Analisis Psikologi sastra dalam novel karya Nukila Amal, sangat bermanfaat buat anda, karena dapat dijadikan sebuah bahan ajar atau belajar. Analisis Psikologi sastra dapat anda lihat didalam admin ini, selain itu uga dapat dijadikan referensi dalam membantu tugas-tugas anda untuk lebih jelasnya dapat anda simak dibawah ini:
MENGKAJI MIMPI TOKOH MAYA DI DALAM CALA
IBI
KARYA NUKILA AMAL DENGAN PSIKOLOGI SASTRA
Secara pribadi, ketika membaca
novel Cala Ibi karya Nukila Amal ini,
penulis merasa sangat mual; ingin muntah. Penulis tidak mempunyai maksud untuk
meremehkan, merendahkan atau hal sejenisnya yang intinya menghina, tetapi
penulis merasakan adukan-adukan diperut yang sangat membuat ingin saja mukok. Hal ini disebabkan oleh kata-kata
yang digunakan oleh penulisnya ulak-alik seperti
dermolen untuk membangun jalannya
cerita; banyak kata yang diulang-ulang dan bahasanya tidak lazim; membuat
kepala muter kepusingan.
Namun, secara keseluruhan,
penulis harus mengakui bahwa novel Nukila Amal ini merupakan novel yang
jempolan, tidak boleh dipandang sebelah mata. Di satu sisi; terutama pada gaya
bahasa dan cara pengarang membangun jalannya cerita. Di sisi lain karya
pengarang ini mengetengahkan isi cerita yang tidak lazim; mimpi. Juga sarat
dengan problematika kehidupan seorang perempuan dalam menentukan jalan hidupnya.
Novel Nukila Amal banyak
sekali berbicara mengenai perempuan (tentang keinginan, pemikiran, hasrat,
pengetahuan, mimpi, dan banyak lagi). Ia pengarang wanita Indonesia yang lahir di Ternate, Maluku Utara pada
Desember 1971. Budaya asalnya ini ternyata juga banyak mempengaruhi
kepengarangannya, terutama di dalam Cala
Ibi.
Cala Ibi sendiri itu merupakan
idiom lokal Ternate. Semacam species burung yang umumnya dikenal sebagai burung
gereja, hanya saja Cala Ibi lebih merdu suaranya dan berbadan lebih kecil. Inilah
bukti bahwa Nukila terpengaruh oleh kekhasan tanah asalnya.
Hal demikian tidak lantas
mengurangi bobot novel Nukila, justru sebaliknya. Buktinya, pengarang mampu ‘menyulap’ cala ibi yang
hanya burung gereja menjadi seekor naga. Apa
nggak khayali banget tuh? Bahasa pengaranglah yang mampu membangun bobot
karyanya itu. Bahasa yang digunakannya mampu mengangkat lokalitas (terutama
‘ke-aku-an sendiri) pen-jatidiri-an yang khas sebagai putra Ternate. Ramuan
yang ada di dalam tulisannya pun komplit dan tidak main-main dengan
mengetengahkan kesejarahan, kemasyarakatan dam kebudayaannya.
Oleh karena pengarang juga
mengambil tokoh binatang selain tokoh sentral Maya yang manusia, maka penulis
menafsirkan bahwa karya Nukila ini tampaknya termasuk dalam karya sastra yang
bersifat surealisme yang mengambil
tokoh dari dunia binatang (fabel), yaitu seekor naga yang bernama Cala Ibi.
Pengarang yang satu ini
menunjukkan kekuatannya dalam menggabungkan daya imajinasi dan kemampuan
berbahasa yang pada akhirnya akan menimbulkan daya pikat yang memunculkan decak
kagum. Mungkn inilah letak bobot karyanya. Tidak hanya ditemui jalinan
kata-kata yang indah tetapi juga rimba tanda-tanda, perlambang-perlambang,
makna-makna yang saling menjalin—berhubungan.
Judul dan keterkaitan dengan
substansi novelnya sendiri memang sulit dikorelasikan. Tetapi judul yang padat
tersebut rupanya mampu membawa isi dan pemikiran yang ada di dalam novelnya.
