A.
Analisis Sintaksis
Analisis ini
disebut analisis pengaluran atau alur.
·
Analisis Urutan Satuan Isi Cerita (Urutan Satuan Teks
Atau Sekuen) Dan Uraiannya
Analisis
ini adalah analisis pengaluran, yaitu bagaimana cerita (alur) ditampilakan.
1.
Orang tua yang dihambat masuk perumahan mewah oleh
sekuriti komplek.
2.
Polisi lalu lintas datang dan ikut campur.
3.
Orang tua tersebut ingin bertemu dengan anaknya yang
tinggal di perumahan mewah.
4.
Polisi lalu lintas meragukan orang tua yang menyebut
anaknya tinggal di perumahan mewah dan melarangnya masuk.
5.
Orang tua tetap bersikeras masuk perumahan mewah untuk
bertemu dengan anaknya yang tinggal di perumahan mewah.
6.
Polisi lalu lintas mencurigai barang bawaan orang tua
yang salah satunya adalah ayam kampung, karena dianggap membahayakan ayam
kampung tersebut ditembak dengan pistol oleh pilisi.
7.
Polisi masih belum percaya tetap tidak mengijinkan
orang tua itu masuk ke dalam komplek perumahan mewah.
8.
Polisi lalu lintas menghina orang tua itu dengan
menyebutnya sebagai orang fakir miskin.
9.
Orang tua itu tersinggung dengan perkataan Polisi
Lalulintas.
10. Orang Tua
merasa diperlakukan seperti perlakuan Malin Kungang terhadapa ibunya.
11. Karena
perkataan yang kurang enak, orang tua itu menyebut polisi lalu lintas sebagai
Malin Kundang dan mengutuknya menjadi batu.
12. Polisi heran
dengan perkataan Orang Tua.
13. Seorang laki
– laki beserta istrinya datang dengan menggunakan mobil kelas termahal.
14. Keduanya
merasa bahwa orang tua itu adalah ayahnya sendiri, begitu juga dengan istrinya
yang merasa bahwa orang tua itu adalah ayah mertuanya.
15. Laki – laki
menghampiri orang tua itu dan memeluknya dengan meteteskan air mata.
16. Polisi lalu
lintas tercengan melihat peristiwa tersebut.
17. Orang tua
tersebut dibawa masuk mobil berkelas oleh anaknya.
18. Orang tua
itu kembali memanggil polisi dengan sebutan Malin Kundang.
19. Polisi
terpaku seakan tidak percaya atas apa yang telah dilihatnya.
20. Polisi lalu
lintas manaiki kendaraan roda duanya menuju markas kepolisian tempat diamana ia
bekerja.
21. Sampai di
markas ia masih teringat dengan perkataan orang tua yang menyebutnya
sabagai malin kundang.
a. Ingatan
Polisi lalu lintas kembali pada peristiwa saat dirinya masih
berhadapan dengan orang tua yang telah diremehkannya.
b. Polisi Lalu
Lintas teringat pengalaman saat dulu ia naik taksi bersama keluarganya.
22. Kebingungan
Polisi, dia masih bertanya – tanya pada dirinya sendiri, kenapa orang tua itu
menyebutnya malin kundang, apa hubungannya dirinya dengan Malin Kundang.
a. Waktu itu
hujan lebat, lampu lalu lintas jalan arah dimana polisi Lalu Lintas itu menaiki
taksi sedang berwarna merah.
b. Polisi Lalu
Lintas tersebut lalu mencoba menguji ketaatan lalu lintas terhadap sopit taksi
yang ia naiki.
c. Ternata si
sopir taksi itu tidak mau katena ia menaati peraturan lalu lintas.
23. Lelaki memnawa
ayahnya yang baru datang dari kampng untuk jalan – jalan bersamanya dan
istrinya.
24. Lelaki
tersebut membawa langsung mobilnya.
25. lelaki
tersebut merasa puas bisa menyenangkan ayahnya itu.
26. Saat itu
cuaca sedang hujan lebat.
27. Lampu lalu
lintas dekat perempatan berwarna merah.
28. Si istri
berkata aman terhadap lelaki atau suaminya pertanda untuk jalan terus saja.
29. Lelaki tidak
menuruti perkataan istrinya karena ia melihat ada patung polisi. Dan ia
mengormati patun polisi tersebut.
30. Dia tidak
mau untuk melanggar peraturan lalu lintas.
31. Orang tua
mendengar pembicaraan anak dan menantunya.
32. Orang tua
tersebut melihat ada sosok patung polisi dibawah guyuran hujan lebat.
33. Dia melihat
patung polisi itu dari jendela mobil.
34. Orang Tua
merasa iba terhadap patung – patung polisi yang berdiri di bawah hujan lebat.
35. Orang Tua
mengira polisi yang melarangnya masuk komplek perumahan sudah mejadi batu.
·
Analisis Hubungan Fungsi-Fungsi Utama (Hubungan Logis)
Berikut ini marilah kita lihat hubungan logis cerita,
yaitu hubungan logis antar fungsi utama yang merupakan kerangka cerita cerpen
“Si Lugu dan Si Malin Kundang” karya Hambsad Rangkuti.
Fungsi – fungsi utama (alur yang menampilkan kerangka
cerita)
1.
