Analisis Cerpen, selain Analisis Puisi, juga menyajikan sebuah Analisis Cerpen yang selalu berusaha mencari makna didalam karya yaitu Cerpen. ini merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap sebuah karya orang lain. dengan selalu berusaha menghargai karya orang lain, semakin banyak pula orang yang menghargai karya diri kita sendiri.
contoh Analisis Cerpen, dikumpulkan menjadi satu yang terdiri dari berbagai sumber referensi menjadi Contoh Analisis Cerpen, sehingga para pecinta cerpen khususnya dunia Analisis tidak susah kemana-mana, cukup mengunjungi admin ini dan mengikuti setiap postingannya.
contoh Analisis Cerpen, dikumpulkan menjadi satu yang terdiri dari berbagai sumber referensi menjadi Contoh Analisis Cerpen, sehingga para pecinta cerpen khususnya dunia Analisis tidak susah kemana-mana, cukup mengunjungi admin ini dan mengikuti setiap postingannya.
- 1. PENGERTIAN SULUK dan PUPUH
Dalam kesusasteraan Jawa,
dikenal adanya suluk yang merupakan kitab Bahasa Jawa Tengahan dengan tembang
tetapi tembang cara kuno, tembang Sloka, laku delapan kali delapan yang sudah
tidak berguru lagu lagi (Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja, 1952: 100).
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, disebutkan bahwa suluk mempunyai pengertian: jalan ke arah
kesempurnaan batin, tasawuf, tarekat, mistik, pengasingan diri, khalwat;
nyanyian (tembang) dalang yang dilakukan ketika akan memulai suatu adegan
(babak) dalam pertunjukan wayang.
Di antara dua pengertian
tersebut, penulis menyimpulkan bahwa suluk merupakan karya sastra yang muncul
dari Jawa Tengahan yang berupa tembang kuno dan berisi tentang ajaran
batin/rohaniah serta berguna bagi bidang pedalangan saat akan memulai sebuah
babak/adegan dalam pertunjukan wayang.
Suluk terdiri dari pupuh.
Pengertian pupuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah lagu yang terikat
oleh banyaknya suku kata dalam satu bait, jumlah larik, dan permainan lagu
(bentuk Lagu tradisional Sunda).
- SINOPSIS
Suluk Linglung Sunan
Kalijaga dalam Pupuh Durma (22 bait) ini menceritakan tentang Syeh Melaya yang
melakukan segala kata-kata atau perintah yang diucapkan oleh Sunan Bonang. Hal
ini dilakukan agar Syeh Melaya mendapatkan kepandaian yang bersifat Hidayatullah.
Sunan Bonang juga menasehati
agar Syeh Melaya menunaikan ibadah haji ke Mekah untuk mengambil air zam-zam
yang suci sekaligus mengharap berkah syafaat Nabi Muhammad Saw. Syeh Melaya
yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga menempuh perjalanan yang berliku meleati
daratan dan lautan (samudra), dan bertemu dengan Nabi Khidzir.
Nabi Khidzir ialah orang
yang sangat sakti, ia tahu segala sesuatu yang berkenaan dengan keinginan Syeh
Melaya. Bahkan ia bertanya untuk apa atau dengan tujuan apa Syeh Melaya pergi ke
tempat yang tengah ia lintasi. Padahal sama-sama diketahui bahwa tak ada
sesuatu pun yang bisa diharapkan untuk jaminan hidup.
Sunan Kalijaga (Syeh Melaya)
baru menyadari akan kebodohannya dan keragu-raguannya. Sebab ternyata modal
kemampuan—keinginan saja tidak cukup bila tidak disertai dengan yakin dan
pikiran yang rasional. Singkatnya, Syeh Melaya terlalu terbuai oleh fantasi dan
tidak ingin melihat pada realita.
- IDENTIFIKASI RELEVANS SULUK LINGLUNG SUNAN KALIJAGA DALAM PUPUH
DURMA DENGAN FENOMENA TATA KEHIDUPAN MASYARAKAT DEWASA INI
Suluk Linglung Sunan
Kalijaga dalam Pupuh Durma (22 bait) ini dapat menjadi cermin atau refleksi
manusia zaman tahun 2000-an ke masa silam zaman Jawa Tengahan berjaya. Sebab
ternyata ada bait-bait yang masih relevan dijadikan acuan pikir manusia di
zaman semodern tahun 2000-an, meskipun tidak dapat penulis pungkiri bahwa ada
juga bait-baitnya yang sudah jauh tidak relevan dengan perkembangan kebudayaan
ataupun peradaban di masa ini.
Penulis mencoba
mengidentifikasi relevansi (kesesuaian/hubungan atau keterkaitan) dan
ketidakrelevansian tersebut sebagai berikut:
- Kerelevansian
1.
