Lintang dan Awang hidup seperti pasangan yang baru menikah
lainnya. Mereka berdua semakin akrab dan saling pengertian satu sama lain.
Hubungan yang rupanya sudah terjalin membuat keduanya ada ikatan yang tak mudah
dilepaskan. Tampaknya Lintang adalah soulmate bagi Awang, begitu pula
sebaliknya.
Hingga suatu ketika prahara
mengguncang biduk rumah tangga keduanya. Lintang belum juga bisa hamil setelah
sekian lama menikah dengan Awang. Sedangkan Awang sendiri masih saja diliputi
oleh kebimbangannya dengan orang-orang yang menentang kemu’allafannya.
Kecemburuan Awang terhadap Niko
semakin bertambah apalagi mereka ada ikatan bisnis. Kegalauan Awang membuat
batinnya tertekan. Kemudian ia bertemu dengan Romo David yang sangat marah
melihat anak asuhannya di gereja menjadi pengkhianat iman Katolik.
Meskipun demikian Romo David tetap
menerima Awang seperti orang lain yang bertamu di rumahnya dan membantunya
dengan nasihat. Persis ketika Awang masih menjadi anak manis yang selalu
dikasihinya di gereja dulu. Bedanya hanya kini mereka telah berbeda prinsip.
Romo David memang marah pada Awang
karena murtad dari ajaran agama Katolik hanya untuk seorang perempuan bernama
Lintang. Amarahnya sedikit redam saat ia bertemu dengan Lintang. Wajah
berimannya mampu menepis prasangka-prasangka yang sempat singgah di benak
lelaki yang disucikan oleh jema’atnya itu. Cinta Awang dan Lintang yang banyak
mendapatkan tentangan relasi di gereja pun tak dihiraukan lagi. Tapi
ketidakhamilan Lintang membuat Awang stress. Hingga keduanya memutuskan untuk
mengadopsi anak. Indra namanya.
Masalah datang ketika Lintang tahu
kalau Indra adalah anak kandung Awang sendiri dengan Siska. Awang yang dulu pernah berhubungan jasmaniah
tanpa ia sadari, saat menerima undangan pesta ulang tahun Siska, telah
membuahkan bocah kecil bernama Indra itu. Tapi ibunya Siska tidak membenarkan
Siska ketika melabrak ke rumah Awang. Malah ibu kandung Siska menuduh anaknya
telah berbohong.
Sedikit pun Awang tidak ingat pernah
meniduri Siska jauh sebelum ia menikah dengan Lintang. Ketika ia penuh keraguan
memilih Islam dan melakukan hubungan yang lebih serius dengan Lintang. Hal ini
membuat Lintang marah.
Kemarahan Lintang menyurut saat
ibunya Siska tidak membenarkan omongan anaknya. Awang dan Lintang kembali
berbahagia dengan anak angkatnya Indra. Menjalani aktivitas seperti biasanya.
Badai yang menerjang tak sampai di
situ saja. Kedekatan Lintang dan Niko yang mencintainya semakin membuat Awang
cemburu, meski istrinya itu tidak menanggapi api asmara Niko tersebut. Klimaks dari semua itu
adalh saat Lintang ketahuan hamil.
Awang malah meninggalkan istrinya
yang sedang hamil karena tidak mengakui janin di dalam rahim tersebut anaknya.
Padahal kehamilan Lintanglah yang ditunggu-tunggu selama ini. Sedangkan Niko
sendiri sudah menikah dengan Nana.
Meski demikian sakitnya seorang
istri yang dicampakkan ketika hamil, dan dituduh melakukan hal yang tak pernah
dilakukan, Lintang tetap mendo’akan suaminya agar tetap selamat. Supaya tetap
mencintainya, diteguhkan keimanannya, dan menganggap keterasingan yang
dirasakan dari jema’at gereja hanya sebuah hambatan yang tak berarti. Agar
kembali dan mengakui bahwa anak yang dikandungnya adalah miliknya. Hasil
percintaan dengan pernikahannya yang sah.
Awang baru pulang ketika mendapat
telepon dari mamanya yang mengatakan bahwa Lintang telah melahirkan bayi
perempuan. Dari Bali ia pun segera bergegas ketika mamanya memarahi dan
menyalahkan tindakan bodoh Awang. Karena Lintang memang tak pernah berselingkuh.
Justru dirinya sendiri yang telah membuahkan anak serong dengan Siska.
Melihat bayi mungil dan istrinya di
rumah sakit, hati Awang tersentuh. Ia telah percaya bahwa Lintang adalah istri
yang bisa menjaga kesuciannya. Niat semula Awang untuk bercerai dengan Lintang
pun terhapus. Tes darah urung dilaksanakannya. Karena ia yakin, bayi itu
anaknya. Keduanya pun bahagia.