Permasalahan yang berkenaan dengan problematika sosial
yang berada di masyarakat dan mengangkat permasalahan yang berkenaan
dengan masalah kutukan : Orang Tua dari kampung tidak diperbolehkan masuk
komplek perumahan olek Polisi karena penampilannya seperti fakir miskin. (1, 8)
2.
Polisi menyimpang dari tugas yang sebenarnya : ikut
campur melarang Orang Tua masuk ke dalam komplek perumahan mewah. (2, 4)
3.
Keteguhan Orang Tua: untuk tetap masuk ke dalam
Komplek untuk bertemu anaknya. (5)
4.
Kekejaman Polisi saat menembak ayam milik Orang Tua
yang dibawanya dari kampung untuk anaknya. (6)
5.
Kekecewaan Orang Tua : Ayam yang dibawanya dari
kampung dibunuh kaena dianggap akan menyebarkan virus. (6)
6.
Kesombongan Polisi: yang tetap melarang Orang Tua
untuk masuk ke komplek perumahan mewah. (7)
7.
Usaha Orang Tua untuk meyakinkan Polisi bahwa ankanya
memang salah satu pemulik rumah dalam komplek.
8.
Sifat kearoganan polisi yang tetap melarang Orang Tua
untuk masuk komplek perumahan.
9.
Pelecehan yang dilakukan Polisi : mengatakan bahwa
Orang Tua seperti fakir miskin. (8)
10. Kemarahan
Orang Tua memuncak : Polisi dianggap sebagai masyarakat Malin Kundang dan
mengutuknya menjadi batu. (9, 10, 11)
11. Polisi
terheran – heran dengan perkataan Orang Tua. (12)
12. Kesadaran
polisi : bahwa Orang Tua merasa diperlakukan seperti yang perlakuan Malin
Kundang terhadap ibunya. (10, 11)
13. Sebuah mobil
mewah yang dikendarai Lelaki beserta istrinya berhenti. (13, 14)
14. Kegembiraan
Lelaki apat bertemu dengan ayahnya (13, 14, 15)
15. Lelaki dan
istrinya turun dari mobil dan memeluk ayahnya dengan perasaan haru. (15)
16. Polisi dan
Sekutiri tercengan melihat Orang Tua dan Lelaki saling berpelukan. (16)
17. Lelaki
membawa ayahnya masuk mobil dan pulang. (16)
18. Ketidakpercayaan
Polisi dan sekuriti atasa yang dilihatnya. (12, 19)
19. Polisi
kembali ke markas. (20)
20. Kebimbangan
polisi. (12.1, 22)
21. Polisi masuk
ke dalam gudang dan melihat – lihat patung – patung polisi. (20)
22. Polisi
terheran – heran : patung – patung tersebut sangat mirip dengannya. (20)
23. Polisi
teringat sesuatu : saat ia dan keluarganya menaiki taksi saat hujan lebat
(21.1, 21.2.1)
24. Polisi
menguji ketaatan berkendara supir taksi. (22.2.2)
25. Supir taksi
taat teradap peraturan lalu lintas. (22.2.2)
26. Lelaki
mebawa ayahnya (Orang Tua) jalan – jalan dan saat itu hujan lebat. (23)
27. Istri dari
Lelaki menyuruh suaminya melanggar rambu – rambu lalu lintas. (26, 27, 28)
28. Lelaki tetap
taat pada aturan lalu lintas. (29)
29. Orang tua
mearasa iba saat melihat patung – patung polisi yang berdiri di pinggir dalan
dan di bawah hujanyang lebat. (34)
30. Orang Tua
mengira Polisi yang malarangnya masuk komplek perumahan sudah menjadi batu.
(35)
Uraian Fungai – fungsi Utama
Unsur cerita
pertama yang menjadi motor pembuka jalannya cerita adalah adanya problematika
sosial. Orang Tua dari kampung tidak diperbolehkan masuk komplek perumahan olek
Polisi karena penampilannya seperti fakir miskin
1.
Dengan adanya kejadian itu,Polisi menyimpang dari
tugas yang sebenarnya yaitu ikut campur melarang Orang Tua masuk ke dalam
komplek perumahan mewah
2.
Namun Orang Tua tetap ingin masuk ke dalam Komplek
untuk bertemu anaknya
3.
Saat itu Polisi melihat ayam yang dibawa Orang tua
untuk anaknya, kemudian ia menembak ayam tersebut
4.
Hal tersebut tentunya membuat kecewaan Orang
5.
di tengah rasa kecewa yang dialami Orang Tua, polisi
tetap melarang Orang Tua untuk masuk ke komplek perumahan mewah
6.
Orang Tua berusaha tetap meyakinkan Polisi bahwa
ankanya memang salah satu pemilik rumah dalam komplek
7.
Semakin lama, Polisi bersikap arogan dan semena – mena
terhadap Orang tua
8.
Ditambah dengan adanya kata – kata pelecehan yang
dilakukan Polisi dengan mengatakan bahwa Orang Tua seperti fakir miskin
9.
