I.
Pendahuluan
Kritik
sastra memiliki peran yang besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu
teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, resepsi sastra adalah
bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra. Kritik sastra sendiri berasal
dari bahasa Yunani krites yang berarti hakim. Kata benda krites
berasal dari kata kerja krinein yang berarti menghakimi. Kata krinein
merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar
penghakiman. Lalu timbul kata kritikos yang berarti hakim karya
sastra (Suyitno, 2009:1).
Dalam kritik
sastra dikenal beberapa pendekatan-pendekatan untuk melakukan penelitian karya
sastra. Pendekatan-pendekatan itu adalah pendekatan sosiologis, pendekatan
psikologis, pendekatan historis, pendekatan antropologis, pendekatan ekspresif,
pendekatan mimesis, pendekatan pragmatis dan pendekatan objektif. Selanjutnya,
Ratna (2008:71) mengemukakan bahwa pendekatan pragmatislah yang memberikan
perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini berhubungan dengan
salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu
teori resepsi sastra.
Menurut
Junus (1985:1), resepsi sastra dimaksudkan bagaimana ‘pembaca’ memberikan makna
terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau
tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif.
Bagaimana
seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau
dapat melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya, atau mungkin juga
bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, pengertian
resepsi sastra mempunyai lapanganyang luas, dengan berbagai kemungkinan
penggunaan.
Dengan
resepsi sastra terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, yang
berbeda dari kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini tekanan diberikan
kepada teks, dan untuk kepentingan teks ini, biasanya untuk pemahaman ‘seorang
peneliti’ pergi kepada penulis (teks) (Junus, 1985:1).
Masalah yang
dibahas dalam tulisan ini, yaitu apakah resepsi sastra itu dan apakah
dasar-dasar teori resepsi sastra serta bagaimanakah penerapan teori resepsi
sastra. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
dasar-dasar teori resepsi sastra serta penerapannya.
II. Teori
Resepsi Sastra
A.
Pengertian Resepsi Sastra
Ratna
(2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere
(Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau
penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan
teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan
respons terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2007:206) bahwa
resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan
atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.
Seltanjutnya,
Endaswara (2008:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau
penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti
teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya
makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra
itu.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian
yang menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan
makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut.
B.
Dasar-Dasar Teori Resepsi Sastra
Resepsi
sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya
sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda
antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode
berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala
harapan (verwachtingshorizon atau horizon of expectation).
Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya
sastra (Pradopo, 2007:207).
Cakrawala
ini sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia
membaca sebuah karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya
sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu,
konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu akan
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan
oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya
sastra.
Teori
resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie
Esthetika (1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar
resepsi sastra ditentukan ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun
pembaca:
- norma-norma
yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca;
- pengetahuan
dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
- pertentangan
antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik
secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison
“luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Selanjutnya,
Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat
terbuka (open plek) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya.
Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena
itu, tugas pembacalah untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi
kekosongan dalam teks tersebut. Pengisian tempat
terbuka ini dilakukan melalui
proses
konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan
yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna” dalam
mengisi “tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.
C. Pembaca
Pembaca yang
dimaksudkan dalam resepsi terbagi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca ideal.
Pembicara biasa adalah pembaca dalam arti sebenarnya, yang membaca karya sastra
sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal adalah
pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian. Pembaca ini membaca
karya sastra dengan tujuan tertentu (Junus, 1985:52).
Luxemburg
(1982:77) menyatakan pembaca “di dalam” teks atau pembaca implisit dan pembaca
“di luar teks” atau pembaca eksplisit. Pembaca implisit atau pembaca yang
sebetulnya disapa oleh pengarang ialah gambaran mengenai pembaca yang merupakan
sasaran si pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang kita dapat
dalam teks. Pembaca eksplisit adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.
