berkaitan dengan proses
pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi
sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna
sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan
sosial di antara komunitas pengguna bahasa.
Sementara itu, seorang tokoh semiotik lain, Charles
Sanders Peirce (1839–1914) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut
Peirce, dalam pengertian tanda terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan
petanda (signified) atau yang
merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, tanda
terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan
simbol. Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat
alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara
penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan
alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat
arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotik yang fundamental.
Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena adanya
tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan.
Peirce melihat tanda dengan mata rantai tanda yang tumbuh.
Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain (qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan penanda + petanda = tanda realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsigns, secondness/overagainstness). Ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai”.
Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain (qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan penanda + petanda = tanda realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsigns, secondness/overagainstness). Ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai”.
Barthes
(1957) menggunakan teori signifiant-signifie
yang dikembangan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi, istilah signifiant menjadi ekspresi dan signifie menjadi isi. Akan tetapi
barthes mengatakan bahwa antara ekspresi dengan isi harus ada relasi yang dapat
membuat teori tentang tanda yang lebih mungkin berkembang, karena relasi relasi
ditetapkan oleh pemakai tanda. Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal
yang dikenal secara umum denotasi yang disebut sistem primer, sedangkan
pengembangannya disebut sistem sukender (Barthes 1957:45).
No comments:
Post a Comment