Perkataan Polisi tentu sangat membuat Orang Tua
semakin geram terhadapnya
10. Kemarahan
Orang Tua semakin memuncak, Polisi dianggap sebagai masyarakat Malin Kundang
dan mengutuknya menjadi batu
11. Hal tersebut
membuat Polisi terheran – heran dengan perkataan Orang Tua
12. Namun,
akhirnya polisi sadar bahwa Orang Tua merasa diperlakukan seperti yang
perlakuan Malin Kundang terhadap ibunya
13. Tidak lama
kemudian, ketegangan mulai reda saat ada Sebuah mobil mewah yang
dikendarai Lelaki beserta istrinya berhenti
14. Suasana
berubah, ternyata pengendara mobil mewah adalah anak dari Orang Tua, ia sangat
gembira dapat bertemu dengan ayahnya
15. Lelaki dan
istrinya turun dari mobil dan memeluk ayahnya dengan perasaan haru
16. kejadian
tersebut mebuat Polisi dan Sekutiri tercengang melihat Orang Tua dan Lelaki
saling berpelukan.
17. Lelaki
membawa ayahnya masuk mobil dan pulang
18. Dengan
perasaan bingung dan terheran – heran, Polisi kembali ke markas
19. sesampainya
di markas pun polisi masih memikirkan kejadian di gerbang komplek perumahan
20. Setelah
membersihlkan pistonya dari darah ayam, Polisi tertarik masuk ke dalam gudang
dan melihat – lihat patung – patung polisi
21. Di dalam
gudang Polisi terheran – heran melihat patung – patung tersebut karena patung
tersebut sangat mirip dengannya
22. Karena
petung – patunga tersebut, lalu Polisi teringat sesuatu, yaitu saat ia dan
keluarganya menaiki taksi saat hujan lebat
23. Saat itu ia
tak memakai seragam dinas, Polisi menguji ketaatan berkendara supir taksi.
24. Ternyata
Supir taksi taat teradap peraturan lalu lintas, si supir menghormati patu –
patung polisi yang berdiri di pinggiran jalan
25. Di sisi
lain, Lelaki mebawa ayahnya (Orang Tua) jalan – jalan dan saat itu hujan
lebat.
26. Si Istri
juga menyuruh suaminya melanggar rambu – rambu lalu lintas dengan mererjang
lampu rambu yang saat itu berwarna merah
27. Namun
suaminya, atau Lelaki tetap taat pada aturan lalu lintas dan menghormati
patung – patung polisi yang berdiri di pinggir jalan
28. Saat itu
pula Orang tua melihat patung polisi dan ia mearasa iba saat melihat
patung – patung polisi itu berdiri di pinggir jalan dan di bawah hujanyang
lebat
29. Orang Tua
teringat pada polisi yang menghadangnya masuk komplek perumahan dan
mengira Polisi yang malarangnya itu sudah menjadi batu
B.
Analisis Sematik Naratif (Analisis
Paradigmatik / Analisis In Absentia)
·
Analisis Tokoh
Analisis
sematik ini digunakan untuk meneliti tokoh, latar, tema dan gagasan yang
terdapat dalam cerpen. Pertama kita dibahas mengenai tokoh. Dari nama-nama
tokoh dalam cerpen tersebut yaitu Orang tua, Polisi Lalu Lintas, Lelaki, Istri,
Sekuriti Komplek, dapat kita lihat bahwa Orang tua memiliki anak yang kaya
penghuni komplek elit dan si Polisi Lalu Lintas yang semena-mena terhadap Orang
Tua.
1. Orang Tua
Hampir tidak ada gambaran fisik dari
tokoh Orang Tua. Perbaca hanya mengetahui kaalau tokoh Orang Tua ini sudah
berumur. Tokoh Orang Tua ini adalah seorang dari kampung yang memiliki seorang
anak sudah sukses. Ankanya tinggal di perumahan yang mewah.
“Bapak tentu
datang dari kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”
“Aku akan mendatangi rumah anakku di
dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah ini.”
Masalah yang dialami oleh orang tua dimana
anaknya tinggal di komplek perumahan elit dia tidak diizinkan mesuk ke dalam.
Pada saat Polisi Lalu lintas yang saat itu sedang lewat Ia dilarang masuk oleh
Sekuriti penjaga komplek perumahan. Saat itu, barang yang berupa ayam ditembak
atau dibunuh oleh Polisi Lalu Lintas dengan menggunakan pistol dibawa dari
kampung untuk anaknya. Hal itu membuat Orang Tua tercengang melihatnya.
Ia terheran-heran melihar kelakuan si Polisi yang tidak manusiawi Polisi
menganggap Ayam yang dibawa Orang Tua dianggap membahayakan menyebarkan
virus jadi dimusnahkan..
“Ayam ini tidak boleh dibiarkan hidup di
sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya
pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik daripada membiarkan virus yang
dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” Dia arahkan moncong pistol ke
kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yang menganga,
kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah menjulur mengeluarkan
liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai
menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia
pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam
itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia
menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah
itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa.
Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam
lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering.
Orang tua itu ternganga melihat semua itu.”
Tokoh Orang Tua masih terheran-heran
karena ia tetap tidak diperbolehkan masuk dalam komlpek perumahan untuk
bertemu anaknya. Polisi lalu lintas tidak percaya kalau anak dari Orang
Tua tersebut tinggal di komplek perumahan mewah itu hanya karena ia datang dari
kampung.
“O, begitu. Tapi itu tidak mungkin.
Tidak masuk akal kami. Kami tidak yakin Bapak adalah ayah dari salah seorang
penghuni rumah mewah ini.”
