Dunia sastra selalu berkembang menyesuaikan zamannya seolah berkejaran
dengan sang waktu. Mungkin seseorang yang dalam dirinya tercetak sebagai penahbis art adalah satu-satunya
pemenang dalam pertarungan antara manusia dengan sang waktu. Meskipun orang
tersebut telah meninggal dunia, karyanya pergi entah ke mana, atau musnah
sekalipun, proses penciptaannya akan tetap abadi. Tidak pernah bisa dihancurkan
oleh waktu.
Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu karya sastra berbentuk prosa.
Secara leksikal, definisi dari cerpen itu sendiri ialah sebuah kisahan pendek
(kurang dari 10.000 karakter) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan
memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi/pada suatu ketika (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2003: 210).
Cerita pendek tersebut terdiri dari unsur-unsur pembangun cerita yang
merupakan satu kesatuan yang dipadukan hingga terbentuklah sebuah kisah yang
saling berkait dan dapat dipahami substansi peristiwanya. Unsur tersebut akan
penulis bahas dengan menggunakan metode strukturalis semiotika. Yang dimaksud
semiotika ialah ilmu tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan tanda
(Zoes Aart, 1992: 5). Pembahasannya adalah sebagai berkut:
I. SINOPSIS
Judul : Inem
Pengarang : Pramoedya Ananta
Toer
Gus Muk bercerita tentang penderitaan hidup kawannya
yang bernama Inem sebagai seorang perempuan maupun sebagai manusia. Sebagai
perempuan, apalagi yang hidup di tanah Jawa dan dikungkung oleh ada daerah
tempat tinggalnya Blora yang masih sangat patriarki, Inem banyak sekali
menerima perlakuan yang tidak adil. Dan sebagai manusia, ia diperlakukan dengan
kurang manusiawi justru oleh orang-orang terdekatnya sendiri.
Inem menjadi pembantu di rumah ibu Gus Muk. Saat
umurnya delapan tahun, dan itu berarti ia dua tahun lebih tua dibanding Gus
Muk, ia dikawinkan dengan Markaban yang sudah berusia 17 tahun. Usia yang
terlalu dini untuk era sekarang ini. Tetapi dahulu, Emak si Inem beranggapan
bahwa setiap anak perempuan yang lebih dari delapan tahun akan semakin menambah
beban keluarga dan menjadi sumber malunya keluarga jika disebut perawan tua.
Anggapan itu tidak hanya dipercayai oleh Emak si Inem,
melainkan hampir seluruh orang di desa Inem ketika itu. Oleh karena itu, menikahlah
Inem dengan Markaban, kerjaannya mengabdi di keluarga Gus Muk dihentikan.
Perayaan pernikahan diadakan semeriah mungkin dengan tayuban. Dengan perayaan
tersebut orang tua Inem berpikiran bahwa beban hidupnya akan berkurang. Sebab
ternyata bapak si Inem menjadi perampok di tengah hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya.
Akan tetapi setelah usai perayaan tersebut, keluarga
si Inem harus membayar semua tagihan dari orang-orang yang dipinjami hutang.
Semua barang yang digunakan dalam prosesi pernikahan tersebut ternyata didapat
dari berhutang sana-sini. Maka Inem dan emaknya harus bekerja keras membatik guna
melunasi hutang-hutang tersebut.
Penderitaan belum usai ketika Inem juga harus
mengabdikan seluruh hidupnya, jiwa maupun raga, kepada suaminya. Tetapi
suaminya memperlakukan Inem dengan kasar karena Inem sering dipukulinya.
Akhirnya saat usianya baru sembilan tahun Inem menjandalah sudah.
Majikan tempat bekerjanya dulu, ibu si Gus Muk, tidak
dapat menerima kehadiran Inem lagi karena alasan tata kesopanan ‘bergaul’ di
desa. Bahwa seorang janda tidak baik tinggal bersama-sama dengan lelaki yang
banyak di rumah kos-kosan. Karena ibu si Gus Muk adalah pemilik kos-kosan
lelaki. Hal ini akan menjadi bahan cemoohan yang bisa merendahkan martabat si
Empunya maupun Inem sendiri.
Tak jua habis penderitaan itu. Inem akhirnya menjadi
bahan pelampiasan amarah oleh emak, bapak, saudara maupun tetangga-tetangganya.
Siksaan yang berupa jasmani (dipukuli, ditendang, dijambak) maupun rohani
(dihina, dimaki dan dikatakan sebagai penambah beban orang tua dan keluarga).
II. UNSUR STRUKTURALIS PROSA
A. Tema dan Amanat
Pengarang tampaknya ingin menyampaikan bahwa setiap
manusia hendaknya bekerja keras untuk mempertahankan hiupnya. Kehidupan tidak
akan menjadi lebih baik jikalau hanya merenung dan berpangku tangan serta
meratapi nasib. Kehidupan terus melaju bagai roda pedati. Melindas terus tanpa
bersisa, hanya meninggalkan jejak-jejak lindasan tersebut dalam kenangan.
