Entah bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami
tetap sebuah misteri. Tikus berpikir secara tikus dan manusia berpikir secara
manusia, hanya manusia-tikus yang mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di
seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yang kami temukan), namun tikus itu
tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yang luas milik
tetangga. Kami menduga tikus itu adalah tikus kebun. Tubuhnya cukup besar dan
bulunya hitam legam.
Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah
yang tak diundang, dan tak kami ingini itu, ketika saya tengah menonton
film-video The End of the Affair yang dibintangi Ralph Fiennes dan
Julianne Moore, seorang diri, sementara istri telah mendengkur kecapaian di
kamar. Waktu tiba pada adegan panas pasangan selingkuh Fiennes dan Julianne,
tengah bugil di ranjang, yang membuat saya menahan napas dan pupil mata
melebar, tiba-tiba kaki saya diterjang benda dingin yang meluncur ke arah
televisi, dan saya lihat tikus hitam besar itu berlari kencang bersembunyi di
balik rak buku. Jantung saya nyaris copot, darah naik ke kepala akibat
terkejut, dan otomatis kedua kaki saya angkat ke atas.
Baru kemudian muncul kemarahan dan dendam saya. Saya
mencari semacam tongkat di dapur, dan hanya saya temukan sapu ijuk. Sapu itu
saya balik memegangnya dan menuju ke arah balik rak buku. Tangan saya amat
kebelet memukul habis itu tikus. Namun, tak saya lihat wujud benda apa pun di
sana. Mungkin begejil item telah masuk rak bagian bawah di mana terdapat
lubang untuk memasukkan kabel-kabel pada televisi. Untuk memeriksanya, saya
harus mematikan televisi dulu yang ternyata masih menayangkan adegan panas
pasangan intelektual Inggris itu. Saya takut kalau tikus keparat itu menyerang
saya tiba-tiba. Imigran gelap rumah itu saya biarkan selamat dahulu.
Saya tidak pernah menceritakan keberadaan tikus itu
kepada istri saya yang pembenci tikus, sampai pada suatu hari istri saya yang
justru memberitahukan kepada saya adanya tikus tersebut. Berita itu begitu
pentingnya melebihi kegawatan masuknya teroris di kampung kami.
”Pak, rumah kita kemasukan tikus lagi! Besar sekali! Item!”
”Di mana mamah lihat?”
”Di dapur, lari dari rak piring menuju belakang
kulkas!” Istri saya cemas luar biasa, menahan napas, sambil mengacung-acungkan
pisau dapur ke arah kulkas di dapur.
”Sudah satu tahun enggak ada tikus. Rumah sudah
bersih. Mengapa tikus masuk rumah kita? Tetangga jauh. Dari mana tikus itu?”
”Itu tikus kebun, Mah,” jawab saya santai sambil
mengembalikan buku Nietsche ke rak buku.
”Jangan santai-santai saja Pah, cepat lihat kolong
kulkas!”
Wah, situasi semakin gawat. Saya memenuhi perintah
istri saya dengan menyalakan senter ke bagian kolong kulkas. Tidak ada apa pun.
Tikus keparat! Ke mana dia menghilang?
Sejak itu istri saya amat ketat menjaga kebersihan.
Semua piring di rak dibungkus kain, juga tempat sendok. Tudung saji diberati
dengan ulekan agar tikus tidak bisa menerobos masuk untuk menggasak makanan
sisa. Gelas bekas saya minum nescafe-cream malam hari harus ditutup
rapat. Tempat sampah ditutupi pengki penadah sampah sambil diberati batu.
Strategi kami adalah semua tempat makanan ditutup rapat-rapat sehingga tikus
tak akan bisa menerobos.
Istri saya memesan dibelikan lem tikus paling andal,
yakni merek Fox. Selembar kertas minyak tebal dilumuri lem tikus oleh istri
saya dan di tengah-tengah lumeran lem itu ditaruh ampela ayam bagian makan
malam saya. Jebakan lem tikus ditaruh di kaki kulkas. Pada malam itu, ketika
istri saya tengah asyik menonton sinetron ”Cinta Kamila”, yang setiap malam
setengah sembilan selalu menangis itu, istri saya tiba-tiba berteriak memanggil
saya yang sedang mengulangi membaca Filsafat Nietsche di kamar kerja, bahwa si
tikus terperangkap. Saya segera menutup buku dan lari ke dapur menyusul istri.