Tokoh Orang Tua juga menunjukkan watak yang teguh pendirian. Hal itu terbukti saat orang tua itu
bersikeras akan menemui anaknya yang kaya raya.
“Aku tetap akan
mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah
ini.”
Puncak kemarahan dari tokoh Orang
Tuan yaitu saat Polisi selalu merendahkannya. Polisi Lalu Lintas mengatakan
padanya bahwa pakaiannya itu adalah pakaian tak berpunya dan hampir sama dengan
pakaian fakir miskin. Orang Tua semakin geram mendengar perkataan yang tak
berperikemanusiaan itu.
“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak
mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini
adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama
dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
Orangtua tersebut sangat kecewa
dengan perkataan dari polisi lalu lintas, Orang Tua pun mengibaratkan Polisi
Lalu Lintas dan Sekuriti komplek sebagai Malin Kundang, dan mengutuknya menjadi
batu. Orang Tua mengatakan seperti itu karena perlakuan Polisi dan Sekuriti
komplek perumahan mewah itu memperlakukannya seperti tokoh Ibu yang
diperlakukan semena-mena oleh anaknya.
“Jadi Engkau tidak percaya kalau aku
adalah orangtua salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu?
Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu! Engkau
akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu. Polisi
lalu lintas itu terkejut.”
Kemarahan dan kekecewaannya terhadap
Polisi dan Sekuriti komplek menurn saat ada sebuah mobil mewah datang dan yang
keluar dari mobil mewah itu tidak lain adalah anaknya sendiri dan di langsung
memeluknya dengan perasaan haru.
“Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke
arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang
menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama
istrinya sedang pulang dari bepergian.
“Tunggu sebentar,” katanya. Dia
perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh kepada istrinya.
“Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti ayah. Ya! Itu Ayah!
Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga.
Mertuaku!”
“Ya, itu adalah ayah!”Lelaki itu membuka
pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu
melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam
tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya.”
Namun, kekecewaanya terhadap Polisi
dan Sekuriti karena perlakuan yang semena-mena terhadapnya tetap masih
terlihat. Saat Orang Tua masuk mobil mewah milik anaknya dia masih sempat
mengatakan kata “Malin Kundang” kepada Polisi dan sekuriti.
“Malin Kundang,” katanya. Anak dan
menantunya tidak mendengar jelas kata-kata itu. Pintu ditutup si anak. Dia
masuk menyusul istrinya di kursi belakang.”
Tokoh Orang Tua dengan perasaan
sedikit kesal dan kecewa, menceritakan perlakuan tidak baik dari Polisi dan
sekuriti terhadapnya kepada anaknya. Apalagi saat ayam yang dibawanya dari
kampung ditembah oleh polisi. Namun si anak mejelaskan bahwa ayam memang tidak
diperbolehkan mesuk komplek.
“Ayah juga membawa
ayam, tapi ayam itu mereka bunuh dan mereka bakar di dalam lubang.”
“Maafkan mereka ayah.
Ayam hidup tidak boleh dibawa masuk ke dalam kompleks.”
2. Polisi Lalu
Lintas
Polisi lalu lintas adalah seorang polisi yang
mengurus lalu lintas. Tokoh polisi lalu lintas berwatak arogan, ikut campur urusan
orang lain, dan suka melecehkan orang.
“Di sini tinggal
orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah seorang
penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang
tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
Sebenarnya tokoh Polisi lalu lintas ini menyimpang
dari tugasnya. Seharusnya ia bertugas untuk mengatur lalu lintas jalanan, bukan
untuk ikut campur masalah Orang Tua yang ingin bertemi dengan anaknya, bahkan
sampai melarangnya untuk mesuk perumahan tempat anaknya tinggak hanya karena
penampilannya kampungan.
“Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan
menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam
itu bukanlah tugasnya.”
Keterlibatan tokoh Polisi dalam cerita dimulai saat ia
melihat ada Orang tua yang berpakaian orang kapmung ingin masuk ke sebuah
komplek perumahan mewah, dan ia Polisi itu ikut campur dan melarangnya
masuk komplek perumahan.
“Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan
menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam
itu bukanlah tugasnya.”
Sifat arogannya mulai terlihat saat ia melihat Orang
Tua memabawa seekor ayam, dan ayam tersebut dibunuh dengan pistol miliknya. Ia
membuat Orang tua sangat kecewa kerna ayam yang dibawa untuk anaknya dari
kampung dibuhunya dengan alasan akan menyebarkan virus. Dan ia beru meminta
maaf kepada orang tua saat ayam sudah dibunuh dan kan dibakar.
“Ayam ini tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar kita.
Kulihat tanda-tanda pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol.
“Mengorbankan sebutir peluru lebih baik daripada membiarkan virus yang
dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” Dia arahkan moncong pistol ke
kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yang menganga,
kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah menjulur mengeluarkan
liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai
menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia
pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam
itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia
menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah
itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa.
Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam
lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering.
Orang tua itu ternganga melihat semua itu.”
“Maaf Bapak. Ini terpaksa saya lakukan.” Katanya
sambil menggosokkan gagang pistol ke rumput.”
Polisi tidak mempercayai Orang Tua yang mengatakan
bahwa anaknya adalah salah satu pemilik rumah di komplek perumahan mewah
tersebut. Dia tidak memepercayai karena penampilan Orang Tua yang sangat kampungan.