Pada
bait ke-4 yang berbunyi:
Bunyi: Angambila toya her zam-zam mring Mekah, iya banyu kang
suci, sarta ngalap berkah, Kanjeng Nabi panutan, Syeh Melaya angabekti, angaras
pada, pamit sigra lumaris.
Terjemahan: Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci, serta
sekaligus mengharap berkah syahfaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri
tauladan manusia: Syeh Melaya berbakti, mencium kaki, mohon diri dan segera
tujuan.
Analisa:
Pada era sekarang ini masih banyak orang
yang mengambil air zam-zam. Bahkan pengambilan air suci yang berada hanya di
Mekah saja itu telah menjadi sebuah tradisi bagi mereka yang menuanaikan haji.
Banyak sekali kegunaan air tersebut. Terutama bagi orang Indonesia, sebab
mereka meyakini bahwa air zam-zam dapat menyembuhkan segala penyakit dan dapat
dianggap sebagai air yang penuh
barokah—karomah.
2.
Pada
bait ke-14 yang berbunyi:
Bunyi: Ngegungaken ciptanira maksih kurang, nora angeman pati, sabdo
kaluhuran, dene mangsa anaha, keweran tyas Sang Kaswasih, ing sahunra dene tan
wruh ing ati.
Terjemahan: “Mengandalkan pikiranmu saja masih belum apa-apa, padahal
kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini tidak mungkin kau
dapatkan yang kau dapatkan!”
Syeh Melaya bingung hatinya tidak tahu apa yang
harus diperbuat, dia menjawab, bahwa dia tidak mengetahui apa langkah yang
sebaiknya perlu ditempuh selanjutnya.
Analisa:
bagian ini mempunyai kekuatan filsafati
yang perlu diperhatikan secara seksama. Sebab ternyata mengandalkan logika
dalam menempuh perjalanan hidup tidak cukup. Manusia itu terdiri dari rasa,
logika dan jiwa yang terbungkus dalam satu wadah yang bernama jasad.
Unsur-unsur tersebut tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri-sendiri, melainkan harus bekerja sama.
Hal ini tidak hanya terjadi di masa peri kehidupan Syeh Melaya saja, tetapi
masih hingga kini hal itu dilakukan dan dapat dibuktikan.
3.
Pada
bait ke-17 yang berbunyi:
Bunyi: Aja lunga yen tan wruh kang pinaranan lan aja mangan ugi,
yen tan wruh rasanya, rasane kang pinangan, aja nganggo-anggo ugi, yen durung
wruha arane busanadi.
Terjemahan: “Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju, dan jangan
makan juga, kalau belum tahu rasanya, rasanya yang dimakan, jangan berpakaian
juga, kalau belum tahu kegunaan berpakaian.”
Analisa:
Hal ini memberikan sebuah wejangan untuk
para manusia agar tidak gegabah akan pengambilan keputusan. Hendaknya manusia
mempunyai prinsip hidup yang mendasari perjalanan hidupnya (tutur kata,
perilaku, dan hubungannya yang vertikal—horisontal).
Manusia yang baik adalah
manusia yang tidak seperti “air di atas daun talas” (tidak punya pendirian dan
mudah sekali terpengaruh). Makanya Suluk ini berjudul “Linglung”, yang artinya lupa
segala-galanya karena bingung atau terlalu asyik memikirkan sesuatu (KBBI,
2003: 675).
Suluk ini memberikan banyak
sekali ‘gulawentah’ tentang makna hidup bahwa seseorang hendaknya mempunyai
keyakinan, tujuan dan pengharapan akan masa depannya dengan teguh—kukuh. Tidak ‘leda-lede’ jadi orang.
4.
Pada
bait ke-18 dan ke-19 yang berbunyi:
Bunyi: Witing weruh atakona pada jalma, lawan tetiron nenggih,
dadi lan tumandhang, mengkono ing agesang, ana jugul saking wukir, arsa tuku
mas, mring kemasan den wehi.
(19) Lamun kuning den anggep kencana mulya,
mangkono ing ngabekti, pemahe kang sinembah, Syeh Melayu duk miyarsi, ndeku
nerraga, dene Sang Wiku sidik.
Terjemahan: “Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia, sekaligus dengan
persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah! Demikianlah seharusnya hidup itu,
ibarat ada orang bodoh dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas
diberi.”
(19) “Biarpun kuningan tetap dianggap emas
mulia, demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada
siapakah yang harus disembah?”
Syeh Melaya ketika mendengar itu, spontan
tertunduk berlutut memohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan bahwa
nabi Khidzir betul-betul serba tahu yang terkandung di hatinya.
Analisa:
Siapapun orangnya, hendak tahu diri akan
keberadaannya. Diharapkan bisa beradaptasi dengan segala ‘atmosfir’ kehidupan.
