1. SINOPSIS
Pengarang : Sunaryono Basuki Ks
Penerbit : Suara Merdeka
Edisi :Minggu, 27 November 2005
Halaman : 18
Sinopsis
Seorang
perempuan bersama anak lelaki kecil ditinggal pergi suaminya di hutan rimba.
Hari demi hari anaknya tumbuh besar dan mulai ingin tahu tentang segala sesuatu.
Mulai dari hal yang kecil hingga yang terbesar.
Karena
tinggal jauh dari kehidupan luar, lelaki kecil itu ingin mengetahui setiap
pengalaman baru kepada ibunya sedetail mungkin. Dari apa itu bayi, apa itu
lelaki, kenapa ia dan ibunya tidak kawin seperti layaknya kera, anjing, dan
sepasang manusia yang pernah dia lihat sedang bergumul.
Ibunya
sangat bijaksana mengatakan kalau mereka tidak boleh kawin. Karena anak lelaki
itu adalah darah dagingnya. Ibunya tersebut mengisahkan tentang Sangkuriang
yang dikutuk dewa-dewa yang telah berani mencintai ibu kandungnya sendiri.
Lelaki
kecil itu sangat menyayangi ibunya, ia ingin sekali menikahinya. Tapi ingat
kisah Sangkuriang, niatnya diurungkan. Dia tak mau dikutuk seperti Sangkuriang.
Akhirnya
anak lelaki itu pergi meninggalkan perempuan itu berkelana seperti ayahnya.
Kemudia ibunya mencari kemana-mana hingga ia menemukan anaknya sedang bersemedi
di tepi telaga. Ia setia menunggui anaknya yang bertapa hingga selesai.
Perempuan
itu sabar menanti suaminya yang pergi kapan kembali, dann anaknya yang tekun
bersemedi. Hingga tempat tersebut tumbuh dua pohon yang menaungi telaga.
A. Analisis Permasalahan
(Tema dan Amanat)
Perempuan
itu tetap sabar menunggu dan menjaga amanat yang dipercayakan suaminya. Yaitu
anak lelaki yang masih kecil. Ketelatenan dan kasih sayangnya itu membuat buah
hatinya tumbuh dewasa dari hari ke hari.
Hingga
suatu hari anaknya hilang. Ia mencari hingga bertemu lagi. Meskipun anak itu
membuatnya menunggu pula karena ternyata anak kesayangan tersebut melakukan
pengembaraan yang sama seperti dilakukan oleh ayahnya.
Perempuan
itu dengan setia menunggu, menunggu, menunggu hingga waktu tak terasa berlalu.
Karena kesetiaannya itulah sesungguhnya keberhasilan ada di tangannya. Ia dapat
mendidik anaknya seperti yang suaminya amanatkan, yaitu dengan pesan tersirat
melalui pakaian yang dulu dipakai oleh suaminya tersebut.
Kedua, masalah larangan seorang anak mengawini
ibu kandungnya sendiri. Sebuah keinginan memiliki atau mencintai darah
dagingnya sendiri merupakan dosa terbesar. Pengarang menyampaikan hal ini
secara gamblang meskipun melalui dialog anak dan ibu.
Si
anak selalu bertanya-tanya mengapa ia tidak diperbolehkan mengawini ibunya.
Padahal, ia sangat mencintai perempuan itu dengan segala ketulusan. Pikirnya,
tidak ada perempuan lain yang bisa menyayanginya seperti perempua itu mencurahkan
segala kasih sayang dan perhatian kepada dia selama ini.
Budaya
yang selama ini dipegang teguh oleh umat manusia memang demikian. Bahwa
seseorang tidak boleh mengawini darah dagingnya sendiri. Jika hal tersebut
terjadi, maka itu dianggap sebuah penyimpangan norma dan dosa besar.
Hal
tersebut diungkapkan pengarang melalui proses pemikiran tokoh “anak lelaki”
setelah ia mendapat wejangan ibunya. Deskripsi yang ia dapat dari kisah
Sangkuriang dikutuk dewa-dewa karena berusaha mengawini ibu kandungnya itu
ternyata diresapinya benar. Hingga ia takut dan tidak lagi mencoba mengawini
perempuan itu.
Dalam
perikehidupan bangsa Indonesia
sendiri, perbuatan menggauli ibu atau darah dagingnya sendiri itu hanya pantas
dilakukan oleh binatang. Manusia yang melakukan tersebut berarti tidak ubahnya
binatang, manusia bi natang!
Ketiga,
dan hal inilah yang sebenarnya dimiliki oleh generasi penerus bangsa kita.
Yaitu suka bertanya tentang apa saja yang tidak diketahui dan selalu tidak puas
dengan jawaban-jawaban yang diberikan atas pertanyaan itu. Dari bertanya,
seseorang akan dapat menjadi manusia yang lebih baik, lebih maju, dan
berkompeten.