Bahkan, ia melarang tegas Oang Tua itu masuk komplek perumahan dimana
anaknya tinggal. Padahal Orang Tua sudah bersikeras meyankinkan bahwa anaknya
memang tinggal di perumahan tersebut.
“O, begitu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal
kami. Kami tidak yakin Bapak adalah ayah dari salah seorang
penghuni rumah mewah ini.”
“Jadi Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah ayah
dari salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk
mencari rumah anakku. Aku tidak boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku
menemukan pintu rumah anakku.”
“Tidak boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah
mengambil alih menangani orang tua itu. Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi
lalu lintas. Dia telah mengambil alih tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang
dia merasa dialah yang harus menangani orang tua itu.”
Perlakuannya terhadap Orang Tua semakin mejadi saat
dia mengatakan bahwa rang tua itu penampilannya sama dengan fakir miskin. Dia
mengatakan hal itu sekan – akan dia adalah orang yang berkuasa. Dia memebuat
Orang Tua mejadi geram karena perkataanya yang sangat merendahkan. Dan itu
sangat menujukkan sifat kearogannya.
“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan
tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah
Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan
pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
Kutipan diatas menunjukkan watak Polisi yang sangat
semena-mena terhadap Orang Tua. Saat itu
pula Polisi Lalu Lintas dianggap sebagai masyarakat Malin Kundang oleh Orang
Tua. Dia mengatakan hal tersebut karena Polisi memeperlakukan orang tua dengan
semena-mena. Mendengar perkataan itu, Polisi pun terkejut dan menganggapnya
sabagai lelucon semata.
“Jadi Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua
salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah
masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu! Engkau akan menjadi
batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu
terkejut.”
Tak lama kemudian Polisi Lalu Lintas dibuat terkejut
saat ada seorang laki – laki bersama istrinya turun dari mobil mewah dan
menghampiri Orang Tua yang dipanggilnya ayah dan membawanya masuk dalam mobil
mewah miliknya. Seketika itu polisi tercengang melihat itu. Mungkin ia merasa
salah paham terhadap Orang Tua tersebut.
“Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu
gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh
pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya
sedang pulang dari bepergian.”
Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya
diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke
lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh
orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan
laki-laki tua itu.
“Ayah!” Katanya. Si Polisi lalu
lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga kompleks perumahan mewah
itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu gerbang.”
Sesampainya di markas tempat ia bekerja, kebingungan
Polisi Lalu Lintas itu masih berlanjut. Dia masih bertanya – tanya mengapa
Orang Tua itu mengatakan bahwa ia temasuk masyarakat Malin Kundang, apa
hubungannya ia dengan Malin Kundang.
“Polisi lalu lintas itu masih juga terbingung-bingung.
Keterpukauannya disentakkan bunyi gerbang yang ditutup. Dia jadi teringat apa
yang diucapkan orang tua itu. Malin Kundang. Apa hubungannya dengan aku. Malin
Kundang memang menjadi batu dalam lagenda itu. Dia sentakkan kepalanya dari
keterpukauannya untuk mengembalikan kesadarannya.”.
Saat masuk gudang di markas tempat di bekerja, dia
tersenyum melihat patung – patung polisi yang terpajang di dalam. Dalam
benaknya dia berkata, betapa mirip patung – patung polisi itu dengannya. Saat
itu juga Polisi teringat saat ia menaiki taksi bersama keluarganya menaiki
taksi dan saat itu hujan lebat, ia menyuruh supir taksi untuk melanggar
peraturan lalu lintas dengan menerjang lampu rambu – rambu lalu lintas yang
saat itu berwarna merah. Namun sopir menolak untuk melanggarnya dan
mengingatkannya agar menghormati patung – patung polisi lalu lintas yang
dipajang di pingiran jalan.
“Mirip betul. Mirip
betul dengan diriku kalau aku mengenakan pakaian dinas. Pematung yang terampil.
Dia berhasil memindahkan profesi polisi lalu lintas ke dalam diri patung-patung
ini.” Dia kembali senyum memandang satu per satu patung-patung itu.
Dia tersenyum. Mungkin
dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi bersama keluarga. Waktu itu
hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan dari arah taksi yang dia
naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si sopir. “Tidak ada
kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada
peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu. Dia memberi
hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di depan
kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu hijau.
Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan para pengguna
jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang sedang tidak
mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir taksi itu.”
Hal tersebut menunjukkan bahwa seharusnya ia
berperilaku baik. Patung – patung yang berdiri di pinggiran jalan saja
dihormati oleh pengendara, walaupun itu hanyalah sebuah patung, namun patung –
patung tersebut merupakan sebagai peringatan agar selalu menaati peraturan lalu
lintas.
3. Lelaki
Lelaki adalah anak dari Orang Tua yang
datang dari kampung, lelaki ini kaya raya, baik, tidak sombong walaupun orang
kaya, sopan kepada orangtuanya, dan tidak lupa pada orangtuanya walaupun orang
tua itu berasal dari kampung.
“Sebuah mobil kelas
termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk
di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan.
Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.”
Walaupun ia sudah menjadi orang yang berada atau orang
yang sudah kaya, memiliki mobil mewah dan tinggal di perumahan elit, namun ia
tetap mejunjukkan rasa hormat dan sayang kepada ayahnya. Dia juga tidak lupa
akan ayahnya yang datang dari kampung itu. Walaupun ayahnya berpenampilan
kempungan tetap saja ia menujukkan rasa sayang kepadanya.