Dalam
meneliti karya sastra berdasarkan metode estetika resepsi, sesungguhnya dapat
dilakukan dalam dua cara, yaitu cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah
penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu
periode sastra, sedangkan diakronik adalah penelitian terhadap sebuah karya
sastra dalam beberapa masa atau beberapa periode sastra, dari masa karya sastra
terbit, kemudian resepsi periode selanjutnya hingga sekarang. Dengan kata lain,
sinkronik meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman atau
satu periode sastra. Cara kedua lebih rumit karena melibatkan tanggapan pembaca
sepanjang sejarah atau beberapa periode sastra (Ratna, 2008:167).
Penggolongan
suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh
ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang
berbeda. Ciri khas sastra
setiap periode / angkatan merupakan
gambaran dari
masyarakatnya
sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya serta ciri-ciri unsur intrinsik
dan ekstrinsik karya sastra itu sendiri. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah
penggolongan sastra atau periodisasi sastra seperti berikut.
1. Periode
1920-an atau Masa Balai Pustaka
2. Periode
1930-an atau Masa Pujangga Baru
3. Periode
1945-an atau Masa Angkatan 45
4. Periode
1966-an atau Masa Angkatan 66
5. Periode
1970-an atau Masa Sastra Kontemporer
6. Periode
2000-an atau Masa Angkatan 2000.
D. Penerapan
Resepsi Sastra Warna “Lokal” pada Cerpen “Sri Sumarah” dalam Kumpulan Cerpen Seribu
Kunang-Kunang di Mahattan Karya Umar Kayam
1.
Pengertian Warna “Lokal”
Bangsa
Indonesia memiliki budaya yang majemuk atau beranekaragam budaya, yang
memengaruhi perkembangan sastra di tanah air. Pengaruh yang muncul pada
karya-karya sastra adalah warna lokal seperti cerpen “Sri Sumarah” dalam
kumpulan cerpen Seribu Kunang-Kunang di Mahattan karya Umar Kayam.
Mujiningsih (2003:1) mengutip Edy bahwa definisi warna lokal atau warna
tempatan adalah suasana kedaerahan atau tempatan tertentu yang dilukiskan
pengarang dalam karyanya. Warna lokal biasanya didukung dengan pilihan kata dan
istilah serta sikap dan lingkungan tokoh yang dilukiskan pengarang. Penelitian
resepsi sastra pada cerpen “Sri Sumarah” dilakukan secara sinkronik periode
sastra 70-an.
2. Sinopsis
Cerpen “Sri Sumarah”
Cerpen “Sri
Sumarah” mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang wanita Jawa yang masih
keturunan priyayi. Pada cerpen ini nuansa Jawa yang kental terlihat dalam
menceritakan makna nama yang tersandang oleh tokoh Sri Sumarah. Nama tokoh ini
berarti Sri yang menyerah, terserah, atau pasrah. Sikap ini diajarkan oleh
neneknya dan ingin diajarkannya pada anaknya pula. Sikap sumarah
diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika dijodohkan neneknya dengan Mas
Martokusumo, suaminya.
Cobaan
menimpa hidupnya, suaminya yang tercinta ini meninggal pada saat usia
pernikahan mereka menginjak kedua belas tahun dan penyebab suaminya meninggal
suaminya itu adalah wabah penyakit eltor yang menyerang kabupaten mereka.
Sepeninggalan
almarhum suaminya, beberapa lelaki mencoba untuk melamarnya, termasuk Pak
Carik, tapi Sri menolaknya. Ia lebih fokus untuk menghidupi anaknya Tun. Sri
Sumarah menyekolahkan anaknya Tun di kota kabupaten, tidak sampai tamat karena
Tun terpaksa harus dikawinkan dengan pemuda yang menghamilinya dan pemuda itu
bernama Yos. Sri pun harus rela menggadaikan sawah dan perkarangannya untuk
membiayai pernikahan anaknya.
Sawah itu
pun tidak berhasil ditebusnya kembali karena akibat dampak dari inflasi yang
menyebabkan pesanan jahitannya menurun drastis dan jualan pisang gorengnya
tidak laku lagi serta buruknya hasil panen dari sawahnya tersebut. Ternyata
cobaan hidup belum selesai, menantunya Yos adalah aktivitis CGMI yang terlibat
dalam pemberontakan G30S PKI. Akhirnya Yos tertembak mati dalam suatu operasi
pengejaran terhadap para buronan politik dan anaknya Tun akhirnya menyerahkan
diri kepada pihak yang berwenang dan menjadi tahanan politik.
