Analisis Unsur Romantisisme pada Cerpen ”Wanita yang Ditelan Malam”
dan ”Si Bongkok dari Seoul”
Kembali ke Alam. Pada kedua cerpen terdapat unsur kembali ke alam
seperti pada karya sastra yang bersifat romantisisme. Bagi seorang penyair atau
sastrawan, alam akan dijadikan sebagai tempat kembali atau berpulang. Di dalam
masing-masing cerpen tersebut, ketika tokoh “aku” ditinggalkan oleh
pasangannya, mereka kembali ke alam untuk menenangkan diri. Mereka merasa alam
dapat menenagkan mereka. Berikut kutipan dari kedua cerpen yang dimaksud.
Di rumah, ketika menghabiskan malam-malam sendirian di
pendapa, menikmati suasana malam di lingkungan tempat tinggalku yang selalu
dikomentari orang sebagai tempat tinggal yang asri, nyaman, aku kadang teringat
wanita yang mengaku tinggal di kapal itu. Terlebih, kalau aku membaui sedap
malam, dan teringat matanya yang berkaca-kaca.
Kutipan tersebut adalah kutipan yang diambil dari
cerpen “Wanita yang Ditelan Malam”. Ketika wanita itu sudah menghilang seperti
di telan malam, tokoh “aku” menghabiskan malam-malamnya bukan lagi di sebuah
kafe, tetapi di taman yang asri dan nyaman. Tokoh “aku” menggunakan alam
sebagai alat untuk menenangkannya, mengingatkannya kepada kenangan wanita itu
karena hanya kenangan yang dia punya. Tokoh “aku” tidak lagi menghabiskan
malam-malamnya di kafe karena wanita itu sudah tidak kembali ke sana, sedangkan
di alam, pada bau sedap malam, tokoh “aku” dapat menemukan kenangannya terhadap
wanita itu. Pada cerpen “Si Bongkok dari Seoul” tidak berbeda dengan cerpen
tersebut. Tokoh utama kembali kepada alam ketika dia ditinggal oleh wanita dari
Ahyondong.
Situasi yang tidak terduga semacam ini membuatku
betul-betul jengkel. Seolah-olah aku diseret lagi pada perasaan yang membuatku
malas seperti pada saat-saat sebelum perang. Aku merasa kesepian, sebagaimana
kurasakan pada saat segalanya normal. Untuk memerangi perasaan kosong pada
diriku, aku berkelana sepanjang jalan dan gang-gang yang hancur selama
hari-hari selanjutnya. Dari puncak bukit tempat gereja, simbol keagungan Tuhan,
berdiri, kulihat puing-puing kota masih diselimuti asap.
Kutipan di atas adalah kutipan dari cerpen “Si Bongkok
dari Seoul”. Kejadian itu terjadi ketika dia tidak menemukan keberadaan wanita
dari Ahyondong di rumahnya. Tokoh “aku” kesepian dan merasa hampa. Untuk
memerangi perasaan kosong tersebut, tokoh “aku” menyusuri jalan. Dengan
demikian, tokoh “aku” menggunakan alam untuk menenangkan diri. Tokoh “aku”
secara tidak langsung kembali kepada alam.
Kemurungan Romantik. Kemurungan
romantik ini lebih diidentikan dengan sosok tokoh muram yang selalu menderita,
tertekan, dan terpinggirkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
kemurungan dapat diakibatkan dari keterbencian, cinta yang tidak bahagia,
penderitaan hidup dan hal-hal yang menyeramkan. Cara tokoh menghilangkan
kemurungan ialah dengan mendatangi suatu tempat, biasanya tempat suram.
Ciri-ciri ini sangat digambarkan dengan jelas pada
cerpen “Si Bongkok dari Seoul”. Di dalam cerita tersebut ketika dia ditinggal
oleh wanita dari Ahyondong itu, tokoh “aku” teringat pada gubuknya yang telah
lama ia tinggalkan. Dia pun teringat pada anjingnya bernama Willi yang entah
masih hidup atau sudah mati karena dia tinggalkan seorang diri.
Ketika kutemukan gubuk kecilku masih utuh, aku menarik
napas panjang. Sesuatu yang panas mengganjal di kerongkonganku dan aku hampir
menangis. Kupanggil Willi berulang-ulang tetapi tidak ada sahutan.
Sedangkan dalam cerpen ”Wanita yang Ditelan Malam”,
tidak diceritakan sang tokoh pergi ke suatu tempat karena kesedihannya
ditinggal wanita yang biasa ia temui di kafe. Hanya saja, tokoh aku bukannya
meninggalkan kenangan itu, dia terus melakukan hal yang membuatnya teringat
pada tokoh wanita itu, yaitu dengan duduk sendirian di halaman rumahnya dan
sengaja menghirup bau bunga sedap malam. Terkesan bahwa tokoh ”aku” sangat
menikmati kesendiriannya. Berbeda sekali dengan tokoh ”aku” pada cerpen ”Si
Bongkok dari Seoul” yang meninggalkan semuanya agar dia tidak teringat dengan
apa yang telah terjadi antara wanita dari Ahyondong dan dirinya.