Benar, seekor tikus hitam sedang meronta-ronta melepaskan diri dari kertas yang
berlem itu.
”Mana pukul besi?!” saya panik mencari pukul besi yang
entah disimpan di mana di dapur itu.
”Jangan dipukul Pah!”
”Lalu bagaimana?” Saya menjawab mendongkol.
”Selimuti dengan kertas koran. Bungkus rapat-rapat.
Digulung supaya seluruh lem lengket ke badannya.”
”Lalu diapakan?” Saya semakin dongkol.
”Buang di tempat sampah!”
”Aah, mana pukul besi?” Kedongkolan memuncak.
”Nanti darahnya ke mana-mana! Bungkus saja
rapat-rapat!”
Saya mengalah. Ketika tikus itu akan saya tutupi
kertas koran, matanya kuyu penuh ketakutan memandang saya. Ah persetan! Saya
menekan rasa belas kasihan saya. Tikus saya bungkus rapat-rapat, lalu saya
buang di tong sampah di depan rumah, sambil tak lupa memenuhi perintah istri
saya agar penutupnya diberati batu.
Siang harinya sepulang dari mengajar, istri saya
terbata-bata memberi tahu saya bahwa tikus itu lepas ketika Mang Maman tukang sampah
mau menuangkan sampah ke gerobaknya. Cerita Mang Maman, ada tikus meloncat dari
gerobak sampahnya dan lari ke kebun sebelah dengan terbungkus kertas coklat.
Cerita lepasnya tikus ini beberapa hari kemudian diperkuat oleh Bi Nyai,
pembantu kami, bahwa dia melihat tikus hitam yang belang-belang kulitnya.
Geram juga saya, dan diam-diam saya membeli dua
jebakan tikus. Ketika mau saya pasang malam harinya, istri saya keberatan.
”Darahnya ke mana-mana,” katanya.
”Ah, gampang, urusan saya. Kalau kena lantai, saya
akan pel pakai karbol,” jawabku.
Istri saya mengalah, dan rupanya merasa punya andil
bersalah juga. Coba kalau tikus itu dulu kupukul kepalanya, tentu beres.
Pada waktu subuh istri membangunkan saya.
”Tikusnya kena Pah!”
Memang benar, seekor tikus hitam terjepit jebakan
persis pada lehernya. Darah tak banyak keluar. Ketika saya amati dari dekat,
ternyata bukan tikus yang kulitnya sudah belang-gundul.
”Ini bukan tikus yang lepas itu Mah!”
”Masa?” Ia mendekat mengamati.
”Kalau begitu ada tikus lain.”
”Mungkin ini istrinya,” celetekku.
Ketika mau saya lepas dari jebakan, istri saya
melarangnya.
”Buang saja ke tempat sampah dengan jebakannya.”
Rasa tidak aman masih menggantung di rumah kami. Tikus
belang itu masih hidup. Dendam kami belum terbalas. Berhari-hari kemudian kami
memasang lagi lem tikus dengan berganti-ganti umpan, seperti sate ayam, sate
kambing, ikan jambal kegemaran saya, sosis, namun tak pernah berhasil menangkap
si belang. Bibi mengusulkan agar dikasih umpan ayam bakar. Saya membeli
sepotong ayam bakar di restoran padang yang paling ramai dikunjungi orang.
Sepotong kecil paha ayan itu dipasang istri saya di tengah lumeran lem Fox,
sisanya saya pakai lauk makan malam.
Gagasan Bi Nyai ternyata ampuh. Seekor tikus
menggeliat-geliat melepaskan diri dari karton tebal yang dilumuri lem. Tikus
itu benar-benar musuh istri saya, di beberapa bagian badannya sudah tidak
berbulu. Kasihan juga melihat sorot matanya yang memelas seolah minta ampun.
”Mah, cepat ambil pukul besinya.”