“Tunggu sebentar,”
katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh
kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti
ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung,
dan sebuah nangka.”
“Ya, itu adalah
ayah!”
Lelaki itu membuka
pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata lelaki
itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes.
Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya.
“
Tidak hanya itu, kasih sayang terhadap ayahnya itu
juga ia tunjukkan dengan membawa ayahnya itu jalan – jalan dengan menaiki
kendaraan mobil mewahnya.
“Lelaki yang didatangi
ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota. Kali ini
lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk di
sampingnya. Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya.”
Lelaki itu juga menunjukkan sifat sabagai pnengendara
yang mematuhi peraturan lalu lintas dan rasa hormat terhadap patung polisi lalu
lintas yang dipajang di pinggir jalanan . Saat istrinya menyuruhnya menerjang
lampu rambu – rambu yang berwarna merah, da menolak dan lebih memilih berhenti
walaupun saat itu hujan lebat dan tidak ada polisi, yang ada hanya patu – patung
polisi saja, namun Lelaki tetap mengormati patung polisi itu.
“Waktu itu hujan
lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu sampai di
perempatan. Mobil dia hentikan. Setelah menunggu agak lama, si istri berpaling
ke kiri dan ke kanan, lalu berkata.”
“Aman Pa. Jalan
saja.”
“Jangan. Kita harus
patuh pada peraturan lalu lintas. Coba lihat polisi itu. Dia hormat kepada kita
di bawah guyuran hujan lebat.”
4. Istri
Istri adalah istri dari lelaki dan menantu ayah atau orangtua. Ia memiliki sikap
baik hati, turut pada suami, tidak sombong, dan sopan terhadap mertuanya. Walaupun mertuanya hanya orang
kampung, tapi tokoh Istri tetap menyayangi dan menghormati mertuanya itu.
“Ya, betul. Itu
ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Si istri mencium
tangan laki-laki tua itu.”
“Si wanita memeluk
ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan.“
5. Sekuriti
Sekuriti adalah penjaga kompleks perumahan
mewah tempat dimana anak Orang Tua tinggal, tokoh sekuriti ini meremehkan
oranglain dengan memandang orang sebelah mata, ia menghambat orangtua masuk
kompleks hanya dengan alasan orangtua itu dari kampung.
“Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam”
Bersama dengan polisi lalu lintas ia menghalango atau
melarang tokoh Orang Tua masuk ke koomplek perumahan. Ia juga ikut berperan
dalam aksi pembasmian ayam yang dibawa Orang Tua dari kampung untuk anaknya.
“Dia menoleh ke
sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah itu
mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa. Dia
pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam
lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering.
Orang tua itu ternganga melihat semua itu.”
Namun, pada akhirnya ia juga terheran – heran karena
ternyata Orang tua tersebut benar – benar memilki anak yang tinggal di komplek
dimana ia bekerja disana.
“Penjaga kompleks
perumahan mewah itu membuka pintu gerbang selebar-lebarnya dan tampak dia
terbingung-bingung.”
·
Analisis Ruang
Ruang yang ditapilkan dalam teks
cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” karya Hamsad Rangkuti menyatu
dengan waktu dan suasana.
a. Analisis
ruang yang bergerak
Lelaki bersama dengan isrtinya mengendarai mobil mewah
dengan seorang sopir, mereka baru pulang bapergian. Mereka berbelok
memasuki gerbang komplek perumahan mewah. Isteri lelaki melihat ada seorang
lelaki tua yang ia kenal. Lelaki tersebut menyuruh sopirnya menghentikan
mobilnya karena ia merasakan hal yang sama dengan istrinya, melihat seseorang
yang ia kenal ydan tidak lain adalah ayahnya dari kampung.
“Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu
gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh
pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya
sedang pulang dari bepergian.”
“Tunggu sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua
yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti
ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia
bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
Saat itu Orang Tua sedang menghadapi Polisi dan
Sekuriti komplek yang melarangnya masuk untuk menemui ankanya. Lelaki yang
masih di dalam mobinlnya langsung mengenali Orang Tua tersebut adalah ayahnya,
dia langsung turun dan memeluknya dengan perasaan haru. Suatu peristiwa yang
mengharukan, ayahnya adalah seorang yang datang dari kampung untuk menemui
anaknya yang sudah kaya dan tinggal di komplek perumahan mewah. Walaupun sedah
menjadi orang kaya, Lelaki tetap menunjukkan rasa sayang dan hormatnya kedada
ayahnya yang datang dari kampung.
Dari penjelsan tersebut membuktikan bahwa latar atau
tempat yang berupa mobil tersebut menjurus atau mencerminkan perasaan dari para
tokoh dalam cerita. Hal yang sama juga terlihat jelas saat Polisi Lalu Lintas
bersama keluarganya menaiki taksi.
“Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik
taksi bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan
jalan dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji
ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.”
“Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan
lebat itu. Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di
sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.”
“Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk
mengingatkan para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai
polisi yang sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang
dikatakan sopir taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak
mengindahkannya walau sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi
Tidur.”