Meskipun (awalnya) sulit dipahami; sebab adanya loncatan-loncatan
peristiwa/jalan cerita. Bagi pembaca awam, novel ini akan terasa tidak logis,
dan tidak berstruktur; apalagi dengan sudut pandang yang berubah-ubah (kadang
‘aku’ kadang ‘kamu’). Novel ini juga bisa disebut sebagai prosa liris dengan
gaya bahasa sulit dibaca-pahami (dan dinikmati—tentunya).
Membaca novel ini seperti
mengikuti alur cerita mimpi seseorang yang panjang sekali. Dengan bahasa yang mbulet tidak karuan, tetapi tetap saja
dapat ditangkap segi kemaknaannya meskipun mengaburkan alur. Dengan bahasa
(kata-kata) yang digunakan tersebut pula novel ini juga tampak seperti yang
sangat panjang, hanya dengan satu judul tetapi bersambung-sambung dan terasa
ada yang meloncat-loncat dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya.
Gaya bahasa yang penulis
maksud dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:
- Ia diam sejenak, manatap sekeliling, seakan tengah membaca sesuatu di antara rapat dedaunan. Kau menengadah, menatap sebuah pucuk pohon yang berpendaran dengan sekelompok bentuk yang tak kau mengerti…
- Pada mulanya adalah bukan kata, tapi rasa. Adalah rasa pertama kemudian melahirkan pikiran pertama menjadi kata yang terucap lidah pertama…
- Dari mati rasa, ke jika saja, ke jstuh iba—rasa-rasa tak stabil ini membuatku ceriga. Mengapa kemacetan pagi ini membuatku berduka, atau murka untuk orang lain…(40)
- Rumahmu di pesisir sebuah pulau. Satu di antara berjumlah seribu kurang satu, besar kecil berserakan acak dikelilingi laut yang menyimpan palung dan satu samudra dalam…(50)
- Ia tak ingin mengenang, namun gelombang laut terdengar bagai sehela nafas panjang, datang berulang-ulang, membawa air samudera yang bergumam dengan mulut bergaram: Halmahera. Gelombang demi gelombang, nama itu datang terbang, meminta peringatan…(56)
- Bangsa Eropa. Datang dengan dosa penaklukan. Para penjelajah-penjajah yang melingkari bola dunia, saling bertemu muka lama di mana-mana, berpapasan di lautan maupun daratan…(62)
- Di punggung naga, kau menoleh melihat sisa pemandangan, matamu mencari-cari setengah perempuan, satu perempuan, dukun perempuan, siapa saja yang perempuan, namun semua tampakan berupa perempuan seperti tiada…(70)
- Di sebuah malam berjaga, seusai berkeliling, lalu makan malam sembari mengisi daftar isian, aku duduk dengan sebuah buku di tangan. Buku mimpi. Buku kecil yang tergeletak sembunyi di bawah bantal sekian lama. Telah banyak corat-coret ternyata, tapi selalu saja aku lupa membaca…(118)
***
Novel ini seutuhnya bercerita
mengenai diri Maya sebagai anak yang ber-orang tua, putra daerah yang mempunyai
sosial-budaya, sebagai perempuan, sebagai manusia dan sebagai self. Meskipun ada tokoh imaji lain; seekor
naga yang juga menjadi judul buku ini. Tetapi hakikatnya novel ini ingin
membagikan ‘mimpi’ tokoh Maya. Tokoh utama Maya digambarkan sebagai perempuan
yang memiliki kesamaan dengan bapaknya; rasional. Tetapi rasio yang dimiliki
itu ternyata membawa dirinya pada kehidupan yang monoton dan terasa seperti di
dalam jalan yang buntu karena terjebek dalam rutinitas pekerjaan.