Istri saya mengambil pukul besi di dapur dan diberikan
kepada saya. Ketika mau saya hantam kepalanya, istri saya melarang sambil
berteriak.
”Tunggu dulu! Pukul besinya dibungkus koran dulu.
Kepala tikus juga dibungkus koran. Darahnya bisa enggak ke mana-mana!”
Begitu jengkelnya saya kepada istri yang tidak pernah
belajar bahwa tikus yang meronta-ronta itu bisa lepas lagi.
”Cepat sana cari koran!” bentakku jengkel.
”Kenapa sih marah-marah saja?” sahut istri saya
dongkol juga. Saya diam saja, tetapi cukup tegang mengawasi tikus yang
meronta-ronta semakin hebat itu. Kalau dulu berpengalaman lepas, tentu dia bisa
lepas juga sekarang.
Akhirnya tikus hitam itu saya hantam tiga kali pada
kepalanya. Bangkainya dibuang bibi di tempat sampah.
Beberapa hari setelah itu istri saya mulai kendur
ketegangannya. Kalau saya lupa menutup kopi nescafe, biasanya dia
marah-marah kalau bekas kopi susu itu dijilati tikus, tetapi sekarang tidak
mendengar lagi sewotnya. Begitulah kedamaian rumah kami mulai nampak, sampai
pada suatu pagi istri saya mendengar sayup-sayup cicit-cicit bayi tikus! Inilah
gejala perang baratayuda akan dimulai lagi di rumah kami.
”Harus kita temukan sarangnya! Bayi-bayi tikus itu
kelaparan ditinggal kedua orangtuanya. Kalau mati bagaimana? Kalau mereka hidup,
rumah kita menjadi rumah tikus!” kata istri.
Lalu kami melakukan pencarian besar-besaran.
Bagian-bagian tersembunyi di rumah kami obrak-abrik, namun bayi-bayi tikus
tidak ketemu. Bayi-bayi itu juga tidak kedengaran tangisnya lagi. ”Mungkin ada
di para-para. Tapi bagaimana naiknya?” kata saya.
”Nunggu Mang Maman kalau ambil sampah siang,” kata
istri.
Ketika Mang Maman mau mengambil sampah di depan rumah,
bibi minta kepadanya untuk naik ke para-para mencari bayi-bayi tikus.
”Di sebelah mana Bu?” tanya Mang Maman.
”Tadi hanya terdengar di dapur saja. Mungkin di atas
dapur ini atau dekat-dekat sekitar situ,” sahut istri saya.
Sekitar setengah jam kemudian Mang Mamang berteriak
dari para-para bahwa bayi-bayi tikus itu ditemukan. Mang Maman membawa bayi-bayi
itu di kedua genggaman tangannya sambil menuruni tangga.
”Ini Bu ada lima. Satu bayi telah mati, yang lain
sudah lemas. Lihat, napas mereka sudah tersengal-sengal.”
Istri saya bergidik menyaksikan bayi-bayi tikus merah
itu.
”Bunuh dan buang ke tempat sampah Mang” kata istri
saya.
”Ah, jangan Bu, mau saya bawa pulang.”
”Mau memelihara tikus?” tanya istri saya heran.
”Ah ya tidak Bu. Bayi-bayi tikus ini dapat dijadikan
obat kuat,” jawab Mang Maman sambil meringis.
”Obat kuat? Bagaimana memakannya?”
”Ya ditelan begitu saja. Bisa juga dicelupkan ke kecap
lebih dulu.”
Setelah memberi upah sepuluh ribu rupiah, istri saya
masih terbengong-bengong menyaksikan Mang Maman memasukkan keempat bayi tikus
itu ke kedua kantong celananya, sedangkan yang seekor dijinjing dengan jari dan
dilemparkan ke gerobak sampahnya.
Tikus-tikus tak terpisahkan dari hidup manusia. Tikus
selalu mengikuti manusia dan memakan makanan manusia juga. Meskipun bagi
sementara orang, terutama perempuan, tikus-tikus amat menjijikkan, mereka sulit
dimusnahkan. Perang melawan tikus ini tidak akan pernah berakhir.
No comments:
Post a Comment