Setelah
peristiwa tragedi Yos dan Tun itu, Srilah yang mengurus Ginuk, cucu
satunya-satunya. Sikap sumarah tetap dijalankannya. Sikap itu mengiringinya
selama berusaha memenuhi hidup. Ia memilih bekerja menjadi tukang pijit.
Memijit dipilihnya sebagai pekerjaan setelah mendapat wisik saat
bertirakat. Dalam tirakatnya, ia tertidur dan mimpi bertemu dengan mendiang
suaminya Pak Guru Martokusumo yang minta dipijit olehnya. Sri sumarah pun
menganggap bahwa mimpi ini adalah semacam pesan kepadanya dan ia pun memutuskan
untu menjadi tukang pijit.
Sejak itu ia
memulai perjalanan hidup baru dengan modal memijit. Pekerjaan memijit Sri
dinilai bagus oleh masyarakat. Oleh karena itu, ia mendapat cukup uang untuk
menghidupi dirinya, dan Ginuk. Pekerjaan ini dijalani Sri dengan biasa-biasa
saja, meskipun ia harus banyak melakukan kontak fisik dengan laki-laki. Sikap bakti
berperan di sini. Namun, hatinya sempat goyah ketika suatu hari harus memijit
seorang pelanggan pria muda yang tampan dan gagah. Hal ini sekaligus
“menggelincirkan” saat ia memijit pemuda dari Jakarta yang membuatnya terkagum
dan terpesona.
3. Tanggapan
Pembaca Kritis yang Pro kepada Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Ada beberapa
tanggapan pembaca kritis pada tahun 1970-an ini dikutip dari Mujiningsih
(2003:15—20) yaitu sebagi berikut.
a. Tanggapan
Pembaca Kritis Tahun 1970-an
- Satyagraha Hoerip, “Kisah Dua Orang Wanita Jawa
Korban Pemberontakan Gestapu PKI”, Sinar Harapan, April, 1976. Hoerip
setuju terhadap hadirnya warna lokal. Ia menyatakan bahwa pengarang yang
berasal dari Jawa telah berhasil menggambarkan “cara” Jawa dalam karyanya
sebagaimana dikehendaki cerita. Adapun isi tanggapannya adalah mengupas
kesuksesan Umar Kayam sebagai penulis prosa yang berasal dari Jawa dalam
melukiskan cara orang Jawa dalam terlibat dalam situasi yang dikehendaki
cerita.
- Asruchin T. Sam, “Wanita Jawa versi Umar Kayam”,
Salemba; 26 Mei 1976. Hal yang ditanggapi adalah makna nama tokoh yang
sesuai dengan budaya Jawa. Asruchin juga setuju dengan adanya warna lokal
yang dilihat dari pernyataan bahwa makna nama tokoh sudah menunjukkan
karakter budaya Jawa. Adapun isi tanggapannya adalah telaah terhadap
tokoh Sri Sumarah yang apabila ditinjau dari segi namanya telah
menunjukkan kepasrahan dan penyerahan diri. Ia juga mengaitkannya dengan
karakter budaya Jawa yang mengajarkan sikap kepasrahan perempuan.
- Korrie Layun Rampan, “Tiga Cerpen Umar Kayam”,
Suara Karya, 11 Agustus 1977. Hal yang ditanggapi adalah struktur cerpen
berupa penokohan, latar dan perbandingan tokoh. Korrie setuju dengan
hadirnya warna lokal dapat dilihat dari pernyataan bahwa karya Umar Kayam
dapat dijadikan referensi sosio-kultural. Adapun isi tanggapannya bahwa
budaya Jawa yang menjadi latar sosial karya ini berhasil membentuk
karakter tokoh utama
b. Tanggapan
Pembaca Kritis Tahun 1980-an
- Tirto Suwondo, “Sri Sumarah Cermin Wanita Jawa”,
14 April 1985. Hal yang ditanggapi adalah tokoh utama Sri Sumarah. Tirto
setuju dengan hadirnya warna lokal dengan mengungkapkan bahwa sikap tokoh
Sri Sumarah memperlihatkan citra seorang wanita Jawa. Isi tanggapannya
adalah Tirto menafsirkan dan menentukan makna Sri Sumarah berdasarkan
karya itu sendiri. Makna yang termuat dalam karya ini mengesankan karena
struktur alur tokoh dan penokohannya. Sikap Sri Sumarah yang “sumarah”
akan selalu sadar dan rela menerima segala yang menimpa dirinya.