Langkah
seribu, harus diawali dengan langkah satu. Langkah yang “satu” itu merupakan
fondasi berhasil atau gagalnya sebuah kehidupan langkah “seribu”. Kalau langkah
awal sudah semrawut, sulit langkah seribu tidak ikut-ikutan hanyut ditelan
kehancuran.
Hendaknya
seorang anak itu diberi jawaban yang mudah ia cerna. Pertanyaan yang
kelihatannya tabu, jangan disikapi dengan cara diam atau melarang anak bertanya
demikian. Apapun pertanyaan, harus dijawab secara baik, benar, sopan dan
gamblang.
Untuk
itulah anak-anak atau generasi penerus bangsa harus ditangani oleh ibu yang
juga berkompetensi. Ia tidak hanya harus intelektual, tapi juga cerdas menata
emosinya. Agar pemegang tampuk maju atau tidaknya sebuah negara dicetak dengan
kualitas yang terjamin serta kompeten.
Anak
ibarat kertas putih yang dapat dibaca isinya jika telah ditulisi. Senyampang masih
kecil dan belum mengalami polusi lingkungan sekita, seorang ibu harus
menciptakan fondasi tahan banting padanya. Agar kelak ia dewasa, fondasi yang
telah dikonstruksikan tidak runtuh dengan mudahnya jika dihantam badai.
Sebuah
pengalaman yang baru bagi seorang anak itu sangat penting sebagai pelajaran
yang kelak akan membantu perjalanan hidupnya di masa yang akan datang.
sedangkan pengalaman itu ada yang baik, dan ada pula yang tragis. Dalam
mendidik anak, baik sekali anak itu diarahkan untuk merasakan atau melakukan
pengalaman-pengalaman sendiri.
Namun,
jika yang menjadi bahan didikan merupakan pengalaman pahit, tidak perlu seorang
anak mengalaminya sendiri. Seorang ibu cukup menunjukkan sample-sample dari
pengalaman tersebut dengan berdiskusi atau deskripsi kepadanya.
Anak
diajari untuk mencerap keadaan buruk yang menimpa orang lain. Kemudian
mengarahkan dia untuk mengambil apa hikmah di balik kejadian atau peristiwa
buruk tersebut. Mungkin dengan hal inilah seorang anak terbiasa melakukan
hal-hal yang terhindar dari segala sesuatu yang menuju pada celakanya hidup.
Demikianlah
yang pengarang mungkin ingin sampaikan kepada pembacanya. Tendensi pendidikan
yang tidak melupakan ajaran moral sebagai insan sosial dan meyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kebesaranNya.
B. Analisis Penokohan,
Plot, Pusat Pengisahan dan Latar
Penghadiran tokoh cerpen “Pulang
dalam Hujan” ternyata unik juga. Tokohnya hanya berupa nama-nama yang simbolis.
Yaitu dengan menyebutkan: perempuan itu (ibunya), anak lelaki kecil, dan suami
(secara direct).
Hal
inilah yang membuat pembacanya serasa membaca karya sangat ‘private’ dan pernah
dialami sendiri sebab ia tak mau diketahui identitas aslinya. Rasanya seperti
menyimak kasus kriminal di televisi dengan tokoh yang nama-namanya dielipskan.
Seperti demikian pula peristiwanya itu diperankan oleh seorang model.
Hanya
butuh penyimakan, tidak mengulangi kejadian ketika dimintai keterangan atau
reka ulang. Tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa tidak semua pembaca bisa
menikmati sekaligus ‘mudeng’ dengan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Hanya pembaca-pembaca yang ‘melek’ sastra yang dapat menikmati sekaligus
meresapi keindahan dan tendensi apa yang tersirat maupun tersurat dalam karya
cerita pendek tersebut.
Penokohan
yang diketengahkan pengarang sebenarnya hal yang lumrah. Sebuah watak yang
sebenarnya setiap orang miliki. Tetapi dengan cara penyampaian yang begitu implisit,
karena menggunakan simbol-simbol dan bahasa majas, kisah ini menjadi sangat
istimewa.
Keistimewaannya
itu dapat mengantarkan cerita pengarang ke dalam golongan sastra serius. Cerita fiksi yang tidak sekedar menjabarkan
urutan peristiwa dari awal-tengah-akhir pertemuan atau arus kehidupan saja.
Bukan seperti pada sastra populer seperti yang kebanyakan menghiasi
majalah-majalah remaja.
Perempuan
yang diceritakan dalam kisah ini mempunyai karakter yang kuat. Yaitu seorang
ibu yang matang dalam mendidik anaknya. Ia tahu bagaimana ia harus berkata atau
diam. Memberi penjelasan pada anak lelaki yang ingin tahunya besar itu dengan
arif dan bijaksana melalui dongeng-dongeng yang berkualitas.
Di
sinilah perannya perlu diperhitungkan. Ia seperti menempati posisi tokoh
sentral, tapi sebenarnya ia hanya tokoh pendukung. Sebab tokoh pusat dipegang
oleh anak lelakinya itu.