Primitivisme. Di dalam ciri-ciri primitivisme tidak berbeda dengan
ciri kembali ke alam. Bedanya primitivisme ini mengajak pembaca untuk kembali
kepada nilai-nilai primitif yang pada hakikatnya kembali ke alam, kembali
kepada kesederhanaan, ketenangan, dan kedamaian hidup. Bisa dikatakan juga,
primitivisme ini lebih menggambarkan bahwa kehidupan desa atau masyarakat awal
yang masih alamiah merupakan kondisi yang terbaik dibanding kehidupan di kota.
Pada bagian ini, di dalam kedua cerpen tidak
digambarkan dengan jelas mengenai primitivisme. Namun, ada bagian yang bisa
dimabil sebagai contoh bahwa kedua cerpen ini memang romantisisme. Pada cerpen
”Wanita yang Ditelan Malam” ada bagian ketika sang wanita bercerita bahwa dia
tinggal di pelabuhan yang terletak di utara kota. Dalam perjalanan rumahnya,
wanita itu harus melewati Rawa Bangkai, gudang-gudang pelabuhan, penampungan
sampah di Warakas, dan melwati lorong-lorong, salah satunya lorong Lagoa.
Rawa Bangkai, tempat pembuangan sampah, kuburan….
Semua daerah yang disebutnya rasanya cuma kukenal lewat berita kriminal.
Untungnya dia bercerita tidak dalam rangka ingin diantar pulang, melainkan
sekadar menggambarkan kebiasaan-kebiasaannya kalau berpergian malam hari
seperti itu.
Dari kutipan tersebut, sangat jelas bahwa tokoh ”aku”
menggambarkan adanya tempat-tempat lokasi pembunuhan di kota utara. Dengan kata
lain, tokoh ”aku” mengakui bahwa kota bukanlah tempat yang aman, apalagi di
malam hari. Namun sayang, Bre Redana, di dalam cerpen ini tidak menyinggung
sedikit pun tentang desa atau menggambarkan dengan jelas bahwa desa lebih aman
dibandingkan kota.
Tidak berbeda dengan cerpen Bre Redana, Kwon Taeung
sebagai pengarang cerpen ”Wanita dari Ahyondong” juga tidak menceritakan desa.
Dia hanya menceritakan kota tempat tinggalnya sedang dilanda perang sehingga
banyak yang mengungsi ke daerah-daerah yang aman, sedangkan dia tetap tinggal
di kota itu. Diceritakan pula, pemboman dan penyerangan dilakukan di
gedung-gedung dan gang-gang di dalam kota. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya
kota yang tokoh ”aku” tempati sekarang tidaklah aman.
Sentimentalisme. Ciri bahwa karya sastra itu terdapat sifat
sentimentalisme adalah adanya linangan airmata menandakan sebuah kesedihan atau
kebahagiaan. Di dalam cerpen ”Wanita yang Ditelan Malam” sama sekali tidak ada
sifat sentimentalisme di dalamnya. Tokoh ”aku” hanya merasa sendiri tanpa
menunjukkan ekspresi yang lebih dari itu. Tidak ada tangisan, keluhan, atau
linangan airmata. Sedangkan dalam cerpen ”Si Bongkok dari Seoul”, beberapa kali
pengarang menceritakan tokoh ”aku” menangis. Yang pertama ketika untuk pertama
kalinya tokoh wanita ingin meninggalkannya, dia memohon-mohon sambil menangis.
Yang kedua ketika dia melihat gubuknya yang sudah lama tidak ia temui, ia
katakan bahwa ia hampir menangis.
Dengan berlinangan airmata aku memohon padanya untuk
tinggal denganku, kalaupun tidak untuk selamanya, paling tidak selama masa
perang. Aku tidak dapat menahan beban kesepian ditinggalkan wanita dari
Ahyondong.
Hal ini menandakan perbedaan tokoh ”aku” pada
masing-masing cerpen. Tokoh ”aku” dalam cerpen ”Si Bongkok dari Seoul” nampaknya
sangat sentimental. Hanya karena persoalan wanita, dia menangis. Padahal, di
dalam kehidupan ada istilah ”Pria tidak menangis”. Kwon Taeung sepertinya
memang ingin menggambarkan sosok ”aku” yang diciptakan dengan tubuh bongkok dan
itu membuatnya menjadi sentimental dalam menjalani kehidupan. Dia merasa bahwa
tidak ada wanita lain yang mau hidup dengan dirinya selain wanita dari
Ahyondong itu.
Individualisme dan Eksotisme. Pada kedua cerpen, digambarkan bahwa tokoh ”aku” adalah sosok yang hidup mandiri, seorang diri, dan bersifat individualisme. Namun, sifat eksotisme yang menceritakan sesuatu yang irrasional tidak digambarkan di dalam kedua cerpen tersebut.
No comments:
Post a Comment