♥
Sekali
lagi Kinoysan memukau penulis. Setelah penulis membaca karyanya “Ketika Merpati
Terbang Rendah”, yang merupakan bagian kedua dari trilogi novelnya. Bagian
pertama merupakan perkenalan yang pengarang sampaikan di “Karena Aku
Mengenalmu”, dan diakhiri “Kusapa Kau Dengan Cinta”. Cerita yang disampaikan
bukan hanay sekadar isapan jempol saja. Melainkan tendensi moral tetap
dipertahankan oleh pengarang.
Alur yang berkelok atau plot
campuran ditambah ending yang sedikit sulit ditebak mendapatkan point tersendiri
yang tentunya merupakan karya bagus dari penulis. Dibanding dengan “Karena Aku
Mengenalmu”, karya yang kedua ini menampilkan peristiwa secara lebih mendetail.
Ada tokoh-tokoh
yang telah ada di bagian pertama dari trilogi yang kehadirannya dipertegas lagi
nasib maupun endingnya.
Namun, dalam karya kedua dari
trilogi pengarang ada tokoh baru yang dihadirkan yang sebenarnya tidak
dihadirkan pun tidak mempengaruhi cerita. Dalam arti dialihkan ke hal atau
peristiwa lain. Bahkan kalau boleh jujur, penulis menilai pengarang justru
terganggu dalam memfokuskan ide ceritanya untuk memperkuat karakter atau
penokohan tokohnya.
Bagian kedua ini seperti klimaks
dari ketiga karya pengarang. Karena menceritakan lika-liku rumah tangga kedua
tokoh yang memutuskan untuk hidup bersama. Lintang yang sedari dulu didik dan
meyakini Islam dihantui oleh Awang yang bisa saja meninggalkannya untuk kembali
memeluk iman Katolik. Sedangkan Awang sendiri dibelenggu oleh kecemburuan pada
Lintang yang hingga sudah menikah pun masih berhubungan friend dengan Niko.
Disinilah kecerdasan pengarang dituntut lebih ektra lagi dalam membuat variasi
agar pembaca tidak kejenuhan selain harus mempertahankan tendensi yang ingin
disampaikan.
Bahasa pengarang masih seperti karya
pertama. Lugas, tapi tetap halus dirasakan. Sentuhan art pengarang terasa
sekali melalui racikan kesastraannya yang menyatu dan match dengan fakta.
Kebimbangan-kebimbangan
yang ada tidak lagi pada hal kepindahan agama Awang dan keluarganya. Melainkan
kehidupan dia sebagai Muallaf yang juga menyatu dengan problematika rumah
tangga bersama Lintang yang menghadapi masalah berkeluarga laiknya. Seperti
belum hadirnya seorang anak di antara mereka, perselingkuhan, kecemburuan dan
sikap menghadapi itu semua.
Kepandaian
pengarang mengocar-ngacir plot menambah kesan bahwa meskipun novel ini karya
sastra yang populer tetap terasa seperti sastra serius. Pengolahan istilah
begitu tepat ditempatkan oleh pengarang di bagian-bagian yang bisa memberi
suspens. Ketika jengah membaca, pengarang menyuguhinya dengan bahasa atau
adegan rileks. Seperti adegan kamar orang dewasa yang diperagakan oleh Lintang
dan Awang secara spontanitas.
Kesederhanaan
tema juga sangat memukau penulis. Padahal pengarang seperti Kinoysan yang
berbahasa seadanya pun banyak, tapi penulis menilai pengarang mempunyai
kepekaan tersendiri dalam bersastra. Selain kelogisan itu dapat diterima oleh
keyakinan penulis, korenah yang ditawarkan pengarang lewat deskripsinya penulis
merasa telah tergusti. Bahkan penulis memberi julukan strory of art pada karya
ini.
Pengalaman
bagai tercecer minta segera dijawab oleh penulis. Buktinya, penulis merasa ingin
terus membaca, membaca dan membaca terus sampai tamat. Rasanya diburu
“keterpaksaan” menjawab apa yang akan terjadi selanjutnya.
Penulis
hanya memberi secuil gambaran mengenai karya Kinoysan ini. Jika pembaca
penasaran, pembaca bisa mengobatinya dengan segera mendapatkan dan membacanya
bukunya. Para pembaca nanti bisa jadi
mempunyai persepsi yang sama dengan penulis atau bahkan sebaliknya. Selamat
membaca!
No comments:
Post a Comment