Jika saja Inem mau memperjuangkan haknya sebagai perempuan
sekaligus seorang insan yang patut diperlauka secara manusiawi, maka ia tidak
perlu mendapatkan pelecehan. Tetapi lagi-lagi kultur yang ada pada saat itu
rupanya tidak sedikit pun memihak pada diri perempuan, apalagi perempuan
seperti Inem yang bisa dibilang terbelakang secara ekonomi dan pendidikannya.
Pram ingin menghidupkan sendi-sendi keperempuanan yang
sebenarnya sudah hidup jauh sebelum Kartini menjadi trendsetter dengan
emansipasi wanitanya. Meskipun cerpen ini ditulis setelah Kartini menggerakkan
perempuan Indonesia
umumnya, dan perempuan Jawa khususnya, melalui imajinasi akan kenangan seorang
anak kecil membuktikan bahwa keinginan Pram muncul jauh sebelum itu.
Ia melihat anak-anak gadis yang dikawinkan terlalu
dini membuat hatinya trenyuh. Sebab kebanyakan perkawinan tersebut akan membawa
kesengsaraan pada pihak perempuannya. Hal ini pun terjadi pada kawan
sepermainannya: Inem.
Pernikahan dini yang dilalui Inem sungguh membuatya
bertambah terpuruk. Bukankah usia delapan tahun seharusnya ia masih menjadi
gadis cilik dengan masa kecilnya yang seharusnya membahagiakan, menyenangkan
dan penuh canda tawa?
Lagipula, usia delapan tahun belum bisa dikatakan
cukup umur untuk dikawinkan mengingat sudahkah ia mengalami menstruasi? Hal ini
bisa sangat dianggap penting mengingat kesehatan reproduksi dan hasil dari
reproduksi itu sendiri.
Berpulang pada mentalitas bangsa Indonesia pada umumnya, dan
penduduk Blora (bahkan hampir seluruh warga Jawa), yang masih dalam tekanan
kapitalisme serta imperialisme Belanda, sangat mempengaruhi pola pikir dan tata
laku kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahwa adanya pihak ‘atas’ dan pihak
‘bawah’ yang ditetapkan oleh penjajah. Maka sistem patriarki ini kental sekali
di dalam urat nadi masyarakat hingga kini, meskipun saat ini mulai dapat
ditepis dengan kesetaraan perempuan dalam mendapatkan pendidikan, perlakuan,
dan pekerjaan yang tidak jauh dibedakan dengan kaum lelaki.
Rupanya ibu si Gus Muk sudah mempunyai pikiran sedikit
maju karena mengatakan bahwa gadis seumur Inem belum cocok untuk dikawinkan
karena keturunannya bisa menjadi kerdil. Hal ini membuktikan bahwa ia cukup
mempunyai pengetahuan. Tetapi lagi-lagi pengetahuan ala kadarnya. Ini menjadi
cermin bahwa pendidikan sex atau biologi belum diterapkan secara baik, masih
dianggap tabu. Untuk itulah Pram menyinggung ketabuan akan sex tersebut dalam
cerpen “Inem”-nya.
B. Tokoh-Penokohan Dipandang dari Aspek Semiotika
Tokoh Protagonis: Inem dan Gus Muk
Tokoh Antagonis: Markaban (suami Inem)
Tokoh Tirtagonis: Ibu si Gus Muk.
Tokoh Pendukung: Emak si Inem, Pak si Inem, adik si Inem
Penokohan Inem.
Inem digambarkan sebagai sosok gadis yang cantik,
halus budi pekertinya, pekerja keras, dan perempuan Jawa yang sumarah, menerima
segala sesuatu dengan ikhlas. Tetapi dia juga pribadi yang mudah dianiaya orang
lain karena kebaikan-kebaikan budi yang ditanamkan kedua orangtuanya menurut
tata kesopanan yang berlaku. Hal ini dapat diketahui dari petikan-petikan
sebagai berikut:
…ia tergolong
cantik buat gadis-gadis kecil di kampung kami. (hal. 38 par. 1)
Ia sopan, tak
manja cekatan dan rajin (hal. 38 par. 1)
Inem menundukkan
kepala. Ia sangat hormat terhadap bunda (hal. 41 par. 5)
Ia selalu bicara
pelan (hal. 43 par. 7)
Ndoro,
kasihanilah aku ini (hal. 48 par. 10)
…Ia tinggal duduk
di lantai (hal. 51 par. 6)
Dan kemudian,
janda yang berumur sembilan tahun itu karena hanya membebani rumah tangga
orangtuanya boleh dipukuli oleh siapa saja: emaknya, adiknya yang lelaki,
pamannya, tetangganya, bibinya.