Kutipan tersebut menunjukkan pada saat itu hujan lebat
dan dalam pejalanannya mereka bertemu rambu – rambu lalu lintas yang sedang
berwarna merah, dan itu artinya mereka harus beehenti, si Polisi Lalu Lintas
menguji ketaatan supir dengan menyuruh sang supir untuk menerjang lampu rambu –
rambu tersebut namun, si supir menolaknya dan tetap mematuhi peratutan rambu –
rambu. Walaupun saat itu hujan lebat, peraturan lalu lintas tetap harus
ditaati. Apalagi ada patung-patung polisi yang selalu setia berdiri di
pinggiran jalan guna memperingatkan pengguna jalan agar tetap disiplin menaati
peraturan jalan.
b. Analisis
ruang yang tak bergerak
Orang tua datang dari kampung untuk mertemu dengan
seorang anaknya yang tinngal di dalam komplek perumahan mewah,
namun ia dihadang di depan gerbang komplek oleh sekuriti komplek perumahan
mewah tersebut. disusul dengan datangnya seorang polisi lalu lintas yang ikut
melarangnya masuk.
“Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan
kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah
tugasnya.”
Gerbang perumahan yang seharusnya sebagai tempat
keluar masuk penghuni perumahan, namun menjadi tempat berdebat antara Polisi
dan sekuriti yang melarang Orang tua yang akan menemui anaknya. Orang tua sudah
berkali – kali meyakinkan polisi dan sekuriti komplek namun tetap saja ia tidak
diperbolehkan masuk dengan alasan penampilannya tidak seperti orang kaya
melainkan seperti fakir miskin.
Di gerbang perumahan komplek pula akhirnya Polisi
mengetahui bahwa Orang tua tersebut memang memiliki anak yang tidak lain adalah
slah satu penghuni komplek perumahan mewah itu.
Di tempat itulah Orang tua dihina dan direndahkan oleh
polisi dan sekuriti komplek. Orang Tua di buat geram dengan perlakuan Polisi
dan Sekuriti yang kurang sopan terhadap orang yang lebih tua.
·
Analisis Waktu
Analisis waktu biasanya erat kaitannya dengan analisis
tempat dan suasana. Orang Tua datang dari kampung untuk mengunjungi anaknya
yang tinggal di sebuah komplek perumahan mewah, namun hal itu tehambat saat
sekuriti melarangnya masuk. Tidak lama kemudian Polisi datang dan ikut
melarang Orang Tua masuk wilayah perumahan. Lalu oarng tua menganggap nya
sebagai masyarakat Malin Kundang karena memeprlakukannya sama seperti Malin
Kundang kepada ibunya.
Setelah itu Polisi teringat saat pengalaman waktu
dia naik taksi bersama keluarganya dan saat itu hujan lebat.
“Dia tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman
waktu dia naik taksi bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas
di perempatan jalan dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia
coba uji ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut
saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di
bawah hujan lebat itu. Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat
di sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah
patung.” “Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk
mengingatkan para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai
polisi yang sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang
dikatakan sopir taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak
mengindahkannya walau sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi
Tidur.”
“teringat satu pengalaman saktu di naik
taksi bersama keluarga” membawanya ke waktu yang lalu, ia mengingat kembali
pengalamannya. Keadaan saat itu hujan lebat. Karena ia tidak memakai
seragam dinas, saai itu pula ia mencoba menguju kepatuhan supir taksi terhadap
peraturan lalu lintas. Dari kutipan cerpen di atas, ada hubungannya dengan
kejadian saat polisi melarang Orang Tua ingin masuk komplek perumahan. Patung
polisi yang berdiri di pingir jalan saja dihormati oleh pengendara karena
keberadaanya sebagai pengingat untuk tetap mematuhi peaturan lalu lintas. Ia
adalah seorang polisi lalu lintas yang pekerjaaannya adalah mengatur lalu
lintas, bukan untuk mengatur seseorang atau tidak memperbolehkan seseorang
masuk ke komplek perumahan, apalagi ia sampai menembak seekor ayam.
Sebenarnya polisi tersebut sudah melanggar peraturan, ia menyimpang dari
tugasnya sebagai polisi lalu lintas.
C.
Analisis Pragmatik
1. Kehadiran
Unsur Pemandang
Kini, tibalah pada aspek pragmatik. Pertama – tama
kita lihat bersama masalah pemandang. Dalam cerpen ini, si pemandang berada di
luar cerita, pandangannya terpusat pada tokoh Orang Tua.
Tampak olehnya Polisi Patung di bawah
guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil pun
berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke luar.
Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat Polisi
Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pemandang berada di
luar cerita. Pandangannya terpusat pada tokoh orang tua yang sedang memandang
ke luar mobil yaitu patung polisi. Padahal tentunya banyak hal lain yang bisa
dilihat atau diperhatikan di luar mobil, tidak hanya patung polisi saja.
Keadaan dalam mobil juga tidak digambarkan padahal ada tidak hanya Orang Tua
yang berada di dalam mobil namun ada orang lain yang di dalamnya.
Cuplikan di bawah ini menunjukkan pandangan yang
menyebar.
Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan
kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah
tugasnya.
Cuplikan tersebut mengemukakan pandangan yang menyebar
dan bergerak. Satu persatu unsur pandangan ditampilkan : Orang Tua yang membawa
beban sepikul, setandang pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam, polisi datang menghentikan motornya. Selain itu ada pula pandangan
yang terfokus dan menulik hingga jiwa atau perasaan tokoh.