Cala Ibi yang diberikan Laila
(keponakan Maya) di malam-malam tidurnya mengajak Maya bertemu Maia yang
merupakan ‘duplikat’ dirinya sendiri. Cala Ibi membuka kesempatan pada Maya dan
Maia untuk berbicara pada dirinya sendiri secara reflektif. Agar Maya juga
mampu lepas dari simpul pikiran yang bernuansa tradisional orang tuanya. Dengan
bertanya sendiri secara reflektif itu pula Maya menganalisa problematika
perempuan secara individual (person), dan sosial (kedudukannya di dalam system
kemasyarakatan).
Tokoh refleksi Maya yang
bernama Maia yang membantunya bertanya mengenai hal-hal yang ditabukan oleh
keluarga dan masyarakatnya itu. Pertanyaan pada diri sendiri yang mengangkat
citra dirinya. Mengapa dirinya tidak dibanggakan oleh keluarga (juga masyarakat)
karena prestasi yang ia raih, tetapi justru ia terus dihantui oleh
harapan-harapan mereka agar ia cepat mendapatkan momongan dan ‘tersingkir’ oleh
laki-laki?
Panggilan Maia mengalahkan
segalanya yang rasional. Belahan yang mirip dirinya itu membawanya pada hal-hal
yang sarat sekali kegilaan. Melepaskan Maya pada belenggu yang tak tertembus
jiwa raganya. Pertemuan mereka inilah yang akan melahirkan Maya secara utuh,
membuang resah dan menjawab pertanyaan serta keinginan orang tua; tak mungkin
mempersembahkan cucu dan ia masih melajang (pernikahan tak pernah mampir dalam
inginnya).
***
Novel Cala Ibi ini akan penulis kaji
menggunakan kajian psikologi sastra dengan teori mimpi dari Freud dan Jung. Hal
ini disebabkan oleh adanya banyak sisi ‘gelap’ pada diri tokoh dan banyaknya
mimpi yang sering dialami tokoh.
Di dalam novel Cala Ibi karya Nukila Amal, terdapat
tokoh Maya mengalami mimpi hingga kehidupannya banyak dipengaruhi dengan adanya
mimpi-mimpinya itu. Mimpi yang ada di dalam novel Cala Ibi dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:
- Karena ini mimpi. Dan dalam mimpi semua bisa terjadi, memungkinkan segala yang tak mungkin…(18)
- Kau bermimpi, cermin digantung tinggi-tinggi di dalam rumah. Seperti dulu kala, ketika kau belum menatap matamu di dalam cermin, dan dunia masih sempurna…(26)
- Kau dan naga terbang melintasi kota. Kota yang tak mati, tampak beberapa kendaraan melaju di bawah. Sepanjang jalan bergelimang lampu. Lampu jalan, lampu lalu lintas…(33)
Menurut Jung, kembaran Maya yang bernama Maia disebut sebagai shadow (bayangan) atau sisi ‘gelap’ yang
banyak dipengaruhi oleh insting seksual dan keinginan untuk menguasai. Sisi
lain ini mempunyai dua pengaruh, yaitu pengaruh pada hubungan ketidaksadaran
personal dan pengaruh yang berhubungan dengan ketidaksadaran kolektif. Sisi
gelap yang dimaksud tidak hanya mempunyai segi negative, tetapi juga positif.
Kebetulan yang ada di dalam Cala Ibi merupakan
segi positif yang diperankan oleh Maia untuk ‘membimbing’ Maya.
***
Tidak dapat dipungkiri bahwa novel ini sangat menarik dan kaya akan
tendensi di dalamnya, meski tidak menganut cara bercerita yang biasa
digunakan—yang perlu dibaca oleh penikmat sastra manapun. Cara bercerita
pengarang seperti sedang merenung, bergumam—bicara pada diri sendiri,
berimajinasi dengan produk khayali yang luas dan fantastis, bermimpi dan bagai
dapat ‘menyetir’ mimpinya. Hal ini disebabkan oleh pergantian tokoh dalam
menyebut dirinya sendiri dari ‘aku’ hingga ke ‘kamu’.