Penokohan
Ibu si Gus Muk.
Tampaknya ibu si Gus Muk dimunculkan sebagai seorang
ibu sekaligus perempuan yang benar-benar memegang teguh kesopanan dalam
bermasyarakat demi mempertahankan keutuhan keluarga dan rumah tangganya. Di
samping itu, pengetahuan yang ia punya lebih luas dibanding perempuan lain saat
itu, seperti emaknya si Inem. Hal ini dapat diketahui dari petikan-petikan
sebagai berikut:
…Mbok Inem,
kanak-kanak tak boleh dikawinkan …nanti anaknya jadi kerdil-kerdil (hal. 42
par. 2dan 4)
Petikan di atas menunjukkan bahwa ibu si Gus Muk memahami
sistem reproduksi secara sederhana: kalau orang tuanya kecil, gen keturunan
yang dimiliki anaknya tidak jauh berbeda dengan orang tuanya.
Bukan, Inem,
karena kesopananlah itu.
Dan ibu pun
tetap memegang kesopanan rumah tangganya.
Petikan di atas memberi gambaran betapa ibu si Gusmuk
perempuan yang benar-benar memegang teguh kesopanan dalam bermasyarakat demi
mempertahankan keutuhan keluarga dan rumah tangganya.
Penokohan
Markaban.
Tampaknya ia sosok suami yang brangasan, jauh dari
sifat baik. Suka berbuat seenaknya, suka semena-mena terhadap Inem karena
sering memukulinya. Ia juga bukan tipe orang yang pandai memperlakukan seorang
perempuan, apalagi istrinya secara semestinya. Hal ini dapat diketahui dari
petikan-petikan sebagai berikut:
Masih malam
waktu itu. Dan teriakan itu diulang-ulang dibarengi dengan pukulan pada pintu
dan berdembam-dembam aku tahu, teriakan itu ke luar dari mulut si Inem aku
kenal suaranya (hal. 47 par. 7)
Ndoro,
kasihanilah aku ini. Tiap malam dia mau menggelut saja kerjanya, ndoro (hal. 48
par. 10)
Inem takut,
ndoro. Inem takut padanya. Dia begitu besar. Dan kalau menggelut kerasnya bukan
main hingga Inem tak bisa bernafas, ndoro… (hal. 48 par. 12)
Penokohan
Emak si Inem.
Emak si Inem digambarkan sebagai perempuan desa yang
tahu diri, tahu bagaimana caranya bersopan santun pada priyayi majikannya.
Tetapi ia juga tipe orang yang kurang terpelajar, mudah sekali meniru apa-apa
yang diperbuat orang lain termasuk mengawinkan anaknya pada usia yang amasih
terlalu dini. Emaknya si Inem juga perempuan yang kurang bisa mendidik anak
selain dengan cara kekerasan. Hal ini dapat diketahui dari petikan-petikan
sebagai berikut:
Kami bukan dari
golongan priyayi, ndoro. Aku pikir dia sudah ketuaan setahun. Si Asih itu
mengawinkan anaknya dua tahun lebih muda daripada anakku.
Penokohan
Bapak si Inem.
Tokoh bapak si Inem dimunculkan sebagai sosok yang
jauh dari orang baik-baik. Kegemarannya berjudi sabung ayam dan kerjanya
merampok di tengah hutan. Hal ini dapat diketahui dari petikan-petikan sebagai
berikut:
Bapak si Inem
seorang pengadu jago. Tiap-tiap hari kerjanya hanya berjudi dengan pertarungann
jagonya… (hal. 39 par. 2)
Ibu pernah
bilang padaku, bapak si Inem kerjanya yang terutama ialah membegal di tengah
hutan jati antar kota kami Blora dan kota pesisir Rembang (hal.
39 par. 3)
Penokohan
Gus Muk.
Sebagai narator dalam cerpen “Inem” ini, ia mempunyai
karakter kekanakannya yang khas dengan berbagai imajinasi dan
pemberontakan-pemberontakan masa kecilnya yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan.
Hal ini dapat diketahui dari petikan-petikan sebagai berikut:
Tetapi aku
datang saja ke rumahnya dengan mencuri-curi. Sungguh mengherankan kadang-kadang
larangan itu ada dan penting hanya untuk dilanggar. Dan dalam pelanggaran itu
ada terasa olehku bahwa apa yang kukerjakan waktu itu menikmatkan. Dan untuk
kanak-kanak seperti aku pada waktu itu—oh, alangkah banyak larangan dan
pantangan yang ditimpakan pada kepala kami…(hal. 44 par. 2)
Mengapa ada
kecelakaan menimpanya? (hal. 43 par. 2)
Dicurikah
ayam-ayam kita, bu? (hal. 43 par. 3)
C.