- Sundari Maharto (1987) dikutip B. Rahmanto
(2003:18—19) yang menelaah Sri Sumarah dari sudut citra wanita,
menyimpulkan bahwa lewat cerpennya, Umar Kayam menunjukkan dominasi pria
dalam masyarakat Jawa. Sebagai isteri, wanita Jawa dituntut mengabdikan
diri kepada suami. Sebagai ibu, wanita harus bersedia mengorbankan diri
dan menderita bagi anak-anaknya sesuai dengan tokoh pewayangan Sembrada
dan Kunti.
c. Tanggapan
Pembaca Kritis Tahun 1990-an
Tanggapan
pembaca kritis pada tahun 90-an yang dikutip Mujiningsih (2003:21) hanya
berjumlah satu orang, yaitu: Puji Santosa, dalam refleksi Sri Sumarah dan Bauk,
terbit 15 September 1990. Hal yang ditanggapinya adalah refleksi kehidupan yang
ada dalam karya ini. Isi tanggapannya bahwa Sri Sumarah adalah potret wanita
Jawa yang selalu aktif mengakrabi apa yang memang harus terjadi.
4. Tanggapan
Pembaca Kritis yang Kontra kepada Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
a. Tanggapan
Pembaca Kritis Tahun 1970-an
Tanggapan
pembaca kritis pada tahun 1970-an yang dikutip Mujiningsih (2003:21) hanya
berjumlah satu orang, yaitu: Jakob Sumardjo, dalam artikel yang berjudul Umar
Kayam dengan lagam Jawa itu dimuat dalam Pikiran Rakyat, 8 September 1976. Hal
yang ditanggapinya adalah masalah gaya pengarang. Penganggap tidak setuju
terhadap warna lokal dengan menunjuk kekurangan cerpen ini, yaitu dalam soal
bahasa berupa pemakaian kata Jawa yang terlalu banyak sehingga dikhawatirkan
tidak komunikatif, terutama untuk pembaca non-Jawa.
b. Tanggapan
Pembaca Kritis Tahun 1980-an
Pada tahun
1980-an hanya berhasil ditemukan satu penanggap, yaitu Ida Sundari Husein yang
mengemukakan bahwa untuk dapat menikmati cerpen “Sri Sumarah”, pembaca bukan
penutur bahasa Jawa akan menghadapi masalah-masalah berikut.
- Penggunaan
istilah dan ungkapan bahasa Jawa.
- Latar
belakang sosial budaya berupa peranan nama bagi orang Jawa, filsafat Jawa
tentang sikap mensyukuri keadaan bagaimanapun jeleknya dan sikap menahan
emosi, pendidikan anak perempuan, sikap seorang isteri dan ibu, dan
tirakat.
E. Analisis
Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1970-an
Berdasarkan
tanggapan-tanggapan pembaca yang telah diuraikan di atas (sebanyak 4 tanggapan,
ada 3 tanggapan yang pro terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri
Sumarah”; dan ada 1 tanggapan yang kontra terhadap hadirnya warna lokal dalam
cerpen “Sri Sumarah”). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran warna lokal tidak
menganggu.
1. Tanggapan
yang Pro terhadap Hadirnya Warna “lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Satyagraha
Hoerip (1976) mengatakan bahwa karya Umar Kayam ini sangat istimewa karena Umar
Kayam dapat menampilkan dengan baik ”cara” orang Jawa menghadapi masalah. Hal
ini dapat dilihat dari problema budaya Jawa yang mucul dan dialami tokoh utama
“Sri Sumarah”. Tidak ada keberatan Hoerip terhadap hadirnya warna lokal dalam
cerpen ini.