Hal
ini disebutkan demikian karena yang mengawali sampai menentukan nasibnya
sendiri adalah anak lelaki. Meski pada akhir cerita, yang dikisahkan adalah
nasib perempuan itu, tapi sebenarnya pengisahan tersebut hanya bersifat
mendukung apa yang sebenarnya dialami oleh anak lelakinya.
Keingintahuan
anak lelakinya itulah yang sebenarnya menjadi media ‘canggih’ yang digunakan
pengarang dalam menyampaikan ide utamanya. Bahwa seorang anak lebih baik
dididik tidak hanya di kalangan terbatas atau keluarga dengan segala aturannya
saya. Melainkan perlu juga diperlihatkan pada dunia luar agar ia dapat
berkembang. Layaknya sayap yang dapat mengepak dan menjelajahi penjuru peri
kehidupan.
Anak
lelaki yang itu merupakan simbol dari anak-anak lainnya. Karena bagaimanapun,
dunia anak seharusnya diwarnai dengan aneka ragam keceriaan. Tetapi si Tokoh
hanya bergulat dengan kehidupan mempertahankan serta memisahkan diri dari
karamaian hanya dengan seorang ibu.
Sedangkan
tokoh ayah hanya sedikit sekali disinggung oleh pengarang. Bahkan dilesapkan
dengan hanya menghadirkan konkretisasinya melalui deskripsi atau cerita ibu
kepada anaknya.
Cerita
ini sebenarnya pengarang kemukakan dengan pengulangan cerita. Yang dimaksud
ialah apabila dibaca, pembaca seperti sedang menceritakan sebuah dongeng pada
anaknya menjelang tidur. Inilah yang bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan
cerita dan pengarang itu sendiri dalam membuat cerita pendek ini menjadi sajian
originil serta berkualitas.
Pengarang
secara apik mengemas cerita tersebut dengan menggunakan plot atau alur yang
maju, rapat, tapi dengan ending terbuka. Hal ini disebabkan oleh semua
peristiwa disampaikan dari awal dan akhir serta tidak dapat dimasuki oleh
cerita tambahan ke dalamnya.
Kemudian
akhir ceritanya memang benar-benar diakhiri. Tetapi akhir cerita tersebut masih
memungkinkan pembaca untuk melanjutkan nasib tokoh-tokoh. Apakah penantian
perempuann itu akan berakhir atau tidak, sampai kapan suaminya pergi dan
akankah kembali, atau sampai kapan anak lelaki itu bertapa di tepi telaga. Satu
lagi yang terpenting: benarkah lelaki yang bertapa itu menemui ajalnya seperti
yang dideskripsikan pengarang pada paragraf awalnya?
Diceritakan
bagaimana perempuan itu ditinggalkann oleh suaminya, dan dia hidup serta harus
menghidupi buah hatinya sendiri. Keinginan anaknya untuk mengawini ibunya dan
kemudian pertemuan kembali setelah anaknya pergi dari perempuan itu karena ia
merasa berdosa dengan mempunyai niat demikian. Hingga akhirnya ditutup oleh
nasib keduanya yang ditunggu dan yang menunggu.
Pengarang
dalam membuat cerita pendek ini seperti ‘peninjau’ yang hanya menceritakan.
Sebab pengarang tampak sedang bercerita kepada pembaca. Malahan cerita ini
dapat dipandang sebagai mitos sebuah daerah.
Paragraf
pembuka yang merupakan awal cerita disebutkan dengan dialog yang sepertinya
ditujukan kepada pembaca. Pengarang menggunakan sebuah kalimat tanya: sudahkah.
Jawabannya yang pastinya dari pembaca: sudah atau belum.
Latar
atau setting yang menjadi andalan pengarang kebanyakan berupa fisik (tempat,
waktu, dan suasana). Satu yang pasti bahwa ‘background’ latar yang digunakan
berupa hutan rimba yang teramat damai dengan jauh dari kehidupan luar, suasana
teduh dan sejuk dengan pepohonan, fauna serta jernihnya air telaga yang
menimbulkan kesan nyaman atau ‘hening’.
C. Penutup
Cerita
pendek “Lelaki yang Bertapa di Tepi telaga” ini sungguh menarik. Bahasanya
memang sedikit simbolis, tapi dengan didukung dialog antara ibu dan anak itulah
sebenarnya yang menjadi kekuatan pengarang dalam menyampaikan pemikirannya.
Tendensinya kuat, meskisecara implisit.
Tidak
banyak cerita demikian yang hadir dalam kancah kesusasteraan di Indonesia , yang
kini didominasi oleh karya sastra populer. Karya populer tersebut terlalu
muluk-muluk, kurang nyata, dan kurang memuat pesan moral yang kuat serta khas
budaya sendiri.
Sedangkan
karya ini merupakan salah satu cerita fiksi yang memuat ajaran moral yang tidak
hanya universal, tetapi secara nasional dengan ditunjukkan pada setting hutan
rimba, mandinya seorang perempuan di telaga, yang dewasa ini jarang dilakukan.
Apalagi untuk ukuran orang-orang maju yang lebih memilih mandi di kamar mandi
dengan shower.
No comments:
Post a Comment