Setting
Pram lahir di Blora, cerita-cerita yang ia garap pun
terinspirasi dari sana .
Tampaknya ia paham benar akan daerah beserta kehidupan yang ada pada saat itu.
Meskipun cerita ini digarap sekian puluh tahun setelah tahun 1930-an, ketika
dia masih kecil waktu itu.
Daerah Blora yang masih dibawah pemerintah Hindia
Belanda membuat hampir semua hidup masyarakat menjadi melarat dan terbelakang.
Hal inilah yang mendorong beberapa orang hidup sebagai perampok, begal di
tengah hutan, mencegat siapapun yang melintasi daerah rimba dan mengambil
barang-barang mereka.
Bila dipandang dari sudut geografisnya, Blora hanya
daerah yang tidak begitu subur, tetapi jati-jatinya dapat dijadikan komoditas
yang sangat menghasilkan. Tetapi karena begitu terbelakangnya orang-orang
memanfaatkan jati-jati tersebut, akhirnya yang menguasai pihak-pihak asing yang
berada di luar orang-orang pribumi.
Kehidupan berkepriyayian pun ternyata sangat lekat
dengan kehidupan bermasyarakat di Blora. Hal ini dapat dilihat dari
kesopansantunan yang ditunjukkan Inem dan emaknya kepada majikannya, ibu si Gus
Muk.
Cerita pendek ini akan lebih menghasilkan gambaran
lebih nyata lagi bagi pembacanya (terutama pembaca awam) jika Pram juga
mencantumkan apa nama desa tempat tinggal Inem. Syukur kalau disebutkan lebih
detail lagi semisal nama jalan atau gang-gang yang ada di desa tersebut. Tetapi
kenyataannya Pram tampak ingin berinisial dengan menyebut kota Blora saja, tanpa mau memberitahukan di
mana tepatnya kejadian tersebut terjadi secara relita atau fiktif.
D. Alur-Pengaluran
Pengarang menggunakan alur maju. Cerita pendek “Inem” ini diuraikan secara runtut
dari awal hingga akhir. Istilahnya dari “A-Z”.
Pengarang mengisahkan perjalanan Inem dari rumah
majikannya, ibu si Gus Muk, hingga ia dirias menjadi pengantin, menjalani
kehidupannya yang ‘keras’ sebagai istri, kemudian menjanda, hingga akhirnya
mengalami penolakan oleh ibu si Gus Muk ketika ia ingin kembali bekerja dan
riwayatnya yang tidak dapat ‘diselamatkan’ sebagai seorang perempuan sekaligus
manusia ketika kemanusiawiannya dilecehkan oleh orang-orang terdekatnya
sendiri.
Pram memang lihai memainkan kata-kata sederhana
menjadi kata-kata yang mempunyai daya pikat tersendiri. Seperti ada ikatan
ritmis dari setiap dialog dan deskripsi mengenai hal-hal yang sangat sederhana
sekalipun, dan hal inilah yang membuat pembacanya seakan-akan sangat dekat dan
akrab dengan apapun yang ada di dalam cerita.
Kosakata Jawa yang dimanfaatkan pun memberi kesan
‘klasik’ yang membuat pembaca dapat terbang menuju suatu kurun waktu yang
dimaksudkan dalam cerita. Citraan yang dibangun pengarang tidak begitu sulit
dipahami oleh pembaca, memberi nilai ringan untuk dibaca.
Meskipun pengarang menyampaikan pesan atau tendensi
secara tersirat, pembaca tidak akan begitu kesulitan untuk memperoleh apa yang
dimaksudkan pengarang tersebut. Hanya saja ternyata Pram masih rancu
menggunakan kata ‘ibu’ dan ‘bunda’.
F. Sudut Pandang
Pengarang dalam cerita pendek “Inem” ini menggunakan
sudut pandang orang ketiga yang mempunyai ciri adanya tokoh “dia” sebagai
pemeran sentral yang mendominasi cerita. Pengarang adalah pihak narator yang
serba hadir dan serba tahu semua hal. Pengarang menghadirkan Gus Muk dalam
cerita, tapi kehadirannya hanya sebagai pendongeng.
Di dalam cerita, Gus Muk menjadi narator yang
menceritakan hal ihwal mengenai Inem. Mulai dari keberadaan Inem di rumahnya,
masa kanak-kanak Inem yang harus segera ‘usai’ karena perkawinan, kemudian saat
ia menikah dan akhirnya menjadi bahan cemoohan karena menjadi janda, hingga
lengkap sudah penderitaan Inem ketika statusnya yang janda sebagai penghalalan
penyiksaan secara fisik maupun batin justru oleh orang-orang terdekatnya
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka.
Aart, Zoes. 1992. Seba-Serbi Semiotika.
No comments:
Post a Comment