Ternyata modal kepandaian saja tidak cukup, tetapi harus didasari oleh keyakinan
yang kuat. Selayaknya orang beragama, memeluk suatu agama, ia bisa saja pindah
ke agama lain sebab ia masih ragu-ragu—bimbang dengan keyakinan agama yang
dipeluknya.
Hal ini tidak hanya terjadi
di masa lampau, tetapi masih—malahan sangat marak di masa kini. Misalnya orang
Kristen yang memeluk/berpindah agama Islam sebab keyakinan akan Tuhannya
meluntur.
Suluk ini memberi wejangan
bahwa ternyata kehidupan bert-Tuhan banyak sekali hambatannya bila keimanan
kita akan Tuhan itu sendiri lemah. Selaiknya
“orang gunung beli emas” dalam kisah suluk ini yang tidak tahu-menahu bahwa ‘emas
yang dia kira emas itu memang emas’, tapi kenyataannya ia dibodohi sebab yang
ia dapatkan adalah kuningan dan bukan emas.
Kalau belum tahu dan yakin
akan apa yang ia imani, sebaiknya seseorang itu bertukar pikiran—berdiskusi
dengan orang yang lebih paham. Jika sudah tahu dan paham, baiknya apa yang ia
dapatkan dan yang ia miliki diamalkan untuk orang lain. Itu disebut konsep
sirkulasi orang beribadah.
5.
Pada
bait ke-20, ke-21 dan ke-22 yang berbunyi:
Bunyi: Sarwi sandika ing atur ira, Syeh Melaya minta sih, anuwun
jinatenan, sinten ta aran tuan, dene mriki peribadi Sang Pajuningrat, hya
ingsun nabi Khidzir.
(21) Atur sembah pukulun nuwun jinatenan, pun
patik nuwun asih, ulun inggih datan, wruh puruhiteng badan, sasat satoning
wanadri, tan mantra-mantra, waspadeng badan sukci.
(22) Langlung mudha punggung cinacat ing jagad
keksi-eksi ning bumi, engganing curiga, ulun tanpa warangka, wecana kang tanpa
siring, nyata ngandika, manis sang nabi Khidzir.
Terjemahan: Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan
kami laksanakan.”
Syeh Melaya meminta kasih sayang, memohon
keterangan yang jelas, “Siapakah nama tuan? Mengapa disini sendirian?”
Sang Pajuningrat menjawab, “Sesungguhnya saya
ini nabi Khidzir.”
(21) Syeh Melaya berkata, “Saya menghaturkan
hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku mohon petunjuk, adapun saya
perlu dikasihani; Saya juga tidak tahu benar, setidaknya pengabdianku ini.
Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila
mau menyelidiki kesucian diriku ini.
(22) Dapat dikatakan lebih bodoh, dungu, serta
tercela di jagad, menjadi bahan tertawaan di muka bumi; Saya ibarat keris,
tanpa kerangka keris, ibarat bacaan yang tanpa isi yang bersifat.”
Maka berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidzir
kepada Sunan Kalijaga.
Analisa:
Manusia yang rendah hati dan mau mengakui
kelemahannya ialah manusia yang berjiwa besar dan paling bijak. Sebab orang
yang tidak tahu apa-apa, ‘ndah-ndoh’
dan tidak mau mengakui kebodohan serta kelemahannya akan menjadi manusia “cacat”
untuk selama-lamanya, sebab orang tersebut tidak dapat memperbaiki diri
sendiri agar menjadi insan yang lebih baik lagi.
Tetapi di dalam suluk ini
disampaikan kerendahan Syeh Melaya yang rendah hati dan mau mengakui
kelemahannya pada seseorang. Ini merupakan bukti sekaligus teladan bagi kita
semua agar menjadi manusia yang tidak cepat panggak—bangga atas diri sendiri,
padahal sebenarnya kita tidak mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan maupun
untuk dibanggaakan.
- Ketidakrelevansian
1.
Pada
bait ke-3 yang berbunyi:
Bunyi: Pan anderku sumungkem angaraspada, ngandika sang ayogi,
“jebeng wruhanira, yen sira nyuwun wikan, kang sifat hidayatullah, munggah
kajiya, mring Mekah margasuci.
Terjemahan: Dia berlutut hormat mencium kaki Sunan Bonang, berkata
sang guru Sunan Bonang, “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapatkan
kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naik haji, menuju Mekah dengan hati
tulus suci/ikhlas.
Analisa:
Penulis mengamati bahwa isi suluk pada
bait ini sudah tidak relevan atau tidak sesuai dengan apa yang terjadi
sekarang. Sebab jika ditinjau secara harfiah, sudah tidak ada lagi orang yang
mau mencium lutut—sujud pada orang lain dalam menghormati orang lain tersebut.