Polisi lalu lintas itu masih juga
terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi gerbang yang ditutup. Dia
jadi teringat apa yang diucapkan orang tua itu. Malin Kundang. Apa hubungannya
dengan aku. Malin Kundang memang menjadi batu dalam lagenda itu. Dia sentakkan
kepalanya dari keterpukauannya untuk mengembalikan kesadarannya.
Ketika itu polisi baru melihat Orang Tua yang
dilarangnya masuk ke dalam komplek perumahan karena penampilannya seperti fakir
miskin ternyata memang benar – benar memiliki anak yang tinggal di komplek
perumahan tersebut. Betapa tercengangnya dia saat itu.
2. Kehadiran
Unsur Penuturan
Dalam cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” pencerita
atau penutur berada di luar cerita.
Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan
kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah
tugasnya.
Kutipan di atas merupakan narasi yang menunjukkan
bahwa penutur atau pencerita berada di luar cerita, tetapi ia mengetahui semua
hal mengenai pikiran, perasaan, perbuatan tokoh – tokoh ceita dan lingkungan
yang ada di sekitarnya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke
lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh
orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan
laki-laki tua itu.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa si penutur atau
pencerita memang mengetahui bagaimana perasaan haru yang dirasakan oleh tokoh
Lelaki yang bertemu dengan Orang Tua atau ayahnya yang datang dari kampung,
walaupun kenyataanya si pencerita atau penutur berada di luar cerita.
3. Kohesi
Leksikal : Isotopi, Motif, dan Tema
Isotopi adalah wilayah makna terbuka yang terdapat di
sepanjang wacana. Dengan mengetahui isotopi dominan, kita dapat menemukan motif
dan sekumpulan motif dapat membentuk tema. Mungkin bagi sebagian peneliti, hal
ini kurang menyenangkan kerena sedikit mengandung kuantitas (perhitungan kosa
kata yang digunakan). Dalam persakapan cerpen “Si Lugu dan Si Malin
Kundang” karya Hamsad Rangkudi ini ditemukan beberapa isotopi. Isotopi
penglihatan dan pendengaran (indera), nama, dan gender yang dikelompokkan dalam
motif manusia (jumlah 40). Isotopi perasaan memiliki jumlah 18. Kedua motif
tersebut membentuk motif yang lebih besar, yaitu perasaan manusia. kemudian,
ada isotopi gerakan , isotopi perjalanan, dan isotopi waktu yang dikelompokkan
dalam motif perubahan, jumlahnya yaitu 61. Jumlahnya lebih besar dari isotopi
perasaan. Selain itu, ada pula isotopi masyarakat atau budaya dengan
jumlah 4. Motif tidak adanya gerakan atau satatis ada 20. Dan terakhir motif
alam ada 2. Tema ditemukan dengan merangkum beberapa motif ke dalam tema.
Terdapat beberapa penonjolan perasaan, tampak pada keteguhan ati seoranng ayah
yang ingin menemui anaknya, kesombongan dan kerarogan dari polisi, kekejaman
dari polisi yang tega memebunuh ayam si Orang Tua, kemarahan, kekecewaan,
keharuan, kegembiraan. Di sisni juga tampak keteguhan hati si Orang Tua dan
kearogan atau kekejaman si Polisi Lalu lintas. Selanjutnya perubahan jauh lebih
besar kestatistikan. Motif alam dalam cerpen ini hampir tidak disajikan.
Di sini ternyata tema utamanya adalah problematika sosial. Kita dapat melihat
bagaimana keraguan sekuriti dan polisi kepada orang tua yang hendak
bertemu anaknya karena alasan yang cukup sederhana, yaitu orang tua tersebut
datang dari kampung. Tidak adil rasanya menilai
seseorang hanya melihat dari latar belakangnya. Sampai akhirnya tokoh Orang Tua
itu mengutuk polisi lalu lintas menjadi batu seperti pada kisah Malin Kundang.
Cerpen ini berjudul “Si Lugu dan Si Malin Kundang”.
Mengapa “Si Lugu dan Si Malin Kundang?”. Cerpen “Si Lugu dan Si Malin
Kundang” sebetulnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan tokoh
Malin Kundang. Pada cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” ada beberapa alur
cerita yang sama dengan cerita Malin Kundang. Seorang ayah pada cerpen ini, menerima
perlakuan yang sama dengan tokoh ibu pada cerita Malin Kundang, yaitu dihina
dan direndahkan. Cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” menceritakan
seorang ayah yang miskin pergi menemui anaknya yang kaya raya di sebuah
kompleks perumahan mewah. Namun, ketika mau memasuki gerbang kompleks mewah
itu, dia dihadang oleh securiti kompleks dan polisi lalu lintas. Tokoh ayah
kemudian mengutuk tokoh polisi lalu lintas menjadi batu. Seorang ayah pada
cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” menerima perlakuan yang sama dengan tokoh
ibu pada cerita Malin Kundang, yaitu dihina dan direndahkan.“Si Lugu dan Si
Malin Kundang” mentransformasi legenda zaman dahulu dengan menampilkan
tokoh polisi yang diibaratkan sebagai Malin Kundang yang hidup di zaman modern.
No comments:
Post a Comment