Jika dengan ‘aku’ berarti ia mengalami sendiri (dengan ketaksadaran). Tetapi
jika dengan ‘kamu’, tokoh bisa menjadi narrator sekaligus penikmat semua
peristiwa yang juga dapat mengendalikan mimpi itu sendiri.
Ada
semacam ketidaksadaran dalam kesadaran, seperti orang yang terpengaruh oleh alkohol
dan mabuk. Tetapi mabuk yang ringan, yang msih dapat merespon sekitarnya. Bukan
mabuk berat yang sudah sempoyongan dan ‘takluk’ oleh alkohol. Mungkin demikian yang dilakukan pengarang ketika menceritakan
semua yang ada di dalam Cala Ibi. Boleh
dilihat kutipan berikut untuk mengetahui seberapa tahu dan berpengaruhnya
alkohol bagi pengarang.
Bapakku bening air kelapa. Ibuku sirup
merah kental manis buatan sendiri. Aku Bloody
Mary. Jumat malam alkoholik, happy hours, jumat pagi robotik…(4)
Seperti pengarang terdahulu yang mengikuti jejak Sutardji yang minum
minuman keras hingga mabuk sebelum menulis puisi, sepertinya kata-kata yang
meluncur dari Nukila Amal pun didapatkan dengan cara yang sama.
Bermabuk-mabukan hingga menghasilkan kata-kata di dalam tulisan.
Sementara itu, jika novel Cala Ibi disubstitusikan
dengan film Soulmate (yang dibintangi
oleh Dian Sastro, Dina Olivia, Rachel Maryam, dan Nirina Zubir), novel Cala Ibi karya Nukila Amal mempunyai
kesamaan yang tidak sedikit. Hanya saja perbedaan akan kentara sekali ditemui
dari media penyampaiannya. Yang satu media film (gambar yang langsung dapat
dicerna) dan satu lagi media novel (tulisan: bahasa yang mengandalkan imaji
pembaca untuk mencernanya).
Di dalam Soulmate peran Dian
Sastro sebagai tokoh mempunyai beberapa tokoh khayali (tetapi dengan wajah yang
tidak mirip dengannya) yang diperankan oleh Dina Olivia, Rachel Maryam, dan
Nirina Zubir dengan berbagai latar kehidupan dan perwatakan. Ternyata
tokoh-tokoh tersebut hanya satu saja yang berperan yaitu tokoh yang diperankan
Dian Sastro itu sendiri. Dian Sastro ‘menyetir’ dirinya sendiri untuk berperan
sebagai tokoh-tokoh khayalinya tersebut. Di dunia sebenarnya tokoh-tokoh itu
tidak ada.
Sementara itu, di dalam Cala Ibi,
tokoh Maya mengalami pencarian jati diri melalui figur ‘kembarannya’ dalam
mimpi yang bermula dari kejadian ‘surealistik’ pecahan cermin-cermin dan
kaca-kaca. Tokoh Maya merasa terusik dengan sosok Maia yang ada di dalam
mimpinya itu. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan berikut:
Sesuatu entah apa. Tapi ada. Sementara kau
seperti tak ada. Ketidakberadaan itu mengada dengan sangat, keberadaannya
begitu sarat menyerang hingga adamu seperti tertelan olehnya. Kau tak mengerti
mana yang lebih ada: adamu atau ketakberadaanmu.
Perlu dicatat dari
pengetengahan tokohnya: mempunyai kembaran. Yang satu benar-benar kembar dalam
rupa dan bentuk, sedangkan yang satu kembar dalam artian yang
menyetir/menjadikan semuanya itu satu orang saja. Maia itu tidak ada, yang
mengadakan adalah Maya (atau keduanya tidak ada, dan tokoh sebenarnya masih
‘sembunyi’ di antara tokoh-tokoh yang ada di dalam Cala Ibi?).
Penulis mempunyai semacam
curiga bahwa Cala Ibi mengangkat tema
yang sama dengan Soulmate (hanya saja pengemasannya saja yang berbeda; dengan
gaya bahasa yang muluk, meliuk-liuk, dan melingkar-lingkar). Selain itu,
penulis juga mencurigai bahwa sebenarnya tokoh Maya mempunyai kecenderungan mengidap
schizophrenia.