Malah banyak sekali di era sekarang orang tidak mempedulikan orang lain. Bentuk
penghormatannya pun berbeda dengan bentuk penghormatan orang di masa lalu.
Kalau orang dulu “sembah
sungkem” dalam menghormati seseorang, kini orang cenderung memakai sapaan “hai”
untuk menghargai orang tersebut. Jadi, sudah sangat berseberangan.
2.
Pada
bait ke-6 yang berbunyi:
Bunyi: Nrajang wana munggah gunung mudhun jurang, iring-iring pan
mlipir, jurang sengkan nrajang, wauta ing lampahira, prapteng pinggir pasisir,
puter driya, pakiwuh marga neki.
Terjemahan: Menerobos hutan, naik gunung turun jurang, tetebingan
didakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan, tanpa terasa perjalanannya,
sampai di tepi pantai, hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya.
Analisa:
Kini banyak orang yang mudah sekali
melakukan perjalanan Haji relatif lebih
mudah. Tidak seperti zaman dahulu yang sangat repot dengan melintasi jalan
darat.
Kini ada pesawat. Haji
sekarang bisa cepat kalau ada uang yang
banyak. Malah ada yang disebut “Haji Kilat”.
3.
Pada
bait ke-8 yang berbunyi:
Bunyi: Apan tuhu uninga ing lampahira, Syeh Melaya prihatin, arsa
wruh hidayat, apan terah tinerah, sukma sinukma, piningit, tangeh manggiya, yen
tan nugrahayekti.
Terjemahan: Sang Pajuningrat tahu segala perjalanan yang dialami, oleh
Syeh Melaya dengan sejuta keprihatinan, karena ingin meraih hidayat; Berbagai
cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan jiwa dan berusaha mengungkap
berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayat,
kecuali kalau mendapatkan keanugrahan Allah yang Haq.
Analisa:
Banyak sekali hal-hal yang bisa dilakukan
selain menuanaikan haji kalau mau menjadi orang yang mendapat hidayat. Tidak
hanya menuanaikan haji, tetapi melakukan amal ibadah lainnya. Berbeda dengan
orang dahulu yang begitu serius mengagung-agungkan ibadah haji sebagai amal
perbuatan yang paling tinggi.
4.
Pada
bait ke-10 yang berbunyi:
Bunyi: Ya ta malih Jeng Sunan ing Kalijaga, neng telenging
jeladri, sampun pinanggihan, oan kadya wong leledhang, peparabe Nabi Khidzir,
pan tanpa sangkan. Ngandika tetanyaris.
Terjemahan: Ternyata setelah Sunan Kalijaga ada di tengah samudra penglihatannya
melihat seseorang, yang sedang berjalan tenang dia atas air, yang berjuluk Nabi
Khidzir, yang tidak diketahui darimana datangnya, bertanya dengan lemah lembut.
Analisa:
Kini sudah tidak ada orang yang memiliki
kemampuan seperti itu y ang bisa berjalan di atas air. Mungkin dahulu bisa jadi
demikian. Tetapi jika hal tersebut terjadi di masa kini, maka hal tersebut
dikategorikan “Cenayang” dan tidak masuk akal.
5.
Pada
bait ke-16 yang berbunyi:
Bunyi: Anglakoni pituduhe gurunira, Sunan Bonang Sang Yogi, tuduh
marang sira, kinen ning negri Mekah, pan arsa munggah kaji, mulane nyawa, angel
pratingkah urip.
Terjemahan: “Menjalankan petunjuk gurumu, Sunan Bonang sang guru,
memberi petunjuk, menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji, maka
ketahuilah olehmu, sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan itu.
Analisa:
Banyak orang yang sekarang menganggap haji
sebagai tradisi atau ritual saja. Sama sekali tidak sulit, asal financial
mantap untuk melakukan haji. Malah ada yang menjadikan ibadah haji sebuah tolok
ukur seberapa tinggi prestise seseorang di mata masyarakat. Buka seperti orang
dahulu yang sangat khusyuk melakukan ibadah haji dan hanya karena Allah Ta’ala.
Kiranya hal yang ada dalam bait ini sudah sangat keluar jalur dari tatanan
semula. Agama seperti dipermainkan, kapitalisme sebagian oknum.
- PENUTUP
Relevansi ialah hubungan atau keterkaitan akan
sesuatu dengan hal lainnya yang mempunyai keterikatan sekaligus perbandingan
(komparatif). Suluk Linglung Sunan Kalijaga dalam Pupuh Durma (22 bait) ini
memberikan deskripsi yang begitu sederhana tetapi memiliki isi petuah yang
berbobot. Sebab agama kini telah menjadi jual-beli yang sangat menguntungkan.
Tidak hanya segelintir kelompok, tetapi malah hampil mengglobal
No comments:
Post a Comment