Selanjutnya,
Asruchin T. Sam (1976) yang menyatakan hasil pengamatannya terhadap tokoh utama
Sri Sumarah sebagai wanita Jawa yang lengkap. Selain itu, cerpen ini
menampilkan budaya Jawa yang kental sehingga mengejutkan pembaca. Asruchin pun
tidak mempermasalahkan hadirnya warna lokal dalam cerpen ini.
Selain itu,
Korrie Layun Rampan (1977) berpendapat bahwa adanya warna lokal yang dominan.
Inilah yang mendapat perhatian dari para penanggapnya di kemudian hari. Korrie
mengemukakan tidak keberatan hadirnya warna lokal dalam cerpen ini, bahkan ia
mendukung kehadiran warna lokal tersebut.
2. Tanggapan
yang Kontra terhadap Hadirnya Warna “lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Tanggapan
yang kontra terhadap hadirnya warna lokal muncul dari Jacob Sumardjo
(1976) yang meragukan apakah karya sastra ini dapat dibaca oleh orang no-Jawa,
karena kadar bahasa Jawa yang digunakan cukup dominan. Walaupun ia termasuk
orang Jawa, tetapi ia gelisah banyak kosakata Jawa yang digunakan. Hal ini
mempersulit pembaca non-Jawa untuk memahami isi cerpen “Sri Sumarah”.
F. Analisis
Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1980-an
Berdasarkan
tanggapan-tanggapan pembaca yang telah diuraikan di atas (sebanyak 3 tanggapan,
ada 2 tanggapan yang pro terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri
Sumarah”; dan ada 1 tanggapan yang kontra terhadap hadirnya warna lokal dalam
cerpen “Sri Sumarah”). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran warna lokal tidak
menganggu.
1. Tanggapan
yang Pro terhadap Hadirnya Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Tirto
Suwondo (1985) menyatakan bahwa sikap tokoh utama Sri Sumarah memperlihatkan
citra seorang wanita Jawa. Sri Sumarah yang akan selalu sadar dan rela menerima
segala kejadian yang menimpa dirinya. Ia setuju dengan hadirnya warna lokal
dalam cerpen tersebut. Selanjutnya, Sundari Maharto (1987) yang menelaah Sri
Sumarah dari sudut citra wanita, menyimpulkan bahwa lewat cerpennya, Umar Kayam
menunjukkan dominasi pria dalam masyarakat Jawa. Sebagai isteri, wanita Jawa
dituntut mengabdikan diri kepada suami. Sebagai ibu, wanita harus bersedia
mengorbankan diri dan menderita bagi anak-anaknya sesuai dengan tokoh
pewayangan Sembrada dan Kunti.
2. Tanggapan
yang Kontra terhadap Hadirnya Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Ida Sundari
Husein mengemukakan kendala yang akan ditemui pembaca bukan penutur bahasa Jawa
akan menghadapi masalah-masalah berikut, yaitu penggunaan istilah dan ungkapan
bahasa Jawa dan latar belakang sosial budaya berupa peranan nama bagi orang
Jawa.
G. Analisis
Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1990-an
Berdasarkan
tanggapan pembaca yang telah diuraikan di atas (hanya ada 1 tanggapan yang pro
terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri Sumarah”; dan tidak ada
tanggapan yang kontra terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri
Sumarah”). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran warna lokal tidak menganggu.
Puji Santosa, dalam refleksi Sri Sumarah dan Bauk, terbit 15 September 1990. Ia
berpendapat bahwa Sri Sumarah adalah potret wanita Jawa yang selalu aktif
mengakrabi apa yang memang harus terjadi.
III. Penutup
Resepsi
sastra beorientasi pada pendekatan pragmatik yang memberikan perhatian utama
terhadap peranan pembaca dalam karya sastra. Tanggapan pembaca terhadap sebuah
karya sastra sejak dari dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca
yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan
periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Dari
tanggapan pembaca kritis dari tahun 70-an, 80-an, dan 90-an baik pro maupun
kontra pada cerpen “Sri Sumarah” karya Umar Kayam, Umar Kayam mampu melukiskan
warna lokal yang sangat kental dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun beberapa
pembaca kritis menganggap cerpen ini terlalu banyak istilah Jawa yang akan
menyulitkan pembaca non-Jawa.
No comments:
Post a Comment