Untuk itu penulis mencoba
membuat subtitusi antara Cala Ibi dengan
Beautiful Man (film barat yang
digunakan oleh banyak teman mahasiswa psikologi dalam penelitiannya mengenai schizophrenia). Di dalam Beautiful Man tokoh John Nash yang
seorang genius dan hidup monoton itu mempunyai dua orang teman khayalan.
John Nash mempunyai semacam
fobia atau takut pada agen yang dikirim dari gedung putih dan teroris yang
selalu membuntutinya. Padahal mereka semua tidak ada. Ia takut dan tertekan. Sebagai
genius yang berhasil memecahkan kode rahasia untuk menumpas teroris, ia takut
dibunuh dan keluarganya dibantai tanpa ampun. Untuk itulah ia sembunyi di
sebuah gedung yang ia anggap sebagai Gedung Putih (dan ternyata gedung itu
hanya sebuah bangunan kuno, kosong tak berpenghuni dan dipenuhi burung-burung
merpati) dengan banyaknya kertas (koran) yang ditempel di dinding.
Kemudian John Nash dibawa ke
Psikiater. Ia baru menyadari bahwa dirinya abnormal ketika dua orang teman
khayalannya tersebut tidak bertambah tua seiring waktu (melainkan tetap atau ajeg dengan fisik tak pernah berubah)
padahal lebih dari lima tahun. Bahkan sampai anaknya menjadi besar, menerima
hadiah nobel karena berhasil menggugurkan teori Adam Smith yang berguna bagi
banyak orang, dan dia bertambah tua.
Ternyata kehadiran teman-teman
khayalannya tersebut dan semua yang dilakukan John Nash dengan mereka hanya dilakukan
oleh dirinya seorang. Semua cerita dan pelaku yang ada di dalam cerita dia
sendiri yang membuat dan memerankannya.
Hal yang dialami John Nash
tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Maya. Seperti juga Maya yang
mempunyai teman khayalan Maia, Naga Cala Ibi, Tepi, Ujung, dan yang lain.
Tampaknya teman khayalan yang paling sulit ‘dibunuh’ adalah Maia, karena menyerupai
dirinya sendiri.
Pengidap schizophrenia tidak akan benar-benar sembuh (secara total), tetapi
terus saja ada (kambuhan) sampai mati. Meskipun ia telah ditangani oleh
Psikiater dengan berbagai pengobatan medis. Yang dapat mengobati dirinya adalah
dirinya sendiri. Seperti juga Nash yang bertemu dengan teman khayalannya lagi
setelah sekian lama tidak bertemu (seusai ia berpidato ketika menerima nobel),
Maya pun tampaknya akan mengalami hal yang sama; menemukan teman khayalan itu
setiap ia menginginkannya.
Teman-teman khayalan Maya akan
datang setiap waktu. Ketika Maya butuh atau tidak membutuhkannya. Ia akan hadir
tanpa komando. Tergantung Maya mau menerima atau menolak(mengakui)nya.
Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan berikut:
Maia? Maya? Sampai akhir akan tetap menjadi
rahasia. Naga memahami dan menyertai Maya menanti belahan jiwa. Menyertai
pencarian jati diri Maya dan memandunya untuk berani memandang cakrawala tempat
harapan itu ada.
Kemudian diperjelas dengan:
Yang kutahu, ternyata awalnya sederhana, mesti ada
cukup berani untuk bermimpi (253)
Mari pergi… (270).
Kata ‘mari pergi’ itu akan
ditanggapi Maya seperti ‘apa’ itulah yang akan menentukan masa depannya.
***
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Suryabrata, Sumadi. 2005. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jika anda masih kebingungan tentang apa itu Psikologi sastra, Bisa anda lihat disini, mengenai penjabaran, pengertian dan apa Psikologi sastra itu sendiri, sehingga anda mampu untuk menindak dan memahami analisis ini. Terimakaih...semoga bermanfaat
No comments:
Post a Comment